Maha Suci Allah dengan segala kesempurnaan-Nya sehingga Ia memberikan syafā‘at kepada makhlūq-Nya. Dan tak satupun orang yang bisa menghalangi apabila Allah s.w.t. telah berkehendak, sebagaimana Ia menginginkan seseorang mendapatkan syafā‘at dari-Nya.
Di dalam kitab Sunan Abū Dāwūd dari Jābir bin Muth‘im bahwa seorang Badui datang kepada Nabi s.a.w. lalu berkata: “Aku telah merasa sangat kesulitan, keluargaku telah hilang, hartaku telah musnah, ternakku telah habis, maka mohonlah hujan untuk kami sesungguhnya kami memohon syafā‘at kepada Allah lantaran engkau dan engkau kepada Allah.”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Celaka engkau! Apakah engkau mengerti apa-apa yang engkau katakan?”
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. banyak mengucapkan tasbih hingga terlihat semua itu pada wajah-wajah para sahabat. Lalu beliau bersabda: “Celaka engkau! Tidak boleh meminta kepada Allah syafā‘at dari salah seorang makhluq-Nya. Posisi Allah itu lebih agung daripada sekedar yang demikian itu.” (181)
Kita boleh memohon kepada Allah bahkan bersumpah sebagai penanggung-jawab dengan nama Allah, kemudian engkau berkata: “Aku memohon kepada Allah kiranya engkau suci melakukan demikian dan demikian”, atau engkau katakan: “Aku bersumpah demi Allah bahwa engkau pasti melakukan demikian. Yang demikian ini bisa dan tidak ada masalah padanya. Atas penanggung-jawab atau orang yang bersumpah agar memenuhi permohonan dan berbakti kepada sumpahnya, itupun, jika ia mampu melakukannya atau ada kekuatan untuk itu.
Dilarang memohon syafā‘at kepada Allah s.w.t. karena orang yang memohon syafā‘at adalah pemohon dan Allah s.w.t. adalah Dzāt tempat memohon. Maka terlalu Agung jika Dia harus menjadi pemohon kepada seseorang dari makhlūq-Nya. Akan tetapi justru semua makhluq memohon semua hajat kepada-Nya. Mereka bergantung kepada-Nya dalam berbagai kesulitan dan merengek memohon rahmat-Nya dalam kesempitan yang mereka alami.
Tidak termasuk ke dalam ma‘na lughawī (etimologis) bahwa orang yang memohon harus dipenuhi. Boleh saja orang yang diberi syafā‘at olehnya taat kepadanya atau maksiat kepadanya. Karena dalam perkara syafā‘at tidak ada arti perintah, akan tetapi pengharapan dan permohonan.
Di dalam kitab Shaḥīḥ-ul-Bukhārī disebutkan sebuah hadits Ibnu ‘Abbās r.a. bahwa Barīrah r.a. ketika dimerdekakan dan dipersilahkan oleh Nabi s.a.w. untuk memilih antara berpisah dengan suaminya, Mughīts, ia memilih berpisah dengannya. Mughīts pun menangis karena kecintaannya yang sangat dalam kepadanya, sehingga Nabi s.a.w. merasa iba kepadanya.
Lalu beliau bersabada kepada Barīrah: “Bagaimana kiranya engkau rujuk dengannya!” Maka Barīrah berkata: “Apakah engkau memerintahku?”
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku sekedar pemberi syafā‘at”. Maka Barīrah berkata: “Aku tidak membutuhkan hal itu darinya.” (192).
Jika Rasūlullāh s.a.w. mengatakan: “Aku memerintahkan kepadamu”, tentu Barīrah akan segera mentaati beliau dan diterima untuk tetap dengan Mughīts. Akan tetapi ia mengerti bahwa syafā‘at tidak mengandung arti perintah akan tetapi meninggalkan hak memilih untuk orang yang diberi syafā‘at itu. Maka Barirah memilih berpisah dengannya dan bersikap tegar dengan sesuatu yang telah menjadi pilihannya.