BAB II-10
Shaḥw adalah kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami keghaiban (ghaibah). Dan Sukr adalah mabuk ruhani akibat sesuatu yang datang dengan sangat kuat. Sukr berarti tambahan bagi ghaibah di satu sisi. Karena itu orang yang sukr, kadang-kadang terhamparkan dirinya, manakala belum terpenuhi dalam sukr-nya. Kadang-kadang pada tahap sukr, segala kekhawatiran berguguran dari qalbunya. Itulah perilaku orang yang menampakkan sukr, karena tidak mampu memenuhi datangnya bisikan yang luhur. Kadang, dalam kesadaran ada kesegaran, lalu mabuk pesonanya bertambah atas ghaibah-nya. Terkadang orang yang sukr lebih ghaibah ketimbang orang yang sedang berada dalam ghaibah itu sendiri manakala sukr-nya kuat. Dan tidak jarang orang yang ghaibah itu lebih sempurna dalam ghaibah-nya dibanding orang yang sukr, manakala sukr-nya tidak mencapai apa yang diingini.
Sedangkan ghaibah, terkadang datang kepada para hamba karena adanya sesuatu yang mengalahkan qalbunya, disebabkan disiplin cinta dan sukacita, khauf dan rajā’. Sementara sukr tidak akan terwujud, kecuali kepada orang yang memiliki kesesuaian-kesesuaian ruhani. Apabila Allah s.w.t. membuka hamba melalui sifat Keindahan (al-Jamāl), maka hamba akan mabuk kepayang (sukr), dan ruhnya menjadi gembira, sementara qalbunya terpesona. Dalam sukr yang muncul akibat mukāsyafah Jamāl, mereka mendengarkan syair:
Kesadaran dari kata-Ku,
Adalah sambung semuanya
Dan mabuk kepayangmu dari bagian-Ku
Memperkenankan bagimu, meneguk minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peneguk minumnya
Menyerah pada bagian,
Yang gelas pialanya memabukkan jiwa.
Mereka masih bersyair:
Orang-orang menjadi mabuk memutari gelas piala
Sedang mabukku datang dari Yang Memutarnya
Ada dua kemabukan, bagiku
Dan bagi dua penyesal hanya satu
Yang dikhususkan bagiku di antara mereka
Hanya untukku.
Dua mabuk kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman,
Tiba-tiba telah bugar si pemabuk.
Anda perlu mengetahui, bahwa derajat kesadaran (shaḥw) tergantung pada frekuensi mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa yang sukr-nya bersama al-Ḥaqq, maka shaḥw-nya juga bersama al-Ḥaqq, barang siapa sukr-nya masih diliputi oleh dunia, maka shaḥw-nya juga disertai dunia yang benar. Barang siapa menempati kebenaran dalam sikap perilakunya, maka ia terjaga dalam sukr-nya. Sukr dan shaḥw mengisyaratkan pada ujung dari pemisahan. Manakala tampak dari kekuasaan hakikat, maka sifat hamba diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka bersyair:
Apabila pagi telah terbit dengan bintang yang gembira
Di dalamnya telah seimbang: kemabukan dan kesukacitaan.
Allah s.w.t. berfirman:
فَلَمَّا تَجَلّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَ خَرَّ مُوْسى صَعِقًا
“Tatkala Tuhannya menampak pada gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur luluh dan Mūsā pun jatuh pingsan.” (al-A‘rāf:143).
Itulah pengalaman dalam Risālah Mūsā a.s., dan apalagi gunung dan kekuatannya menjadi lebur berkeping-keping.
Sang hamba dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi ruhani itu sendiri, dan dalam shaḥw-nya ia menyaksikan ilmu. Hanya saja dalam tingkah sukr-nya terjaga, tidak melalui beban yang diupayakan. Sedangkan dalam shaḥw-nya terjaga melalui upayanya. Shaḥw dan Sukr terjadi setelah Dzauq dan Syurb.