Syafā‘at adalah hak khusus bagi Allah.
Dia-lah yang menguasainya. Syafā‘at tidak diberikan kepada
seseorang tanpa idzin dari-Nya. Syafā‘at diberikan
oleh orang yang diridhai Allah dan dengan idzin
dari-Nya, dengan demikian syafā‘at
adalah mutlak (milik) Allah s.w.t.
Sesungguhnya tak ada yang lebih berhak dan berkuasa daripada Allah s.w.t. Dialah pemberi syafā‘at dan syafā‘at tersebut ia berikan atas kehendak-Nya. Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang pertama kali memperoleh syafā‘at dari Allah s.w.t.
Tatkala ujian semakin dahsyat terhadap manusia di tempat yang agung, maka para hamba mencari-cari para rasūl yang memiliki kedudukan tinggi supaya dapat memberikan syafā‘at (pertolongan) mereka di sisi Tuhan mereka. Hal itu dimaksudkan agar rasūl dapat membebaskan manusia dari beban dan kesengsaraan Hari Kiamat.
Mulanya mereka memohon kepada ayah mereka, Ādam, untuk melaksanakan tugas besar ini, mengingatkan kepadanya tentang kelebihan dan pemuliaan yang diberikan Allah kepadanya, namun ia menolak dan memohon maaf (karena tak mampu melakukannya), dan menyebutkan kemaksiatan yang pernah dilakukannya terhadap Tuhannya tatkala ia memakan pohon yang diharamkan Allah.
Kemudian, Ādam menganjurkan mereka untuk menemui Nūḥ yang merupakan rasūl yang pertama kali diutus Allah kepada manusia, dan ia telah diberi nama oleh Allah sebagai hamba yang banyak bersyukur, tetapi ia menolak dan menyebutkan kekurangan yang dilakukannya dalam mengerjakan sebagian hak Tuhannya.
Nūḥ pun memberikan isyarat untuk menemui rasūl-rasūl yang termasuk dalam kategori ulul-azmi. Namun, pada akhirnya, sampai kepada Rasūl terakhir, Muḥammad s.a.w. yang telah diampuni dosanya oleh Allah, baik dosa yang terdahulu ataupun dosa yang terakhir, sehingga ia menduduki tingkatan yang disanjung oleh generasi yang terdahulu dan terakhir, serta tampak kedudukan agung dan derajat tinggi beliau. (221)
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Jika telah datang Hari Kiamat, maka saya menjadi pemimpin para nabi, juru bicara mereka, dan pemilih syafā‘at tanpa bermaksud berbangga diri.” (232).
Biasanya, ketika seseorang menyebutkan kedudukan dirinya, ia menyebutkannya dengan maksud untuk membanggakan diri. Namun, Nabi s.a.w. ingin menampik pemahaman orang yang berpikiran bahwa beliau menyebutkan kedudukan diri beliau itu dengan maksud untuk berbangga diri. Karena itulah, beliau mengatakan: “Bukan untuk berbangga diri.”
Demikianlah sifat Rasūlullāh s.a.w. yang selalu merendahkan diri dari sesuatu yang bisa mengotori hatinya. Karena itulah sudah sepatutnya Beliau adalah orang yang pertama kali mendapatkan syafā‘at di antara nabi-nabi yang lainnya.
Syafā‘at ma‘nanya adalah perantaraan, atau lebih jelasnya “bantuan untuk memohonkan pertolongan kepada Allah.” Syafā‘at Nabi maksudnya mengharapkan Nabi Muḥammad untuk menjadi perantara kita untuk memohonkan kebaikan (atau memohonkan untuk meringankan dosa-dosa kita) bagi kita kepada Allah di hari pengadilan nanti.
Tak semua orang bisa dengan mudahnya mendapatkan syafā‘at Nabi sebab untuk mendapatkan syafā‘at tersebut, seseorang harus mengetahui beberapa caranya sebagaimana berikut ini:
Syafā‘at Nabi Muḥammad s.a.w. merupakan sesuatu yang diimpikan oleh setiap Muslim. Sebab seorang Muslim tidak dapat mengandalkan ‘amalan ‘amilyyahnya semata di hari kiamat. Kita sangat memerlukan syafā‘at dari Rasūlullāh. Mengingat begitu pentingnya syafā‘at, maka mencarinya merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim, jika dirinya ingin selamat di hadapan Allah s.w.t. kelak.
Adapun cara yang paling efektif untuk memperoleh syafā‘at-nya adalah dengan cara membaca shalawat kepada beliau sebanyak-banyaknya. Dengan perantara shalawat inilah, in syā’ Allāh, seseorang akan selamat dari berbagai fitnah di dunia maupun di akhirat. Sehingga kita bisa menghadapi segala kesulitan di alam barzakh maupun di padang mahsyar.
