Hampir seluruh ‘Ulamā’ Islam bersepakat bahwa syafā‘at memang ada di hari kiamat dan akan diberikan kepada kaum mu’minīn. Hanya saja, sebagian dari mereka berselisih pendapat mengenai seberapa luas ma‘na syafā‘at ini. Mayoritas ‘ulamā’ dari berbagai madzhab dan aliran dalam Islam berpendapat bahwa syafā‘at akan berguna untuk menghindarkan seseorang dari bahaya dan siksa neraka.
Berikut ini adalah beberapa pendapat ‘ulamā’ mengenai ma‘na syafā‘at, di antaranya:
Syaikh Mufīd, Muḥammad bin Nu‘mān al-Akbarī (wafat tahun 413 H.) berkata: “Syī‘ah Imāmiyyah bersepakat bahwa Rasūlullāh s.a.w. kelak di hari kiamat akan memberikan syafā‘at-nya kepada sekelompok orang dari umatnya yang berlumuran dengan dosa besar. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī a.s. akan memberikan syafā‘at-nya kepada para pecinta dan pengikutnya yang memikul dosa, demikian juga para Imām Ma‘shūm lainnya dari Ahl-ul-Bait a.s. Berkat syafā‘at manusia-manusia suci ini, Allah s.w.t. menyelamatkan banyak orang yang semestinya masuk ke neraka karena dosa yang mereka perbuat.”
Di bagian lain beliau mengatakan: “Seorang mu’min yang shāliḥ dapat memberikan syafā‘at untuk sahabat mu’minnya yang berdosa. Allah akan menerima syafā‘at yang ia berikan itu. Demikianlah keyakinan seluruh kaum Syī‘ah Imāmiyyah kecuali beberapa gelintir orang.” (21).
Syaikh Muḥammad bin al-Ḥasan ath-Thūsī (wafat tahun 460 H.) dalam kitab tafsir at-Tibyān mengatakan: “Hakikat syafā‘at menurut kami adalah menghindarkan bahaya bukan mendatangkan keuntungan. Di hari kiamat nanti, kaum mu’minīn akan mendapatkan syafā‘at dari Rasūlullāh s.a.w. Dengan diterimanya syafā‘at tersebut oleh Allah, banyak sekali orang yang semestinya masuk ke neraka akan selamat dari siksa, seperti yang telah disabdakan oleh Nabi s.a.w., yang berbunyi: “Aku menyimpan syafā‘at-ku untuk kuberikan nanti kepada umatku yang berdosa.”
Kami meyakini bahwa syafā‘at adalah hak yang dimiliki oleh Nabi s.a.w., sebagian sahabat beliau, seluruh Imām Ma‘shūm, dan banyak hamba Allah yang shāliḥ.” (32)
‘Allāmah Muḥaqqiq Fadhl bin al-Ḥasan ath-Thabarsī (wafat tahun 548 H) berkata: “….. Menurut kami kewenangan memberi syafā‘at adalah hak yang dimiliki oleh Nabi s.a.w., para sahabatnya yang setia, Imām-imām ma‘shūm Ahl-ul-Bait a.s. dan kaum mu’minīn yang shāliḥ. Dengan syafā‘at mereka ini, Allah akan menyelamatkan banyak sekali orang yang seharusnya masuk ke dalam neraka karena dosa mereka…..” (43).
‘Allāmah Syaikh Muḥammad Bāqir al-Majlisī (wafat tahun 1110 H) mengatakan: “Ketahuilah, bahwa syafā‘at adalah satu hal yang telah disepakati oleh kaum Muslimīn sebagai masalah yang prinsipil dalam agama Islam. Mereka bersepakat bahwa Rasūlullāh s.a.w. di hari kiamat nanti akan memberikan syafā‘at kepada umatnya, bahkan umat-umat yang lain. Sedangkan hal yang menjadi ajang perselisihan pendapat adalah mengenai ma‘na syafā‘at ini dan hasil yang didapatkan darinya, apakah syafā‘at berarti bertambahnya pahala seseorang ataukah hanya berarti penghapusan dosa?
Kaum Syī‘ah Imāmiyyah berpendapat bahwa syafā‘at berarti penghapusan dosa meskipun dosa itu tergolong sebagai dosa besar. Mereka juga meyakini bahwa hak memberi syafā‘at ini tidak hanya dimiliki oleh Nabi s.a.w. dan para Imām a.s. saja, tapi orang-orang shāliḥ juga bisa memberi syafā‘at kepada orang lain dengan idzin Allah s.w.t…..” (54)
Apa yang telah kami sebutkan di atas adalah pernyataan beberapa ‘ulamā’ terkenal dari kalangan Syī‘ah Imāmiyyah mengenai syafā‘at. Berikut ini kami nukilkan pernyataan dari beberapa ‘ulamā’ besar madzhab-madzhan Islam lainnya.
