Di antara keistimewaan yang diberikan oleh Allah s.w.t.
kepada kaum mu’min ialah bahwa
jika seorang mu’min menjaga imannya
hingga akhir hayatnya,
tidak melakukan dosa-dosa yang menyebabkan hilangnya
taufīq darinya, tidak melakukan hal-hal yang
menyebabkan sū’-ul-khātimah, dan
tidak condong kepada keraguan
atau pengingkaran,
singkatnya
jika ia meninggal dunia dalam
keadaan mu’min, maka ia tidak akan mengalami
siksa yang abadi, dosa-dosa kecilnya akan diampuni
lantaran ia menjauhi dosa besar, dan akan diampuni pula dosa-
dosa besarnya jika ia melakukan taubat
dengan segenap syarat-syaratnya.
Namun, jika ia tidak sempat melakukan taubat, ketabahannya dalam menanggung berbagai musibah dan kesulitan dunia dapat meringankan beban dosa-dosanya, berbagai kesulitan dan goncangan alam barzakh serta tahap-tahap awal nusyūr (kebangkitan) dan Hari Kiamat. Apabila dosa-dosa dan kesalahannya itu masih juga belum bisa disucikan dengan itu semua, syafā‘at akan melakukan perannya untuk menyelamatkannya dari neraka. Syafā‘at ini merupakan manifestasi rahmat Tuhan yang paling besar yang dianugerahkan kepada para kekasih-Nya, khususnya Rasūlullāh s.a.w. dan Ahl-ul-Baitnya yang mulia.
Dari beberapa riwayat, al-Maqām-al-maḥmūd (kedudukan nan mulia) yang dijanjikan kepada Rasūlullāh s.a.w. di dalam al-Qur’ān adalah kedudukan syafā‘at. Begitu juga ayat yang berbunyi: “Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS. adh-Dhuḥā: 5) mengisyaratkan ampunan Allah s.w.t. yang mencakup orang-orang yang berhak mendapatkannya melalui syafā‘at Rasūlullāh s.a.w.
Maka itu, harapan terbesar dan tempat penantian terakhir kaum mu’min yang berdosa adalah syafā‘at. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka tidak boleh merasa aman dari murka Allah. Hendaknya mereka waspada sehingga tidak melakukan sesuatu perbuatan yang menyebabkan mereka sū’-ul-khātimah dan tercabutnya iman pada saat ajalnya datang menjemput. Dan hendaknya mereka tidak terikat dengan perkara-perkara duniawi, dan jangan sampai mengakar di dalam hati-hati mereka sebegitu rupa sehingga mereka meninggalkan dunia ini dalam keadaan benci kepada Allah s.w.t. Karena Dialah yang dengan kematian memisahkan mereka dari apa yang mereka cintai itu.
Syafā‘at berasal dari kata dasar asy-syaf‘u, artinya genap dan sesuatu yang digabungkan dengan yang ganjil. Umumnya syafā‘at biasa diungkapkan untuk permohonan pribadi yang mulia kepada sosok yang lebih besar supaya berkenan memberikan maaf terhadap kesalahan orang ketiga, atau melipat-gandakan upah sebagian para pekerja dan pembantu. Barang kali rahasia digunakan kata syafā‘at pada masalah-masalah ini adalah bahwa seseorang yang bersalah itu sebenarnya tidak berhak mendapatkan ampunan atau seperti pekerja dan pembantu yang pada dasarnya mereka tidak berhak mendapatkan kelipatan upah, akan tetapi berkat permohonan si pemberi syafā‘at (pribadi yang mulia), mereka menjadi berhak untuk itu.
Dalam kehidupan sosial, seseorang akan menerima syafā‘at dan syāfi‘ (pemberi syafā‘at) karena merasa kuatir, jika ia tidak menerima syafā‘at-nya, maka pemberi syafā‘at akan merasa sakit hati. Akibatnya, ia tidak merasa nyaman dan akrab lagi ketika bergaul atau berkhidmat kepadanya. Bahkan terkadang jika tidak menerima syafā‘at-nya, ia akan menerima gangguan dan ancaman bahaya dari sang pemberi.
Kita amati bahwa orang-orang musyrik yang meyakini bahwa Tuhan memiliki sebagian sifat-sifat manusia seperti: butuh ketentraman, bergaul dengan istri, menyesal, atau membutuhkan pembantu yang menyertainya dalam bekerja atau gelisah akan disaingi oleh sekutu-Nya. Sesungguhnya mereka itu demi mendapatkan perhatian dan belas-kasihan dari Sang Pencipta Yang Maha Besar, atau supaya selamat dari murka-Nya berwasilah kepada-Nya dengan tuhan-tuhan buatan, atau menyembah malaikat dan jinn, atau merendahkan diri di depan patung-patung. Mereka berkata:
“Mereka adalah penolong-penolong kami di sisi Allah.” (QS. Yūnus: 18).
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS. az-Zumar: 3)
Sehubungan dengan kepercayaan jahiliyyah ini, al-Qur’ān mengatakan: “Sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafā‘at pun selain daripada Allah.” (QS. al-An‘ām: 51).
Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa mengingkari para pemberi syafā‘at atau penafian syafā‘at seperti ini bukan berarti mengingkari syafā‘at secara mutlak. Di dalam al-Qur’ān sendiri terdapat ayat-ayat yang menunjukkan adanya syafā‘at (dengan idzin Allah) dan dijelaskan pula syarat-syarat para pemberi syafā‘at dan mereka yang berhak di-syafā‘at-i.
Layak untuk diketahui bahwa Allah s.w.t. menerima syafā‘at dari para pemberi syafā‘at yang telah diidzinkan itu bukan lantaran takut atau butuh kepada mereka, tetapi sebagai sebuah jalan yang Allah berikan kepada orang-orang yang tidak berhak mendapatkan rahmat abadi kecuali segelintir hamba-Nya. Untuk mendapatkan hak syafā‘at tersebut, Allah s.w.t. telah menentukan syarat-syarat khusus. Sebenarnya, perbedaan antara syafā‘at yang benar dan syafā‘at yang bāthil itu tidak ubahnya dengan perbedaan antara kepercayaan terhadap wilāyah (otoritas) atau pengaturan dengan idzin Allah dan wilāyah dan pengaturan yang mandiri, sebagaimana telah dijelas pada bagian Tauḥīd.
Terkadang kata syafā‘at juga digunakan untuk ma‘na yang lebih luas dari ma‘na tersebut di atas, sehingga ia meliputi setiap pengaruh baik pada seseorang melalui orang lain. Sebagaimana syafā‘at (pertolongan ) kedua orang tua kepada putra-putrinya atau sebaliknya, dan syafā‘at para guru kepada anak-anak didiknya. Bahkan, syafā‘at ini juga meliputi syafa‘at seorang mu’adzdzin kepada orang-orang yang hendak melaksanakan shalat, yang ketika mendengar suara adzan, mereka segera bergegas menuju masjid. Sebenarnya pengaruh kebaikan pada diri mereka yang terdapat di dunia ini sendiri akan tampak pada Hari Kiamat nanti dalam bentuk syafā‘at dan pertolongan..
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa permohonan ampun untuk orang-orang yang bermaksiat di dunia ini termasuk ke dalam kategori syafā‘at pula. Bahkan, doa untuk orang lain dan tawassul kepada Allah agar dikabulkan hajat-hajatnya, sebenarnya ini pun merupakan syafā‘at Allah. Sebab, semua itu merupakan wasīlah Allah s.w.t. untuk menyampaikan kebaikan kepada seseorang atau untuk menolak bencana darinya.