Imām al-Ghazālī di dalam kitab Iḥyā’-nya mengatakan: “Sesungguhnya berlipatgandanya pahala shalawat atas Nabi s.a.w. itu adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja, melainkan mengandung banyak kebaikan, sebab di dalamnya tercakup:
“Inilah sepuluh kebaikan selain dari kebaikan yang disebutkan dalam syari‘at, bahwa, setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh ganjaran, sedang satu kejahatan itu hanya dibahas dengan satu balasan saja.”
Demikianlah penjelasan Imām al-Ghazālī.
Di antara karunia Allah yang diberikan-Nya kepada Nabi-Nya itu adalah menggabungkan dzikir kepada-Nya dengan dzikir kepada Nabi-Nya di dalam dua kalimat syahadat. Dan menjadikan ketaatan kepada Nabi sebagai ketaatan kepada-Nya, kecintaan kepada Nabi sebagai kecintaan kepada-Nya, juga mengaitkan pahala shalawat atas Nabi dengan pahala dzikrullāh ta‘ālā, seperti firman Allah:
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…..” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152).
Dan di dalam salah satu hadits qudsi disebutkan:
“Jika hamba-Ku menyebut-Ku di dalam hatinya, maka Aku pun akan menyebutnya di dalam diri-Ku; dan jika ia menyebut-Ku di khalayak ramai, maka Aku pun akan menyebutnya di khalayak yang lebih baik dari khalayaknya.”
Begitu juga yang dilakukan Allah dalam hal Nabi kita s.a.w., yaitu membalas satu shalawat seorang hamba dengan sepuluh shalawat, dan satu salam dengan sepuluh salam.
Dalam salah satu hadits, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Perbanyaklah oleh kalian membaca shalawat atasku, terutama pada hari Jum‘at dan malam Jum‘at.”
Abū Thālib al-Makkī berkata: “Sedikitnya dari yang banyak itu adalah tiga ratus kali.”
Dan as-Sakhāwī mengatakan bahwa, hal itu tidak ada sandarannya yang pasti. Mungkin beliau menerimanya dari salah seorang yang shalih, baik dengan pengalaman atau lainnya, atau termasuk orang yang berpendapat bahwa sekurang-kurang yang dapat disebut banyak itu adalah tiga ratus. Namun, hanya Allah jualah yang mengetahui hal yang sebenarnya.
Sedangkan Imām Sya‘ranī di dalam kitab Kasyf-ul-Ghummah berkata: “Sebagian ‘ulamā’ r.a. ada yang berpendapat bahwa sekurang-kurang pembacaan shalawat atas Nabi s.a.w. itu adalah tujuh ratus kali di waktu siang, dan tujuh ratus kali di waktu malam. Dan sebagian lagi mengatakan, bahwa sekurang-kurangnya tiga ratus lima puluh kali di waktu siang, dan tiga ratus lima puluh kali di waktu malam.”
Pengarang kitab Dzakhīrat-ul-Khair berkata: “Keutamaan pembacaan shalawat atas Nabi s.a.w. saja tidak sama dengan keutamaan shalawat atas Nabi s.a.w. dan keluarganya bersama-sama. Sebab shalawat atas keluarga Nabi itu termasuk sunnah tersendiri.”
Di dalam hadits-hadits yang shaḥīḥ disebutkan, shalawat atas keluarga Nabi itu sangat dituntut, dan itu pula yang dijadikan nash oleh para Imām. Juga di dalam beberapa shighat shalawat yang diajarkan Nabi s.a.w. kepada umatnya, beliau selalu menyertakan keluarganya. Dus, tidak diragukan lagi bahwa orang yang menjalankan sunnah dalam suatu ibadah tidak sama dengan orang yang meninggalkannya.
Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Āmir disebutkan:
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muḥammad dan keluarga Muḥammad.”
Imām Syāfi‘ī bermadah:
“Hai keluarga Rasūlullāh, cinta kepadamu itu termasuk kewajiban dari Allah di dalam Qur’ān yang diturunkan-Nya. Cukuplah kehormatan yang besar bagimu, bahwa orang yang tidak mengucapkan shalawat atasmu, tidak ada shalat baginya.”
Nyatalah, bahwa meninggalkan pembacaan shalawat atas keluarga Nabi itu termasuk meninggalkan keutamaan yang sangat besar dan sunnah (tradisi) yang sangat berharga.
Qādhī ‘Iyādh di dalam kitab al-Ikmāl menukil ucapan sebagian ahli ḥaqq yang pernah dijumpainya, berkata: “Sesungguhnya maksud sabda Nabi s.a.w.: “Barang siapa bershalawat atasku satu kali, Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali,” adalah diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar ikhlash melakukannya dan melaksanakan hak-haknya, disertai penghormatan bagi beliau dan rasa cinta kepada beliau. Bukan bagi mereka yang melakukan itu karena berharap pahala bagi dirinya, atau karena mengharap agar doanya diperkenankan.”
