Riwayat Mi’raj – Mutiara Isra’ Mi’raj

MUTIARA ISRĀ’ DAN MI‘RĀJ
Penulis: Drs. Abu Ahmadi
 
Diterbitkan oleh: AMZAH

2. RIWAYAT MI‘RĀJ.

Ibnu Isḥāq mengatakan menerima kabar dari orang yang dipercayainya dari sahabat Nabi yang bernama Abū Sa‘īd al-Khudriy, bahwa ia telah mendengar Nabi sendiri mengatakannya riwayat Mi‘rāj seperti di bawah ini:

“Sesudah aku selesai daripada keadaan di Bait-ul-Maqdis, didatangkanlah mi‘raj (tangga naik) kepadaku, tidak pernah aku lihat sebelumnya sesuatu yang lebih bagus daripada itu. Tangga itulah yang dituju oleh mata orang-orang yang akan mati di antara kamu apabila sudah hadir mautnya. Kawanku (Jibrīl) membawaku naik ke atas tangga itu sehingga sampailah ia denganku di suatu pintu daripada pintu-pintu langit yang bernama Bait-ul-Ḥafazhah. Di sana ada seorang raja malaikat Ismā‘īl namanya. Dua belas ribu malaikat di bawah pimpinannya, dan tiap-tiap malaikat ini memimpin dua belas ribu malaikat pula.” Sabda Nabi – ketika menceritakan hadits ini – “Tidak ada yang mengetahui jumlah tentara Jibrīl yang membawaku masuk.” Berkatalah malaikat (Ismā‘īl) itu: “Apakah ia diutus ke langit?” “Ya” sahut Jibrīl. “Malaikat itu pun lalu mendoakan aku dengan baik,” kata Rasūl.

Menurut keterangan Ibnu Isḥāq juga, yang diterimanya dari setengah ahli-ahli ‘ilmu dari orang yang menceritakan riwayat itu dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa beliau juga bersabda:

“Aku diterima oleh malaikat-malaikat di langit dunia, semuanya menerimaku dengan tertawa gembira, serta mengatakan dan mendoakan yang baik, sehingga aku berjumpa dengan seseorang yang juga mendoakan seperti doa lain-lainya, cuma ia tidak tertawa, dan tidak aku lihat kegembiraan padanya sebagaimana yang aku lihat pada lain-lainnya. Maka kataku kepada Jibrīl: “Jibrīl, siapakah malaikat yang berkata kepadaku seperti perkataan malaikat-malaikat yang lainnya, tetapi ia tidak tertawa dan tidak aku lihat daripadanya kegembiraan sebagaimana yang aku lihat pada malaikat-malaikat yang lain?” Jawab Jibrīl: “Adapun jika ia pernah tertawa kepada seseorang yang sebelum tuan ataupun kepada seseorang yang di belakang tuan, niscaya ia akan tertawa kepada tuan, tetapi ia tidak pernah tertawa, itulah Mālik, malaikat penjaga Neraka.” Rasūl berkata lagi kepada Jibrīl: “Diakah yang dikatakan Tuhan: “Orang yang ditaati di sana, lagi sangat dipercayai” itu, mintakanlah kepadanya supaya diperlihatkannya kepadaku neraka”. “Baik!” sahut Jibrīl, lalu berkata kepada Mālik: “Perlihatkanlah kepada Muḥammad akan neraka”. Mālik lalu membukakan tutupnya, maka neraka itu pun memancar-mancarlah dengan hebatnya dan naik dengan sangat tinggi apinya sehingga aku sangka ia akan membakar sekalian yang tampak kepadaku. Maka kataku kepada Jibrīl: “Suruhkanlah kepadanya supaya mengembalikan api itu ke tempatnya”. Jibrīl pun menyuruh Mālik melakukannya. Kata Mālik kepada api itu: “Tenangkanlah nyala engkau!” Api neraka itu pun kembalilah ke tempatnya semula.

