Kami memandang bahwa sesungguhnya memperingati Maulid Nabi Yang Mulia itu tidak mempunyai bentuk-bentuk khusus yang mana semua orang harus dan diharuskan untuk melaksanakannya. Akan tetapi segala sesuatu yang dilakukan, yang dapat menyeru atau mengajak manusia kepada kebaikan dan mengumpulkan manusia atas petunjuk (agama) serta menunjuki mereka kepada hal-hal yang membawa manfaat bagi mereka, untuk dunia dan akhirat mereka maka hal itu dapat digunakan untuk memperingati Maulid Nabi.
Oleh karena itu andaikan kita berkumpul dalam suatu majlis yang disitu dibacakan puji-pujian yang menyanjung al-Ḥabīb (Sang Kekasih yakni Nabi s.a.w.), keutamaan beliau, jihad (perjuangan) beliau, dan kekhususan-kekhususan yang ada pada beliau, lalu kita tidak membaca kisah Maulid Nabi – yang telah dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat dan mereka menyebutnya dengan istilah “Maulid” (seperti Maulid Dibā‘. Barzanjī, Syaraf-ul-Anām, al-Ḥabsyī, dsb.), yang mana sebagian orang menyangka bahwa peringatan maulid itu tidaklah lengkap tanpa pembacaan kisah-kisah “Maulid” tersebut – kemudian kita mendengarkan mau‘izhah-mau‘izhah (peringatan-peringatan), pengarahan-pengarahan, nasihat-nsihat yang disampaikan oleh para ulama dan ayat-ayat al-Qur’ān yang dibacakan oleh seorang qāri’. Saya mengatakan: “Andaikan kita melakukan itu semua maka itu sama halnya dengan kita membaca kisah “Maulid” Nabi Yang Mulia tersebut dan itu termasuk dalam makna memperingati Maulid Nabi Yang Mulia. Dan saya yakin bahwa pengertian yang saya maksudkan ini tidak menimbulkan perbedaan serta adu domba antara dua kelompok.”