“Karena itulah”, kata Sayyid ‘Abd-ul-‘Azīz ad-Dabbāgh di dalam kitab al-Ibrīz: “anda lihat dua orang yang sama-sama mengucapkan shalawat atas Nabi s.a.w. namun yang seorang hanya mendapat pahala sedikit, sedangkan yang lainnya mendapat pahala yang tak terhingga. Sebabnya adalah, orang yang pertama mengucapkan shalawat itu dengan hati yang lalai dan dipenuhi oleh kesibukan duniawi. Ia mengucapkan itu hanya karena kebiasaan saja, maka ia diberi pahala sedikit. Sedangkan orang yang kedua, ia mengucapkan shalawat disertai dengan rasa cinta dan pengagungan. Rasa cinta itu muncul setelah ia menghadirkan ke dalam hatinya kebesaran dan keagungan Nabi s.a.w, dalam arti menyadari bahwa beliau merupakan sebab dari segala yang maujud dan merupakan cahaya dari segala cahaya, dan bahwa beliau adalah pembawa rahmat dan pemberi petunjuk bagi seluruh makhluq yang permulaan dan yang terakhir, dan bahwa keberadaan dirinya itu adalah karena beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Sikap pengagungan itu muncul setelah ia memperhatikan kedudukan Nabi s.a.w. yang sedemikian tinggi, yang sulit dijangkau oleh siapa pun juga.”
Perlu diperhatikan, bahwa orang yang mengucapkan shalawat atas Nabi s.a.w., selagi ia lelap dalam tidurnya, atau dalam keadaan lupa, atau dalam kesibukan sehingga ia tidak mengerti apa yang ia ucapkan, maka dalam semua keadaan tersebut pahalanya tetap ada, ya‘ni pahala karena suatu pengagungan dan penghormatan terhadap Nabi s.a.w.
Sayyidī ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘ranī di dalam kitab Tarjumatu Sayyidī Abil-Mawāhib-isy-Syādziliy, mengatakan: “Aku bermimpi bertemu dengan penghulu alam semesta, Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu aku bertanya: “Wahai Rasūlullāh, shalawat Allah sepuluh kali yang diberikan kepada orang yang ber-shalawat atasmu satu kali itu, apakah bagi mereka yang hatinya hadir?” Beliau menjawab: “Tidak, ganjaran itu diberikan kepada setiap orang yang mengucapkan shalawat atasku walaupun ia lalai, dan Allah memberikan kepadanya malaikat sebanyak jumlah gunung yang mendoakan dan memohonkan ampun baginya. Sedangkan kalau ia membacanya dengan hati yang hadir, maka tidak ada yang mengetahui pahalanya kecuali Allah s.w.t.”
Pengarang kitab al-Ibrīz raḥimahullāh mengatakan: “Sesungguhnya shalawat atas Nabi s.a.w. itu pasti dikabulkan, dari siapa saja.”
Tidak diragukan lagi memang, shalawat atas Nabi s.a.w. itu adalah suatu amal yang paling utama, namun masalah dikabulkannya itu tidaklah dapat dipastikan kecuali bagi pribadi yang suci dan hati yang bersih, karena shalawat yang keluar dari keduanya itu tentu akan terlepas dari segala pamrih dan motivasi seperti riyā’ (sikap suka pamer), dan ‘ujub (merasa super).
Imām Suyūthī raḥimahullāh di dalam kitabnya ad-Durar-ul-Muntatsiratu fil-Aḥādītsi Musytahirah, memberikan komentar tentang hadits yang berbunyi:
“Semua amal umatku diperlihatkan kepadaku, maka kudapati ada yang diterima dan ada yang ditolak, kecuali shalawat atasku.”
beliau berkata: “Saya tidak menemukan sanad hadits ini.”
Dan pengarang kitab Tamyīz-uth-Thayyibi Min-al-Khabīts berkata tentang hadits:
“Setiap amal itu ada yang diterima dan ada yang ditolak kecuali shalawat atasku, ia tetap diterima dan tidak pernah ditolak.”
bahwa hadits ini diberi komentar oleh Ibnu Ḥajar sebagai: hadits yang lemah.
Juga pengarang kitab al-Ghammāzu fil-Lammāz, Sayyid Samhūdī, dalam pembicaraannya tentang hadits di atas, telah memberikan penjelasaan sebagai berikut: “Hadits “Kull-ul-a‘māli fīhā-l-maqbūlu wal-mardūdu illā-sh-shalātu ‘alayya, fa innahā maqbūlah ghaira mardūdah”, dikomentari oleh Ibnu Hajar sebagai hadits yang lemah.”
Saya bertanya kepada Sayyid ad-Dabbāgh r.a.: “Mengapa surga itu menjadi bertambah luas dengan adanya pembacaan shalawat atas Nabi s.a.w., bukan dengan tasbih atau dzikir-dzikir yang lain?”
Beliau menjawab: “Sebab surga itu berasal dari nūr (cahaya) Nabi s.a.w., dan ia rindu kepadanya sebagaimana seorang anak rindu kepada bapaknya. Karena itu, jika mendengar namanya disebut, maka ia (surga) menjadi senang dan gembira.”
Selanjutnya beliau berkata: “Jika Nabi s.a.w. dan umatnya memasuki surga, maka surga akan merasa gembira sekali terhadap mereka, dan akan mendapatkan kesenangan yang tak terhingga.”