Kata Abū Sa‘īd al-Khudriy (seorang sahabat) menceritakan sabda Rasūl: “Tatkala aku memasuki langit dunia, aku lihat di sana ada seorang laki-laki yang sedang duduk. Kepadanya dihadapkan rūḥ-rūḥ manusia. Laki-laki itu pun berkata: apakah dihadapkan kepadanya yang baik-baik serta menyukakannya. “Rūḥ yang baik keluar dari tubuh yang baik.” Dan katanya pula tatkala dihadapkan kepadanya rūḥ-rūḥ yang tidak baik serta memasamkan mukanya, rūḥ yang kotor keluar daripada tubuh yang kotor.” Kataku – kata Rasūl – kepada Jibrīl: “Siapa orang ini, ya Jibrīl?” Jawabnya: “Inilah ayah tuan, Ādam. Rūḥ anak cucunya dibawa kepadanya. Apabila di hadapannya rūḥ orang yang mu’min, ia pun suka seraya berkata: “Rūḥ yang bagus keluar dari tubuh yang bagus”, dan apabila lalu di hadapannya rūḥ orang kafir, bencilah ia akannya serta berkata: “Rūḥ yang kotor, keluar dari tubuh yang kotor.”

Kemudian, kata Rasūl: “Aku lihat beberapa orang laki-laki mempunyai bibir seperti bibir unta, di dalam tangan mereka itu ada api seperti batu, mereka lontarkan batu-batu tersebut ke dalam mulutnya, kemudian keluarlah batu-batu itu dari belakang mereka. Maka kata Nabi kepada Jibrīl: “Siapa mereka ini, ya Jibrīl?” sahutnya: “Mereka itu orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim dengan aniaya.”

Sabda Nabi lagi: “Kemudian aku lihat beberapa orang laki-laki mempunyai perut yang tidak pernah aku lihat seperti itu, mereka di jalanan kaum keluarga Fir‘aun. Mereka itu lalu melintas di jalan itu seperti unta-unta yang kehausan. Ketika dibawa melalui api, mereka lalui saja api tersebut karena mereka tidak dapat mengelak dari tempat itu. Kata Nabi: “Siapa mereka ini, ya Jibrīl?” Jawabnya: “Orang-orang yang memakan riba.”

Kemudian, kata Nabi: “Aku lihat pula beberapa orang laki-laki menghadapi daging yang gemuk lagi bagus, di samping mereka ada pula daging yang kurus lagi busuk. Mereka ini memakan daging yang kurus lagi busuk itu. Kata Nabi kepada Jibrīl: “Siapakah mereka ini?” Jawabnya: “Mereka inilah orang yang meninggalkan perempuan-perempuan yang telah dihalalkan Allah dan pergi kepada yang diharamkannya.”

Kemudian, kata Nabi: “Aku lihat beberapa orang perempuan digantung dari susunya.” Maka kata Nabi kepada Jibrīl: “Siapakah mereka ini, ya Jibrīl?” Jawabnya: “Yaitu kaum perempuan yang memasukkan anak-anak yang bukan dari suaminya kepada suaminya.”

Kata Ibnu Isḥāq meneruskan riwayat Abū Sa‘īd al-Khudriy: Sabda Nabi s.a.w.: “Kemudian aku pun dibawa naik ke langit yang kedua. Di sana ada ‘Īsā bin Maryam dengan Yaḥyā bin Zakariyyā. Kemudian aku dibawa lagi naik ke langit yang ketiga. Di sana ada seorang laki-laki rupanya seperti bulan empat belas (purnama). Kata Nabi: “Siapakah orang ini, ya Jibrīl?” Katanya: “Yaitu saudara tuan, Yūsuf bin Ya‘qūb.” Kemudian aku dinaikkan ke langit yang ke empat. Di sana ada seorang laki-laki, aku tanyakan siapa orang itu, jawab Jibrīl, yaitu Idrīs. (Nabi pun membacakan surat 19, ayat 57 yang mengatakan: (Kami (Allah) telah mengangkatnya ke tempat yang tinggi). Kemudian aku dinaikkan ke langit yang kelima. Di sana ada seorang laki-laki yang sudah tua, putih rambut serta janggutnya, lebar rahangnya. Tidak pernah aku lihat orang tua yang lebih gagah daripadanya. Kata Nabi kepada Jibrīl: “Siapa ini, ya Jibrīl?” Jawabnya: “Inilah orang yang dikasihi kaum-kaumnya, yaitu Hārūn bin ‘Imrān”. Kemudian saya dinaikkan ke langit yang keenam. Di sana ada seorang laki-laki yang warnanya putih-kemerahan, tinggi, bengkok hidungnya, seperti Syanwāh (yaitu orang-orang yang tinggi dan warnanya putih kemerahan di tanah ‘Arab). Maka kata Nabi kepada Jibrīl: “Siapakah ini, ya Jibrīl?” Jawabnya: “Yaitu saudara tuan, Mūsā bin ‘Imrān”. Kemudian aku dinaikkan lagi ke langit yang ketujuh. Di sana ada seorang lelaki yang sudah tua duduk di atas sebuah kursi (membelakangi) Bait-ul-Ma‘mūr, yaitu sebuah rumah ibadah yang setiap hari dimasuki 70.000 malaikat tidak berulang dua kali (sekali saja buat tiap-tiap orang). Aku belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih menyerupainya daripada kawan kami ini, kataku pada diri sendiri. Kata Nabi: “Siapakah ini, ya Jibrīl?” Jawabnya: “Inilah orang tua tuan, Ibrāhīm.”

Sabda Nabi pula: “Kemudian aku dibawa masuk oleh Jibrīl ke Surga. Di sana aku melihat seorang gadis yang bibirnya merah-merah kehitaman. Maka aku tanya kepadanya untuk siapakah dia – karena aku takjub ketika melihatnya. Maka sahutnya: “Untuk Zaid bin Ḥāritsah”. Nabi pun menggembirakan Zaid (anak angkatnya) akan hal yang demikin itu.

Kata Ibnu Isḥāq lagi meneruskan riwayat Mi‘rāj ini yang diterimanya dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda mengatakan: “Tiap-tiap Jibrīl membawa aku naik ke langit, semua berkata kepadanya ketika ia minta idzin akan masuk. “Siapakah ini ya Jibrīl? Lalu dijawabnya dengan mengatakan: “Muḥammad s.a.w.!” Kata mereka itu pula: “Apakah ia diutus malam ini?” Jawabnya: “Benar!” Maka kata mereka itu: mudah-mudahan hidup saudara dan sahabat ini.” Demikianlah sehingga sampailah kami ke langit yang ketujuh, kemudian sampai di hadapan Allah. Maka difardhukan Allah atas saya 50 shalat setiap hari. Kata Rasūlullāh s.a.w.: “Maka aku pun kembalilah pulang, ketika aku berjumpa lagi dengan Mūsā bin ‘Imrān, – yaitu kawan yang sebaik-baiknya – berkatalah ia kepadaku:

“Berapa shalat yang difardhukan Tuhan atas tuan?” Jawabku: “Yaitu lima puluh shalat setiap hari.” Katanya: “Shalat itu amat berat, umat tuan amat lemah. Kembalilah memohon kepada Tuhan, supaya diringankan bagi tuan dan bagi umat tuan.” Aku pun kembali, lalu memohonkan keringanan bagi aku dan bagi umatku. Maka dikurangi Tuhan 10 shalat. Kemudian aku kembali, dan berjumpa lagi dengan Mūsā. Dikatakannya juga kepadaku seperti yang sudah itu. Aku pun kembali memintakan keringanan bagiku dan bagi umatku. Maka dikurangi Tuhan 10 lagi. Kemudian aku kembali, dan berjumpa lagi dengan Mūsā yang mengatakan padaku seperti katanya mula-mula. Aku kembali lagi memohonkan keringanan kepada Tuhan lalu dikurangi sepuluh lagi. Demikianlah sehingga dikurangi sampai tinggal lima shalat dalam tiap-tiap satu hari dan satu malam. Kemudian aku kembali kepada Mūsā, lalu berkata kepadaku seperti yang pertama juga. Maka kataku kepadanya: “Aku sudah berulang-ulang bermohon kepada Tuhan, sehingga malulah aku meminta dikurangi lagi, tidak dapat lagi aku melakukannya.” Dalam keadaan yang seperti itu terdengarlah suara berkata: “Demikianlah ketetapan yang telah Aku tetapkan. Maka barang siapa yang menunaikannya daripada kamu dengan percaya dan mengharap keridhaan Allah, adalah yang 5 kali itu pahalanya seperti shalat yang 50 kali itu.”

Demikianlah kisah Mi‘rāj dari riwayat Ibnu Isḥāq yang dikekalkan Ibnu Hisyām di dalam Sīrāhnya, dan lain-lain yaitu kitab biografi Nabi yang tertua sekali yang ada sampai sekarang naskahnya yang asli.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *