Barang siapa yang mengaku-ngaku bahwa ḥāliyyah (keadaan)-nya telah bersama Allah, lalu muncul salah satu dari lima sikap di bawah ini maka ia adalah pembohong atau tercerabut ḥāliyyah-nya, lima penyakit itu adalah:
Orang-orang yang terjangkit oleh penyakit di atas maka jarang sekali dari mereka yang meninggal dalam keadaan ḥusn-ul-khātimah.
Beberapa syarat bagi seorang syaikh yang layak diikuti oleh murid, yaitu:
Kedudukan syaikh akan gugur apabila salah satu yang lima ini ada padanya:
Lima adab seorang murid kepada syaikh dan ikhwan:
Meskipun di antara mereka sudah ada sosok syaikh yang membimbing namun dalam berinteraksi sesama ikhwannya seorang murid harus saling membantu mengingatkan (lima perkara tersebut) dengan nasihat dan pencerahan, dan apabila terdapat kekurangan dari sosok syaikh berkenaan syarat kemursyidan yang lima maka hendaklah seorang murid berpegang pada aspek kemursyidan yang dianggap telah sempurna sementara aspek lainnya disikapi secara ukhuwah.
Akhlak mulia adalah pondasi tharīqah dan pijakan utama bagi para ahli tashawwuf dalam membangun kualitas spiritualnya, Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ. (رواه أحمد).
“Aku telah diutus untuk benar-benar menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Imām Aḥmad).
Dalam riwayat lain, beliau bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ فِي الْمِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ. (رواه الترمذي).
“Yang paling berbobot dalam timbangan amal (kelak di akhirat) adalah akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzī).
Berdasarkan hal tersebut, Imām Abū Bakar al-Kittānī r.a. berkata: “Tashawwuf adalah akhlak, karena itu barang siapa yang telah membuatmu menjadi tambah berakhlak berarti ia sungguh telah menambah derajatmu dalam tashawwuf.”
Sayyid Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengatakan: “Ada tiga hal yang termasuk akhlak para wali yaitu ketulusan jiwa, kemurahan hati dan berbaik sangka kepada hamba-hamba Allah.”
Dalam wasiat Sayyid Syaikh Muḥammad bin Shiddīq al-Ghumarī r.a. tampak jelas gambaran – bagaimana seharusnya – keadaan Ahlullāh, beliau telah berwasiat:
“Alḥamdulillāh, wa ba‘du, Aku berwasiat kepadamu untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dalam keadaan sepi maupun ramai, melepas segala perkara yang menyebabkan tercegahnya karunia sebab sesungguhnya meminta limpahan anugerah tanpa kesiapan jiwa ibarat bepergian tanpa membawa bekal, aku berwasiat agar engkau menjaga (dzikir) pada semua hembusan nafas, menjaga panca indra, bersikap ridha kepada Allah, bersabar atas kehilangan, menepati janji-janji, memperbanyak shalat, menyerahkan perencanaan dan ikhtiar kepada Sang Maha Mengatur dan Menentukan, mengamalkan sunnah, mengikuti para imam, menemani orang-orang shalih dan taat, berkumpul bersama ahli ibadah yang khusyu‘, bergaul dengan para penepat janji, berkunjung/menziarahi orang-orang shalih.
Jadilah engkau sebagai orang yang berdaya pikir luas, berdzikir dengan lisan dan hati, berilmu banyak, mempunyai keagungan sifat ḥilm dan berhati luas, tertawalah dengan tersenyum, bertanyalah dengan maksud belajar, jadilah penasihat bagi orang yang lengah, pengajar pada orang jahil, jangan menyakiti orang yang menyakitimu, jangan terbawa pada urusan yang tidak bermanfaat, jangan berbahagia atas penderitaan orang lain, jangan mengotori lisanmu dengan gunjingan.
Jadilah orang yang jujur dalam ucapan, berlepas diri dari upaya dan kekuatan (membaca lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh), menahan diri dari berbagai syubhat, menjadi bapak bagi anak yatim, tampakkanlah kegembiraan di wajahmu dan sembunyikan kesedihan dalam hatimu, sibuk mengurus (‘aib) diri sendiri, jangan menyebarkan rahasia dan membuka tabir ‘aib.
Perbanyaklah ibadah dan mohonlah tambahan hidayah, banyak diam, bertahan dari gangguan orang jahil, memaafkan orang yang berbuat buruk kepadamu, sayangi orang yang lebih muda dan hormati orang yang lebih tua, terpercaya mengemban amanah jauh dari sifat khianat, sabar dalam berbagai kesulitan, tidak merepotkan orang lain dan banyak memberi pertolongan, berlama-lama dalam berdiri (shalat), sering berpuasa, shalatlah dengan penuh rasa tersipu, puasalah dengan rasa penuh harap, tundukkan pandangan, sedikit dosa, banyak beramal, penuh adab kepada para auliyā’.
Hiasi ucapanmu dengan kandungan hikmah dan tatapanmu dengan penuh ‘ibrah, jangan banyak mengeluh dan jangan suka membuka aurat/‘aib (sesama), jangan menjadi penghasut dan pendengki, carilah kemuliaan/keridhaan Allah dari setiap urusan, bersemangatlah memakmurkan bumi dengan jasadmu namun ruhmu senantiasa mengingat kematian dan akhirat, selimuti dirimu dengan busana ketawadhuan, tanggalkanlah berbagai pengharapan (thama‘) pada makhluk dan jadilah orang yang bertawakkal kepada Sang Maha Mengatur lagi Maha Pencipta.”