Syafa‘at Seorang Hamba di Sisi Allah s.w.t. – Mengetuk Pintu Syafa’at

Mengetuk Pintu Syafā‘at
Oleh: Syafiqul Anam al-Jaziriy
 
Penerbit: Pustaka Group

3. Syafā‘at Seorang Hamba di Sisi Allah s.w.t.

 

Syafā‘at seorang hamba di sisi Allah s.w.t. sesungguhnya mempunyai dua macam yaitu syafā‘at di dunia dan syafā‘at di akhirat.

Adapun syafā‘at di dunia adalah doa, baik yang diminta oleh orang yang menerima syafā‘at atau tidak diminta. Jika seseorang yang sedang menderita sakit meminta kepada anda agar anda memohon kepada Allah suatu kesembuhan untuknya, lalu anda mengatakan: “Ya Allah sembuhkanlah diri Fulān”, maka doa anda di atas adalah syafā‘at. Jika seseorang memohon kepada anda agar anda memohon ampun untuk dirinya, lalu anda mengatakan: “Ya Allah, ampunilah diri Fulān” maka doa anda itu dan permohonan ampunan itu adalah syafā‘at untuknya.

Dikatakan: “Seseorang memohon kepada Nabi s.a.w., sudi kiranya berdoa untuk dirinya. Maka beliau s.a.w. mengajarinya sebuah doa. Pada bagian akhirnya adalah sebagai berikut: (اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ) “Ya Allah, berilah ia syafā‘at karenaku” Artinya: “Ya Allah, terimalah doanya karenaku”, maka dianggap doa Nabi s.a.w. adalah syafā‘at untuk dirinya.

Namun ada satu yang perlu diingat bahwa Tak boleh memintakan ampun bagi seorang kafir yang secara meyakinkan diketahui bahwa ia mati dalam keadaan kafir, sebagaimana tak boleh pula menshalatkannya. Hal yang sama juga berlaku bagi seorang munāfiq yang diketahui secara meyakinkan bahwa ia mati dalam keadaan munāfiq.

Sebagaimana Allah s.w.t. berfirman:

Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasūl-Nya dan mereka mati dalam keadaan fāsiq.” (at-Taubah [9]: 84).

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permintaan ampun dari Ibrāhīm (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrāhīm bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrāhīm berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrāhīm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (at-Taubah [9]: 113-114).

Seorang mu’min hanya diperbolehkan berdoa untuk saudaranya sesama mu’min yang lain, sebagaimana pula ia boleh juga meminta saudaranya itu untuk berdoa untuknya selama ia masih hidup dan mampu berdoa.

Para sahabat r.a. juga sering meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau masih hidup untuk berdoa untuk mereka.

Imām al-Bukhārī telah meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abbās r.a. ia berkata: Nabi s.a.w. bersabda: “Diperlihatkan kepadaku berbagai umat manusia. Ada seorang nabi berlalu dan bersamanya sekelompok umat, seorang nabi yang lain berlalu dan bersamanya beberapa orang saja. Seorang nabi berlalu dan bersamanya sepuluh orang dan seorang nabi berlalu, bersamanya lima orang. Seorang nabi yang lain berlalu hanya sendirian. Lalu tiba-tiba aku melihat sekelompok besar orang. Aku katakan kepada Jibrīl: “Apakah mereka itu umatku?” Ia menjawab: “Bukan, akan tetapi lihatlah ke arah ufuk di sana orang dengan jumlahnya yang sangat banyak”. Ia berkata lagi: “Mereka adalah umatmu. Mereka berjumlah tuju puluh ribu orang merupakan umat di depan mereka. Mereka tidak dihisab dan tidak pula menerima ‘adzāb.” Aku katakan: “Kenapa demikian?” Ia menjawab: “Karena mereka tidak (menggunakan) kayy (pengobatan dengan besi panas), tidak ruqyah (membacakan dzikir-dzikir yang disyari‘atkan untuk orang yang sakit) dan tidak pula mencuri. Pesimis terhadap taqdir dan kepada Rabb mereka bertawakkal”. Bangkitlah ‘Ukkāsyah bin Mihshan menuju kepada beliau s.a.w. lalu berkata: “Berdoalah engkau kepada Allah agar menjadikan diriku di antara mereka”. Maka beliau s.a.w. berucap: “Ya Allah, jadikanlah dirinya dari mereka.” Bangkit orang lain menuju kepada beliau s.a.w. lalu berkata: “Berdoalah engkau kepada Allah agar menjadikan diriku di antara mereka”. Maka beliau s.a.w. bersabda: “‘Ukkāsyah telah mendahuluimu dalam hal itu.” (201).

