Allah Yang Maha Agung berfirman: Wahai anak Ādam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga. Dia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya dia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaithan-syaithan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. al-A‘rāf: 27).
Imām al-Qurthubī, dalam menafsirkan ayat ini, mengatakan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa dalam ayat ini terdapat dalil bahwa jinn itu tidak bisa dilihat, berdasarkan firman Allah yang berbunyi: “dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” Akan tetapi sebagian lainnya mengatakan bisa. Sebab, jika Allah menghendaki memperlihatkan mereka, maka Dia menampakkan tubuh mereka, sehingga dapat dilihat. An-Nuḥḥās mengatakan bahwa firman Allah yang berbunyi: Dari tempat yang kalian tidak dapat melihat mereka, menunjukkan bahwa jinn itu tidak bisa dilihat, kecuali pada masa Nabi. Sebab, hal itu merupakan bukti kenabian beliau. Yang demikian itu disebabkan karena Allah s.w.t. menciptakan mereka dalam bentuk ciptaan yang memang tidak bisa dilihat. Akan tetapi ketika mereka dialihkan dari bentuknya yang asli, dan yang demikian itu hanya merupakan mu‘jizat pada masa para nabi, maka mereka bisa dilihat. Al-Qusyairī mengatakan: “Allah s.w.t. memberlakukan adat bahwa anak-cucu Ādam tidak dapat melihat syaithan sekarang ini (di dunia), dan dalam sebuah riwayat disebutkan: “Syaithan berjalan dalam tubuh anak cucu Ādam bersamaan dengan aliran darah”.” (281).
Al-Baihaqī meriwayatkan dalam Manāqib-usy-Syāfi‘ī, dengan sanad dari ar-Rabī‘, katanya: “Saya mendengar asy-Syāfi‘ī berkata: “Barang siapa mengklaim dirinya melihat jinn, maka kami menganggap syahadatnya telah batal, kecuali jika dia seorang nabi.” (292).
Pendapat yang sama juga diikuti oleh Ibn Ḥazm azh-Zhāhirī ketika mengatakan: “Mereka (jinn) bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka, sebab Allah s.w.t. telah berfirman: Sesungguhnya dia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. (Qs. al-A‘rāf: 27). Kalau Allah telah memberitakan kepada kita bahwa kita tidak dapat melihat mereka, maka barang siapa yang mengklaim diri telah melihat mereka, maka dia telah berdusta, kecuali kalau dia memang seorang nabi. Sebab, bagi para nabi, melihat jinn adalah suatu mu‘jizat, sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasūlullāh s.a.w., bahwa beliau juga digoda syaithan dalam upayanya menggagalkan shalat beliau.” (303).
Sayat bertanya kepada jinn Muslim sahabat saja: “Bagaimana pendapatmu tentang melihat jinn, apakah manusia bisa melihatnya?”
“Kabarnya, di antara kalian ada yang berpendapat bahwa barang siapa yang mengatakan telah melihat jinn, batallah syahadatnya, atau ditolaklah syahadatnya….” tanyanya kembali.
“Memang benar, itu adalah pendapat Imām asy-Syāfi‘ī r.a.” *5, jawab saya.
“Memang begitu. Akan tetapi apa yang disampaikan Allah s.w.t. tidaklah menafikan kemungkinan melihatnya. Yang dimaksudkan di situ adalah bahwa pada prinsipnya memang begitu. Yang demikian itu adalah sesuatu yang wajar, yang sejalan dengan karakter tubuh kami yang diciptakan oleh Allah s.w.t. Kami adalah dunia yang dikehendaki Allah untuk tidak bisa dilihat dari alam manusia, tidak bisa didengar dan disentuh, kecuali dalam beberapa hal yang didahului oleh ilmu-Nya. Yaitu, pemberitahuan tentang keistimewaan dunia ini, atau kemampuan khusus yang dengannya dia (jinn) menjadi mudah melancarkan gangguan atau bergaul dengan manusia, tanpa manusia sendiri, pada umumnya, memiliki kemungkinan untuk melihat mereka, kecuali dalam kondisi-kondisi yang sangat khusus.”
“Menurut hematmu, apa pengecualian tersebut?”
“Tadi sudah saya katakan, yakni ketika bumi menampakkan diri dalam bentuk yang memang bisa dilihat, atau dalam keadaan sihir, atau minum air sihir, atau melalui kemauan jinn itu sendiri untuk memperlihatkan diri, dan kondisi-kondisi tertentu yang di situ terpenuhi segala syarat untuk bisa melihat kami.” (326).
“Apakah ada larangan terhadapmu untuk menjelaskan secara rinci masing-masing kondisi tersebut, kemudian memberi sedikit keterangan yang bisa membuat orang-orang yang berakal menjadi paham, dan orang-orang yang bodoh menjadi tahu?”
“Tidak, tidak ada larangan apa pun…..”