30
DZIKIR
Allah s.w.t. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang yang berīmān, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (al-Aḥzāb: 41).
Diriwāyatkan (oleh Ibnu ‘Umar) bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرش أَعْمَالِكُمْ، وَ أَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ، وَ أَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ، وَ خَيْرٍ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَ الْوَرَقِ، وَ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَ يَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوْا: مَا ذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى
أخرجه البيهقِي، عن ابن عمر
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang ‘amalmu terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah s.w.t., serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?” Para sahabat bertanya: “Apakah itu, wahai Rasūlullāh?” Beliau menjawāb: “Dzikir kepada Allah s.w.t.” (H.r. Baihaqī).
Diriwāyatkan oleh Anas bin Mālik r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ عَلَى أَحَدٍ يَقُوْلُ: اللهُ اللهُ
أخرجه مسلم، عن أنس بن مالك
“Hari Qiyāmat tidak akan datang kepada seseorang yang mengucap: “Allah, Allah.” (H.r. Muslim).
Anas r.a. juga menuturkan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Qiyāmat tidak akan datang sampai lafazh: “Allah, Allah,” tidak lagi disebut-sebut di muka bumi.” (H.r. Tirmidzī).
Syekh Abū ‘Alī ad-Daqqāq berkata: “Dzikir adalah tiang penopong yang sangat kuat atas jalan menuju Allah s.w.t. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharīqat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah s.w.t., kecuali dengan terus-menerus dzikir kepada-Nya.”
Ada dua macam dzikir: Dzikir lisān dan dzikir hati. Si hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir lisān. Tetapi dzikir hatilah yang membuahkan pengaruh sejati. Manakala seseorang melakukan dzikir dengan lisān dan hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam sulūknya.
Syekh Abū ‘Alī ad-Daqqāq berkomentar: “Dzikir adalah tebaran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berarti telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat.”
Dikatakan bahwa pada awal perjalanannya, Dulaf asy-Syiblī biasa berjalan di jalan raya setiap hari dengan membawa seikat cambuk di punggungnya. Setaip kali kelalaian memasuki hatinya, ia akan melecut badannya sendiri dengan cambuk sampai cambuk itu patah. Kadang-kadang bekal cambuk itu habis sebelum malam tiba. Jika demikian, ia akan memukulkan tangan dan kakinya ke tembok manakala kelalaian mendatanginya.
Dikatakan: “Dzikir hati adalah pedang para pencuri yang degnannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari setiap ancaman yang tertuju kepda mereka. Jika si hamba berlindung kepada Allah s.w.t. dalam hatinya, maka manakala kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah s.w.t., semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu juga.”
Ketika al-Wāsithī ditanya tentang dzikir, menjelaskan: “Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyāhadah mengalahkan rasa takut dan disertai kecintaan yang luar biasa.”
Dzun-Nūn al-Mishrī menegaskan: “Seornag yang benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu.”
Abū ‘Utsmān ditanya: “Kami melakukan dzikir lisān kepada Allah s.w.t., tapi kami tidak merasakan kemanisan dalam hati kami?” Abū ‘Utsmān menasihatkan: “Memujilah kepada Allah s.w.t. karena telah menghiasi anggota badanmu dengan ketaatan.”
Sebuah Hadīts yang masyhūr menuturkan, bahwasanya Rasūlullāh s.w.t. mengajarkan:
“Apabila engkau melihat surga, maka merumputlah (singgah dan meni‘matinya) kamu semua di dalamnya.” Ditanyakan kepada beliau: “Apakah taman surga itu, wahai Rasūlullāh?” Beliau menjawāb: “Yaitu kumpulan orang-orang yang sedang melakukan dzikir kepada Allah.” (H.r. Timirdzī).
Jābir bin ‘Abdullāh menceritakan: “Rasūlullāh s.a.w. mendatangi kami dan beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ارْتَعُوْا فِيْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ، قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا رِيَاضِ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَجَالِسُ الذِّكْرِ. قَالَ: اغْدُوْا وَ رُوْحُوْا وَ اذْكُرُوْا، مَنْ كَانَ يُحِبُّ أَنْ يَعْلَمَ مَنْزِلَتَهُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى، فَلْيَنْظُرْ كَيْفَ مَنْزِلَةُ اللهِ تَعَالَى عِنْدَهُ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُنْزِلُ الْعَبْدَ حَيْثُ أَنْزَلَهُ مِنْ نَفْسِهِ.
أخرجه الترمذي، عن أبي هريرة.
“Wahai ummat manusia, merumputlah di padang taman surga!” Kami bertanya: “Apakah taman surga itu?” Beliau menjawāb: “Majelis orang melakukan dzikir.” Beliau bersabda: “Berjalanlah di pagi dan petang hari, dengan berdzikir. Siapa pun yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah s.w.t., melihat pada derajat mana kedudukan Allah s.w.t. pada dirinya. Derajat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sepadan dengan derajat di mana hamba mendudukkan-Nya dalam dirinya.” (H.r. Tirmidzī, juga riwāyat dari Abū Hurairah).
Asy-Syiblī berkata: “Bukankah Allah s.w.t. telah berfirman: “Aku bersama yang duduk berdzikir kepada-Ku?” Manfa‘at apa, wahai manusia dari orang yang duduk dalam majelis Allah s.w.t.?” Lalu ia bersya‘ir berikut:
Aku mengingat-Mu bukan karena aku lupa pada-Mu sesaat;
Sedang bagian yang paling ringan adalah dzikir lisanku.
Tanpa ghairah rindu aku mati karena cinta,
Hatiku bangkit dalam diriku, bergetar,
Ketika wujd memperlihatkan Engkau adalah hadirku,
Kusaksikan Diri-Mu di mana saja,
Lalu aku bicara kepada yang ada, tanpa ucapan,
Dan aku memandang yang kulihat, tanpa mata.
Di antara karakter dzikir, adalah, bahwa dzikir tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu, kecuali si hamba diperintah untuk berdzikir kepada Allah di setiap waktu, entah sebagai kewajiban ataupun sunnah saja. Akan tetapi, shalat sehari-hari, meskipun merupakan ‘amal ‘ibādat termula, dilarang pada waktu-waktu tertentu. Dzikir dalam hati bersifat terus-menerus, dalam kondisi apa pun. Allah s.w.t. berfirman:
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَ قُعُوْدًا وَ عَلى جُنُوْبِهِمْ
“Yaitu orang-orang yang dzikir kepada Allah, baik sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (tidur).” (Āli ‘Imrān: 191).
Imām Abū Bakar bin Fūrak mengatakan: “Berdiri berarti menegakkan dzikir yang sejati, dan duduk berarti menahan diri dari sikap berpura-pura dalam dzikir.”
Syekh Abū ‘Abd-ur-Rahmān bertanya kepada Syekh Abū ‘Alī ad-Daqqāq: “Manakah yang lebih baik, dzikir ataukah tafakkur? Bagaimana yang lebih berkenan bagimu?” Beliau berkata: “Dalam pandanganku, dzikir adalah lebih baik dari tafakkur, sebab Allah s.w.t. menyifati Diri-Nya sebagai Dzikir dan bukannya fikir. Apa pun yang menjadi sifat Allah adalah lebih baik dari sesuatu yang khusus bagi manusia.” Maka Syekh Abū ‘Alī setuju dengan pendapat yang bagus ini.
Muhammad al-Kattānī berkata: “Seandainya bukan kewājibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku berdzikir kepada Allah s.w.t.? Tanpa membersihkan mulutnya dengan seribu tobat karena berdzikir kepada-Nya!”
Saya mendengar Syekh Abū ‘Alī menuturkan sya‘ir:
ما إن ذكرتك إلا هم يزجرني
قلبي و سري و روحي عند ذكراكا
حتى كأن رقيبًا منك يهتف بي
إياك، ويحك و التذكار إياكا
Tak pernah aku berdzikir kepada-Mu,
Melainkan hatiku, bāthinku serta ruhku mencela diriku.
Sehingga seolah-olah si Rāqib dari-Mu berbisik padaku,
“Waspadalah, celakalah engkau. Waspadalah terhadap dzikir!”
Salah satu sifat khas dzikir adalah, bahwa Dia memberi imbalan dzikir yang lain. Dalam firman-Nya:
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ
“Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.” (al-Baqarah: 152).
Sebuah Hadīts menyembutkan bahwa Jibrīl a.s. mengatakan kepada Rasūlullāh s.a.w. bahwasanya Allah s.w.t. telah berfirman: “Aku telah memberikan kepada ummatmu sesuatu yang tidak pernah Kuberikan kepada ummat yang lain.” Nabi s.a.w. bertanya kepada Jibrīl: “Apakah pemberian itu?” Jibrīl menjawāb: “Pemberian itu adalah firman-Nya: Berdzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan berdzikir kepadamu.” Dia belum pernah memfirmankan itu kepada ummat lain yang mana pun.”
Dikatakan dalam sebuah kitāb bahwa Mūsā a.s. bertanya: “Wahai Tuhanku, di mana Engkau tinggal?” Allah s.w.t. berfirman: “Dalam hati manusia yang beriman.” Firman ini merujuk pada dzikir kepada Allah, yang bermukim di dalam hati, sebab Allah Maha Suci dari setiap bentuk “tinggal” dan penempatan. “Tinggal” yang disebutkan di sini hanyalah dzikir yang tetap dan sekaligus menjadikan dzikir itu sendiri kuat.
Ketika Dzun-Nūn ditanya tentang dzikir, ia menjelaskan: “Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya.” Lalu ia membacakan Sya‘ir:
لا لأني أنساك أكثِرت ذكرا
كَ، ولكن بذاك يجري لساني
Aku banyak berdzikir kepada-Mu bukan karena aku telah melupakan-Mu;
Itu hanyalah apa yang mengalir dari lisanku.
Sahl bin ‘Abdullāh mengatakan: “Tiada sehari pun berlalu, kecuali Allah s.w.t. berseru: “Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zhālim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan-Ku?”
Abū Sulaimān ad-Dārānī berkata: “Di surga ada lembah-lembah di mana para malaikat menanam pepohonan, ketika seseorang mulai berdzikir kepada Allah. Terkadang salah seorang malaikat itu berhenti bekerja dan teman-temannya bertanya kepadanya: “Mengapa engkau berhenti?” Ia menjawāb: “Sahabatku telah kendor dzikirnya.”
Dikatakan: “Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir dan membaca al-Qur’ān. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.”
Ahmad al-Aswad menuturkan: “Ketika aku sedang melakukan perjalanan bersama Ibrāhīm al-Khawwāsh, kami tiba di suatu tempat yang dihuni banyak ular. Ibrāhīm al-Khawwāsh meletakkan kualinya dan duduk, begitu pun denganku. Ketika malam tiba dan udara menjadi dingin, ular-ular itu pun berkeliaran. Aku berteriak kepada Syekh, yang lalu berkata: “Dzikirlah kepada Allah!” Aku pun berdzikir, dan ular-ular itu akhirnya pergi menjauhi. Kemudian mereka datang lagi. Aku berteriak lagi kepada Syekh, dan beliah menyuruhku berdzikir lagi. Hal itu berlangsung terus sampai pagi. Ketika kami bangun, Syekh berdiri dan meneruskan perjalanan, dan aku pun berjalan menyertainya. Tiba-tiba seekor ular besar jatuh dari kasur gulungnya. Kiranya semalam ular itu telah tidur bergulung bersama beliau. Aku bertanya kepada Syekh: “Apakah anda tidak merasakan adanya ular itu?” Beliau menjawāb: “Tidak. Sudah lama aku tidak merasakan tidur nyenyak seperti tidurku semalam.”
Abū ‘Utsmān berkata: “Seseorang yang tidak dapat merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir.”
As-Sarrī menegaskan: “Tertulis dalam salah satu kitab suci: “Jika dzikir kepada-Ku menguasai hamba-Ku, maka ia telah asyik kepada-Ku dan Aku pun asyik kepadanya.” Dikatakan pula: “Allah mewahyukan kepada a.s. Dawud a.s.: “Bergembiranlah dengan-Ku dan bersenang-senanglah dengan dzikir kepada-Ku!”
Ats-Tsaurī mengatakan: “Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma‘rifat adalah terputus dari dzikir kepada-Nya.”
Tertulis dalan Injīl: “Ingatlah kepada-Ku ketika engkau dipengaruhi oleh memarahan, dan Aku akan ingat kepadamu ketika Aku marah. Bersikap ridhalah dengang pertolongan-Ku kepadamu, sebab itu lebih baik bagimu dari pertolonganmu kepada dirimu sendiri.”
Seorang pendeta ditanya: “Apakah engkau sedang berpuasa?” Ia menjawāb: “Aku berpuasa dengan dzikir kepada-Nya. Jika aku mengingat selain-Nya, maka puasaku bathal.”
Dikatakan: “Apabila dzikir kepada-Nya menguasai hati manusia dan setan datang mendekat, maka ia akan menggeliat-geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat-geliat manakala setan-setan mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka semua setan akan berkumpul dan bertanya: “Apa yang telah terjadi atas dirinya?” Salah seorang dari mereka akan menjawāb: “Seorang manusia telah menyentuhnya.”
Sahl berkata: “Aku tidak mengenal dosa yang lebih buruk dari lupa kepada Allah s.w.t.”
Dikatakan bahwa malaikat tidak membawa dzikir bathin seorang manusia ke langit, sebab ia sendiri bahkan tidak mengetahuinya. Dzikir bathin adalah rahasia antara si hamba dengan Allah s.w.t.
Salah seorang Shūfī menuturkan: “Aku mendengar cerita tentang seorang laki-laki yang berdzikir di sebuah hutan. Lalu aku pergi menemuinya. Ketika ia sedang duduk, seekor binatang buas menggigitnya dan mengoyak dagingnya. Kami berdua pingsan. Ketika ia siuman, aku bertanya kepadanya tentang hal itu, dan ia berkata kepadaku: “Binatang itu diutus oleh Allah. Apabila engkau kendor dalam berdzikir kepada-Nya, ia datang kepadaku dan menggigitku sebagaimana yang engkau saksikan.”
‘Abdullāh al-Jurairī mengabarkan: “Di antara murīd-murīd kami ada seorang laki-laki yang selalu berdzikir dengan mengucap: “Allah, Allah.” Pada suatu hari sebatang cabang pohon patah dan jatuh menimpa kepalanya. Kepalanya pun pecah dan darah mengalir ke tanah membentuk kata-kata “Allah, Allah.”