Dari ‘Athā’ bin Abī Rabāḥ ia berkata: “Ibnu ‘Abbās r.a. berkata: “Mahukah aku perlihatkan kepadamu seorang wanita ahli surga?” Maka aku menjawab: “Ya boleh.” Ia berkata: “Ini adalah seorang wanita kulit hitam yang datang kepada Nabi s.a.w. lalu ia berkata: “Aku kesurupan dan aku sering dengan aurat terbuka yang tidak ku sadari, maka berdoalah kepada Allah untukku.” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Jika engkau mau bersabar, maka bagimu surga dan jika engkau mau aku berdoa kepada Allah kiranya sudi menyembuhkanmu.”

Maka wanita itu berkata: “Aku bersabar.” Lalu ia berkata lagi: “Aku sering terbuka aurat tanpa aku sadari, maka berdoalah kepada Allah untukku agar aku tidak membuka aurat dengan tidak sadar?” Maka Rasūlullāh pun berdoa untuknya. (212)

Dalil-dalil yang memperkuat semua itu sangat banyak terdapat di dalam kitab-kitab Sunnah. Namun dalam hal ini semua itu dapat disebutkan sebab hanya akan memperluas penyajiannya saja.

Dengan demikian, seseorang boleh meminta didoakan oleh orang yang lebih utama dan baik darinya. Hal ini diperkuat oleh adanya hadits shaḥīḥ, bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepada ‘Umar ketika berangkat menunaikan ‘ibādah ‘umrah, yang berbunyi: “Jangan engkau lupakan diriku wahai saudaraku dari doa darimu.”

Telah muncul himbauan untuk mendoakan sesama kaum Mu’min antara sebagian dengan sebagian yang lain sekali pun dengan tidak saling bertemu, karena yang demikian itu adalah jalan menuju kedekatan dan kecintaan. Semua doa ini adalah syafā‘at.

Seorang mu’min seyogyanya meminta doa dari seseorang yang masih hidup dan berkemampuan untuk melakukannya. Ada pun meminta doa dari orang yang sudah mati yang telah berpindah dari kehidupan dunia ini, tiak pernah ada nash yang menjelaskannya dan tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan para sahabat r.a. Tidak pula dilakukan oleh seorang pun dari warga Madīnah yang berdekatan dengan makam Rasūlullāh s.a.w. Tak seorang pun dari mereka itu mengutamakan datang ke suatu maqam lalu meminta kepada yang ada di bawah tanah agar berdoa untuk dirinya. Karena mereka mengetahui sebagaimana yang diajarkan oleh Rasūlullāh s.a.w. bahwa seorang mayit telah terputus semua ‘amalnya.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Jika seorang manusia mati maka terputuslah semua ‘amalnya kecuali tiga perkara: Shadaqah jariah, ‘ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (Di-takhrij oleh Muslim dari Abū Hurairah dan oleh al-Bukhārī dan oleh al-Bukhārī (juga) dalam “Al-Adab-ul-Mufrad”.”

Dari sini jelaslah kesalahan mereka yang pergi menuju ke maqam-maqam lalu bersimpuh di sana dengan sangat khusyū‘. Mereka bermunajat kepada para penghuni di dalamnya. Mereka berbicara dengan ahli kubur dan meminta dipenuhi berbagai kebutuhannya seakan-akan mereka mendengarkan. Padahal apa yang mereka lakukan adalah perbuatan syirik.

Allah s.w.t. berfirman:

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (al-Aḥqāf [46]: 5-6).

Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (‘ibadāh) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (ar-Ra‘d [13]: 14).

Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fāthir [35]: 13-14).

Yang paling mengherankan jika anda mengingatkan mereka yang lalai itu akan adanya suatu kesalahan yang bisa menjadikan mereka tergelincir ke dalamnya atau suatu kesesatan yang bisa menjadikan mereka penuh derita di dalam lembahnya, maka mereka akan berbalik kepada Anda dengan pertentangan yang keras dan menghadang anda dengan sikap bertentangan, lalu mereka mengangkat suaranya seraya berkata: “Sungguh para wali itu adalah hidup di dalam dua tempat tinggal. Para syuhadā’ itu hidup dan diberi rezeki di sisi Rabb mereka.” Ungkapan ini adalah benar tetapi dimaksudkan untuk suatu kebāthilan.

Memang benar, para syuhadā’ itu hidup dan di sisi Rabbnya selalu diberi rezeki. Akan tetapi kehidupan mereka adalah kehidupan rūḥiyyah barzakhiyyah dan bukan kehidupan dunia sebagaimana yang kita kenal. Rezeki mereka bukan rezeki yang kita kenal. Telah baku secara syar‘i atau secara akal bahwa ruh itu tidak binasa atau hancur, baik pemiliknya para wali atau orang-orang fāsiq. Apakah mereka itu para syuhadā’ atau bukan para syuhadā’. Apakah mereka itu orang-orang mu’min atau orang-orang kafir.

Para wali itu hidup dengan ruh dengan kehidupan yang bukan kehidupan kita di dunia. Mereka diberi rezeki yang bukan rezeki kita di dunia ini. Kita sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk rezeki mereka sedikit atau banyak. Kita mengetahui secara yakin bahwa mereka mati dalam kematian yang pertama. Tidak ada orang yang meragukan hal itu selain orang bodoh atau orang yang membuang akalnya. Jika anak Ādam mati maka terputuslah semua ‘amalnya, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang yang jujur dan terpercaya s.a.w. Jika ‘amal perbuatan untuk dirinya sendiri saja terputus maka pekerjaan untuk orang lain untuk demikian halnya tentu lebih pantas. Allah s.w.t. telah berfirman kepada Nabi-Nya yang mulia yang artinya sebagai berikut:

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (az-Zumar [39]: 30).

Rasūlullāh s.a.w. telah merasakan bagaimana pengalaman kematian yang pertama yang menjadi sesuatu yang wajib bagi anak-cucu Ādam yang juga pernah dirasakan oleh para nabi sebelum beliau. Juga pernah dirasakan oleh para wali dan para syuhadā’ yang telah meninggal. Mereka tidak hidup sebagaimana kehidupan kita sekarang ini. Akan tetapi kehidupan mereka itu adalah kehidupan yang kita tidak merasakan dan tidak pula mengetahui sedikit pun seluk-beluknya. Kehidupan yang tidak menghubungkan mereka dengan dunia lalu kembali ke dalamnya atau ikut mengurus perkara-perkara dalam kerajaan langit dan bumi atau memenuhi kebutuhan manusia. Jika mereka mampu melakukan sedikit dari semua tugas itu tentu mereka di dalam maqam itu tidak menjadi tubuh-tubuh yang tanpa gerak, tulang-belulang yang beserakan, tanah yang tandus, dan tentu mereka akan kembali ke rumah-rumah mereka lalu menggulirkan kembali bisnis yang pernah mereka tekuni atau menjalankan pabrik miliknya atau menaruh perhatian kepada berbagai tanaman mereka tanam atau berpaling dari perkara-perkara dalam keluarganya.

Dan tidak mungkin anak-anak mereka disebut anak-anak yatim yang akhirnya harta mereka menjadi berada di bawah kembali para penerima wasiat yang zhālim lalu mereka memakan harta itu secara zhālim. Tidak pula para istri mereka disebut janda yang berhias untuk para pria yang hendak melamarnya. Tidak halal bagi mereka untuk dinikahi suami yang lain ketika mereka tidak menceraikannya dengan proses ‘iddah untuknya setelah itu. Tidak pula harta warisannya dibagikan sehingga para ahli waris bersenang-senang dengan harta itu dan mereka bersenang-senang karena membelanjakan harta itu hanya untuk apa-apa yang mereka sukai.

Catatan:

  1. 20). Di-takhrīj oleh Imām al-Bukhārī di dalam Kitāb ar-Riqāq, bāb “Yadkhul-ul-Jannata Sab‘ūna Alfan bi Ghairi Ḥisāb” 7/198, 199. Dan Muslim di dalam kitab al-Īmān dengan nomor: 374.
  2. 21). Di-takhrīj oleh Imām al-Bukhārī di dalam Kitāb ath-Thibb, bāb: “Fadhlu man Yushra’ min-ar-Rīḥ” 7/14 dan Muslim di dalam kitab al-Birru wash-Shilatu wal-Adab dengan nomor: 2576.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *