Syaikh Aḥmad Zarrūq asy-Syādzilī r.a. berkata: “Ada lima pondasi dalam thariqah kami, yaitu:
Ketahuilah, bahwa ketaqwaan dinyatakan dengan sikap wara‘ dan istiqāmah, menghidupkan Sunnah berarti menjaganya dan berakhlak mulia, berpaling dari makhluk ditunjukkan dengan sabar dan tawakkal, keridhaan hati kepada Allah s.w.t. tampak dengan qanā‘ah dan pasrah, dan pujian rasa syukur di saat bahagia serta bergantung pada-Nya di kala sengsara adalah cerminan sikap pasrah mengembalikan usruan kepada Allah s.w.t.
Lima pondisi di atas bertumpu pada lima pondasi lainnya, yaitu:
Barang siapa yang tingggi semangatnya maka tinggi-lah derajatnya, barang siapa yang menjaga batasan Allah maka Dia akan menjaganya, barang siapa yang tulus khidmahnya maka pasti akan muncul karamahnya, barang siapa kokoh tekadnya maka akan lestari hidayahnya, dan barang siapa yang sadar akan keagungan ni‘mat yang diberikan kepadanya tentu ia akan mensyukurinya dan tergolong sebagai orang yang bersyukur sehingga pasti akan mendapat tambahan ni‘mat dari Sang Maha Pemberi ni‘mat sebagaimana telah dijanjikan oleh-Nya.
Ada lima pondasi dalam ber-mu‘āmalah yaitu:
Petaka dalam pencarian ilmu adalah mengutamakan bergaul dengan banyak orang yang usianya lebih muda (dengan pengertian) pikirannya sempit, ilmu agamanya dangkal tidak memiliki basic dasar penguasaan dalil maupun kaidah (hukum).
Petaka dalam kegiatan shuḥbah bersama masyā’ikh adalah terkecoh oleh penilaian dan merasa mendapat keunggulan.
Petaka dalam upaya meninggalkan berbagai keringanan dan mencari-cari sejumlah alasan adalah mengasihani nafsu.
Petaka dalam penentuan waktu wirid adalah banyaknya pertimbangan dalam melirik amalan yang mempunyai keutamaan.
Petaka dalam upaya mengekang nafsu adalah terlena dengan anggapan diri sudah merasa baik dan lurus. Berkenaan hawa nafsu, Allah s.w.t. berfirman:
وَ إِنْ تَعْدِلْ كُلَّ عَدْلٍ لَا يُؤْخَذْ مِنْهَا.
“Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima (tebusan) itu daripadanya.” (QS. al-An‘ām: 70).
Dan sebagaimana perkataan Nabi Yūsuf a.s. yang diabadikan dalam al-Qur’ān:
وَ مَا أُبَرِّئُ نَفْسِيْ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْ إِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yūsuf: 53).
Pokok pengobatan bagi penyakit hati ada lima:
Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. berkata: “Kekasihku telah berwasiat dan berkata kepadaku: “Janganlah engkau melangkahkan kedua telapak kakimu kecuali sekiranya dengan langkahmu itu engkau berharap pahala dari Allah, janganlah duduk kecuali pada tempat yang aman dari celah bermaksiat kepada Allah, janganlah berteman kecuali dengan orang yang dapat membantumu dalam ketaatan kepada Allah dan janganlah mengistimewakan siapa pun di hatimu kecuali seseorang yang menyebabkanmu bertambah dalam keyakinan, dan orang yang demikian itu sangat sedikit jumlahnya.”
Beliau juga berkata: “Barang siapa yang mengarahkanmu pada dunia maka ia telah menipumu, barang siapa yang mengarahkanmu pada amal maka ia akan membuatmu letih dan barang siapa yang mengarahkanmu kepada Allah, maka sungguh ia telah menasihatimu.”
Beliau berkata: “Jadikanlah ketaqwaan sebagai daerahmu niscaya ancaman hawa nafsu tidak akan pernah bisa membinasakanmu selama engkau tidak rela pada keburukannya atau selama engkau tidak terus-menerus dalam melakukan dosa dan atau selama rasa takutmu kepada Allah – dalam keadaan ghaib – tidak luntur.”
Syaikh Aḥmad Zarrūq r.a. berkata: “Faktor utama petaka/bencana ada lima perkara:
Kemudian lima hal tersebut memunculkan lima penyakit:
Lima penyakit di atas menyebabkan lima kerusakan:
Barang siapa yang telah mencapai derajat hakikat tentu ia akan mengerti bahwa sesungguhnya (menempuh) asbāb hanyalah sebagai rukhshah bagi orang-orang yang lemah dan orang yang berada pada maqām asbāb hendaklah ia berlaku sewajarnya tidak melebihi batas kebutuhannya karena upaya dalam menempuh asbāb/awā’id ibarat meminum ramuan obat (yang harus sesuai kadarnya) dan sebagai pelaksanaan pada hikmah yang hak. Oleh sebab itu tidaklah seseorang larut di saat menempuh asbāb kecuali ia dalam keadaan menjauhi Allah.
Ketahuilah, bahwa sima‘ merupakan rukhshah/keringanan bagi orang yang maghlūb (terhanyut) atau sekedar rāḥah/kesenangan bagi orang yang kāmil dan rāḥah itu sendiri adalah kemunduran pada tataran al-Ḥaqq yang terbentang luas (itupun) jika memang sesuai dengan syaratnya bagi ahlinya sesuai tempat dan adabnya.
Adapun sifat waswas merupakan bid‘ah dan kemunculannya disebabkan oleh kerancuan akal pikiran dan kebodohan pada sunnah, sedangkan sikap cari muka untuk mendapatkan perhatian makhluq berarti berpaling dari al-Ḥaqq Allah s.w.t. terlebih bagi seorang qārī yang bersekongkol (dalam keburukan) atau seorang pemberani yang lengah dan atau bagi seorang shūfī yang jahil.
Selain itu, shuḥbah dengan orang-orang yang muda belia merupakan suatu kegelapan dan ‘aib di dunia maupun akhirat dan menerima saran-sarannya menyebabkan bencana yang amat parah dan sangat berbahaya.
Berkenaan dengan hal ini Syaikh Abū Madyān r.a. menyatakan: “Orang yang muda/mentah adalah ia yang tidak mendukungmu dalam tharīqah walaupun ia adalah seseorang yang berusia 90 tahunan.”
Dan Syaikh Aḥmad Zarrūq r.a. berpendapat bahwa orang yang muda/mentah adalah ia yang tidak stabil dalam satu keadaan dan cenderung mudah menerima setiap apa yang dilontarkan kepadanya dan mudah terpukau. Gejala ini yang paling banyak ditemukan di kalangan para pengikut tharīqah dan para murid di majlis-majlis komunitas tharīqah, karena itu berhati-hatilah terhadap mereka dengan penuh kewaspadaan.