Abū Manshūr al-Māturīdī as-Samarqandī (wafat tahun 333 H.) saat menafsirkan ayat yang berbunyi: “Syafā‘at mereka tidak akan diterima” (65) dan ayat yang berbunyi: “Mereka tidak akan bisa memberikan syafā‘at kecuali kepada orang yang telah diridhai” (76) Mengatakan: “Ayat pertama meskipun menafikan syafā‘at, akan tetapi kita meyakini adanya syafā‘at yang diterima dalam Islam yaitu syafā‘at yang dimaksudkan oleh ayat ini.” (87) (Yang beliau maksudkan dengan ayat ini adalah ayat ke-28 dai surat al-Anbiyā’).
Abū Ḥafsh an-Nasafī (wafat tahun 538 H.) dalam kitabnya yang dikenal dengan al-‘Aqā’id-un-Nasafiyyah mengatakan: “Syafā‘at adalah fakta yang tidak dapat diragukan lagi dan merupakan hak yang dimiliki oleh para rasūl dan orang-orang shalih sesuai dengan apa yang disebutkan dalam banyak hadits.” (98)
Nashīr-ud-Dīn Aḥmad bin Muḥammad bin al-Munīr al-Iskandarī al-Mālikī dalam kitab al-Intishāf menulis: “Mereka yang mengingkari syafā‘at sangat layak untuk tidak menerimanya di hari kiamat nanti. Sedangkan yang percaya dan meyakininya, yaitu kelompok Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, mereka adalah orang-orang yang selalu berharap akan rahmat Allah. Mereka percaya bahwa syafā‘at bisa diberikan kepada orang-orang mu’min yang telah melakukan dosa, dan syafā‘at ini adalah adalah hak Nabi Muḥammad s.a.w. yang disimpan untuk mereka..…” (109).
Qādhī ‘Iyādh bin Mūsā (wafat tahun 544 H) mengatakan: “Ahl-us-Sunnah berpendapat bahwa masalah syafā‘at secara akal bisa diterima dan kebenarannya didukung oleh banyak ayat dan riwayat. Banyak sekali hadits, yang jumlahnya telah sampai ke batas hadits mutawātir, menyebutkan bahwa syafā‘at bakal diterima oleh kaum Mu’minīn yang berlumuran dosa. Salaf Shāliḥ (mereka yang hidup di awal Islam) dan ‘ulamā’-‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah setelah mereka bersepakat akan kebenaran hal ini…...” (1110).
Masih banyak lagi ‘ulamā’-‘ulamā’ Islam dari kalangan Ahl-us-Sunnah dan Syī‘ah yang menekankan akan kebenaran syafā‘at di hari kiamat, yang tentunya tidak dapat kami nukilkan semuanya di sini.
Dengan melihat ayat-ayat al-Qur’ān al-Karīm, hadits-hadits Nabi Muḥammad s.a.w. dan para Imām Ahl-ul-Bait a.s., juga pernyataan-pernyataan para ‘ulamā’ di atas, dapat kita simpulkan bahwa masalah syafā‘at termasuk dari serangkaian permasalahan yang telah diterima dan diyakini oleh mayoritas kaum Muslimīn dari berbagai madzhab yang berbeda. Meski demikian, tidak dapat kita pungkiri adanya perselisihan di kalangan para ‘ulamā’ mengenai ma‘na syafā‘at.
Berbeda dengan pendapat para ‘ulamā’ di atas, kelompok Mu‘tazilah menolak konsep syafā‘at. Abul-Ḥasan al-Khayyāth, salah seorang tokoh kelompok ini, saat menafsirkan ayat berikut ini:
“Apakah (engkau hendak merubah nasib) orang yang telah pasti akan disiksa? Apakah engkau akan menyelamatkan orang yang berada di dalam neraka?” (1211)
Mengatakan: “Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. tidak mungkin dapat menyelamatkan orang yang sudah pasti masuk ke dalam api neraka…...”
Syaikh Mufīd dalam menjawab pernyataan tersebut mengatakan: “Semua orang yang menerima konsep syafā‘at tidak pernah mengklaim bahwa Rasūlullāh s.a.w. dapat menyelamatkan orang yang berada di neraka. Mereka hanya mengatakan bahwa Allah-lah yang menyelamatkan orang tersebut dari siksaan-Nya sebagai penghormatan atas Nabi s.a.w. dan keluarganya yang suci (yang memberinya syafā‘at). Di sisi lain, para mufassir (ahli tafsir al-Qur’ān) berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat ini dengan “mereka yang pasti masuk neraka” adalah kaum kafir, dan dalam pembahasan-pembahasan yang lalu telah dijelaskan bahwa Nabi s.a.w. tidak akan memberikan syafā‘at-nya kepada mereka.” (1312).
Dengan penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut tidak tepat untuk menjadi argumen dalam menolak konsep syafā‘at.