Tentunya tak banyak orang yang tahu bahwa
sesungguhnya syafā‘at itu mempunyai 3 macam
kondisi yang masing-masing memiliki
kecenderungannya
sendiri-sendiri.
Berdasarkan pembagian logis maka syafā‘at memiliki tiga kondisi di antaranya:
Dikatakan bahwa syafā‘at sebagian dengan sebagian yang lain ada dua macam, di antaranya:
Pertama, syafā‘at yang baik, yaitu seseorang memberi syafā‘at untuk menghilangkan bahaya atau menghilangkan kezhāliman pada seseorang yang dizhālimi. Atau sekedar mendapatkan manfaat dari pemiliknya dan dalam mendapatkannya itu tak menimbulkan bahaya atau membahayakan bagi dirinya.
Demikian seterusnya berkenaan dengan hal-hal yang baik menurut ukuran syarī‘at yang didukung olehnya. Yang demikian itu termasuk tolong-menolong dalam kebajikan dan kebaikan yang menjadi permintaan syarī‘at.
Allah s.w.t. berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwā, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwālah kamu kepada Allah….” (al-Mā’idah: 2).
“Barang siapa yang memberikan syafā‘at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) daripadanya.” (an-Nisā’: 85).
Di dalam kitab ash-Shaḥīḥain dari Abū Mūsā al-Asy‘arī bahwa Nabi s.a.w. jika kedatangan Shāḥib-ul-Ḥājah, bersabda: “Berikanlah oleh kalian semua syafā‘at maka kalian akan diberi pahala. Semoga Allah menunaikan dengan perantaraan Rasūl-Nya apa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa bisa memberikan manfaat kepada saudara Muslimnya dengan syafā‘at yang baik hendaknya ia lakukan. Karena ia akan mendapat pahala lantaran perbuatannya itu jika Allah menghendaki.”
Kedua, syafā‘at yang buruk, yaitu ketika seorang pemberi syafā‘at memberikan syafā‘at demi digugurkannya suatu hukuman atau merusak hak orang lain atau mengambil manfaat yang bukan haknya dikarenakan tindakannya itu bisa menimbulkan bahaya bagi yang berhak atau menyerahkan suatu urusan kepada orang yang tidak memiliki kapasitas dalam hal itu atau selain semua itu yang telah dibenci dan diharamkan oleh Penetap syarī‘at. Yang demikian itu termasuk tolong-menolong dalam perkara dosa dan permusuhan yang telah dilarang oleh Allah s.w.t.
Allah s.w.t. berfirman:
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwālah kamu kepada Allah” (al-Mā’idah: 2).
“Dan barang siapa yang memberi syafā‘at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (an-Nisā’: 85).
Firman Allah s.w.t. menjelaskan tentang orang-orang yang saling tolong-menolong dalam keburukan sehingga orang yang ditolong dan menolong sama-sama memikul beban dosa daripadanya. Karenanya, Allah s.w.t. memberikan peringatan-Nya dalam firman-Nya di atas.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Jika ḥadd (hukuman) telah sampai kepada Sulthān, maka Allah melaknat pemberi syafā‘at dan orang yang diberi syafā‘at.”
Jika orang lain tak memberikan syafā‘at apapun pada diri kita atau hanya menimbulkan kerugian baik di dunia maupun di akhirat. Lalu mengapa kita harus mengikuti orang-orang yang jelas-jelas tidak memberikan kemanfaatan bagi kita. Bukankah telah dijelaskan Allah s.w.t. memberikan peringatan bagi mereka yang memberi syafā‘at yang buruk dan mereka yang menerima syafā‘at tersebut, sama-sama memikul beban dosa. Sesungguhnya Allah s.w.t. Mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya.
Al-Bukhārī meriwayatkan hadits ‘Ā’isyah r.a. bahwa seorang Quraisy dilalaikan oleh seorang wanita al-Makhzūmiah yang melakukan pencurian, sehingga mereka berkata: “Siapa yang akan berbicara dengan Rasūlullāh s.a.w.?” Siapa yang berani menghadap beliau selain Usāmah kesayangan Rasūlullāh s.a.w. Maka ia berbicara dengan Rasūlullāh s.a.w. sehingga beliau bersabda: “Apakah engkau akan memberikan syafā‘at berkenaan dengan hukuman dari hukuman Allah?”
Kemudian beliau s.a.w. bangkit dan berkhuthbah di hadapan orang banyak seraya bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya telah sesat orang-orang sebelum kalian karena jika seorang mulia di kalangan mereka mencuri maka mereka membiarkannya, dan jika seorang lemah mencuri mereka menegakkan hukuman atas dirinya. Demi Allah, jika Fāthimah putri Muḥammad mencuri pasti Muḥammad memotong tangannya.”
Demikian itulah syafā‘at yang buruk dengan segala bahayanya yang sangat besar atas umat dan individu.
Kita tahu bahwa seorang hakim yang adil tak akan bermanfaat di sisinya selain syafā‘at yang bagus yang terlihat olehnya bahwa syafā‘at tersebut berkenaan dengan hal-hal yang belum diketahui akan adanya tindakan penzhāliman atas diri orang yang diberi syafā‘at itu atau bahwa dirinya itu berhak atas apa yang menjadi tuntutannya. Dia tentu tak akan menerima syafā‘at yang buruk yang tak lain tujuannya adalah membuat keridhaan dalam perkara yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan dan menafikan kemaslahatan umum.
Sedangkan seorang hakim dan diktator dan zhālim tentu akan sangat laris di sisinya berbagai syafā‘at buruk, karena ia hanya mencari keridhāan para pendukungnya dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan dirinya. Ia bahkan tak memperdulikan lagi dengan hilangnya berbagai hak karena tindakannya, sehingga kezhāliman dan bahaya menimpa orang-orang yang tidak bersalah. Tidak dianggap sebagai wabah yang mematikan dan tidak pula merupakan penyakit kusta yang merusak dan sangat berbahaya bagi negara dan pemerintahan karena berbagai syafā‘at yang sedemikian itu. Sebuah pemerintah yang di dalamnya laris berbagai syafā‘at yang menjadi sandaran para pengikutnya dalam segala hal yang mereka tuntut, bukan atas dasar kebenaran dan keadilan, maka di dalam negara sedemikian itu akan hilang berbagai hak dan kezhāliman akan menggantikan kedudukan keadilan. Yang demikian itu akan mengalir sedikit demi sedikit ke dalam umat sehingga kerusakan meluas secara umum yang pada akhirnya pemerintahan itu sendiri menjadi lumpuh.
Tidak akan menjadi baik suatu pemerintahan melainkan jika ia mampu menghapuskan dari jiwa-jiwa rakyatnya keyakinan bahwa tidak ada jalan untuk menunaikan suatu maslahat apa pun melainkan dengan syafā‘at atau suap. Jika keyakinan sedemikian ini hilang maka syafā‘at menjadi sesuatu sarana yang tidak digunakan oleh para pemegang keadilan melainkan setelah mencari sesuatu dengan jalan yang semestinya dan sampai kepadanya melalui jalan semsetinya itu. Munculnya kebutuhan kepada seorang pemberi syafā‘at akan terlihat oleh seorang hakim yang adil selama tidak diketahui oleh orang yang diberi syafā‘at karena ia memang berhak untuk mendapatkannya. Penulis katakan: “Jika keyakinan yang demikian ini telah hilang maka umat akan berbahagia dan semua perkaranya akan menjadi lebih teratur. Selanjutnya, meningkat keadaannya karena meluasnya keadilan dan kebenaran di dalamnya.