Zaid bin Ḥabbāb meriwayatkan Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa membaca shalawat kepadaku, maka dirinya wajib memperoleh syafā‘at-ku.”
‘Ā’isyah r.a. berkata: “Barang siapa mencintai Allah pasti banyak menyebut-Nya (dengan banyak berdzikir kepada-Nya), buahnya ia akan diingat oleh Allah dengan pemberian rahmat dan ampunan-Nya. Ia dimasukkan surga bersama para nabi dan para wali-Nya, serta dimuliakan dengan memandang keindahan Dzāt-Nya.”
Barang siapa mencintai Nabi s.a.w., maka pasti ia banyak membaca shalawat kepadanya. Buahnya ia akan memperoleh syafā‘at dan akan dekat dengan beliau di surga. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku, sebab shalawat kalian menjadi ampunan dosa-dosa kalian, dan tuntutlah wasīlah bagiku serta tingginya derajat, sebab wasilahku merupakan syafā‘at bagi kalian di hadapan Tuhanku.”
Maka bisa dikatakan takabbur bagi orang yang menyepelekan shalawat, yang hanya mengandalkan ‘amal ‘ibādahnya dan ia yakin bisa masuk surga. Menyepelekan shalawat berarti merendahkan Nabi. Karena itu, jangan sekali-kali kita menyepelekan shalawat, sebab efeknya besar sekali, terutama terhadap keselamatan ‘aqīdah, tingkah laku dan perkataan yang tidak terkontrol.
Syafā‘at Rasūlullāh s.a.w. tak hanya untuk orang-orang yang berdosa, tapi juga untuk mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan semacamnya, yaitu, karamah-karamah Allah s.w.t. yang istimewa, seperti bernaung di bawah ‘Arasy, tanpa menjalani pemeriksaan (ḥisāb) dan masuk surga dengan kecepatan tertentu, orang yang memohonkan wasilah akan mendapatkan itu semua atau hanya sebagiannya.
Membaca shalawat selain sebagai bukti rasa cinta kepada Rasūlullāh s.a.w. juga sebagai jembatan tali-kasih antara Nabi dan umatnya. Bahkan tak sedikit, para ‘ālim ‘ulamā’ yang mengakui keberhasilan dalam membaca shalawat, terlebih-lebih syafā‘at yang harus diterima.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang membaca shalawat untukku pada waktu Shubuḥ sebanyak 10 kali dan pada waktu sore sebanyak 10 kali, maka ia akan memperoleh syafā‘at-ku pada Hari Kiamat.”
“Barang siapa yang bisa meninggal dunia di Madīnah, maka hendaknya ia meninggal dunia di sana, karena sayat memberikan syafā‘at kepada orang yang meninggal dunia di sana.”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Saya menyembunyikan doaku sebagai bentuk pertolongan (syafā‘at) kepada umatku. Syafā‘at itu in syā’ Allāh akan diperoleh setiap umatku yang meninggal dunia dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun.” (243).
“Jika engkau mendengar mu’adzdzin (mengumandangkan adzan), maka katakanlah seperti yang ia katakan, lalu bershalawatlah untukku, karena barang siapa yang membacakan satu shalawat, lalu mohonlah kepada Allah dengan wasīlah (perantara)ku, karena sesungguhnya shalawat itu memiliki kedudukan di surga yang hanya dapat diperoleh oleh hamba Allah, dan saya berharap sayalah yang menjadi dia, maka barang siapa yang menjadikanku wasīlah dalam permohonannya, maka baginya syafā‘at (pertolongan) itu.” (254).
“Barang siapa yang ketika mendengar seruan (adzan) membaca:
اللهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَ الصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَ الْفَضِيْلَةَ وَ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ.
“Ya Allah, Tuhan Pemilik seruan yang sempurna ini, dan shalat ditegakkan, berikanlah Muḥammad wasīlah dan fadhīlah (keutamaan), dan limpahkanlah kepadanya tingkatan terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.” Maka baginya syafā‘at-ku pada Hari Kiamat.” (265).
Salah satu lagi cara dalam mendapatkan syafā‘at Rasūl adalah mengikuti sunnahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagai umat-Nya kita tentu tak terlepas dari segala apa yang disunnahkan oleh Rasūlullāh s.a.w.
Salah satu di antaranya adalah memotong kuku setiap hari senin dan kamis, puasa senin-kamis, dan lain sebagainya. Dengan mengikuti sunnahnya in syā’ Allāh kita akan mendapatkan syafā‘at-nya baik di dunia maupun di akhirat.
Rasūlullāh Muḥammad s.a.w. bersabda: “Barang siapa di antara umatku yang menghafal empat puluh hadits dari sunnahku, aku pasti akan memasukkannya ke dalam syafā‘at-ku pada Hari Kiamat.” (H.R. Ibn Abī-n-Najjār).
Berikut adalah petikan hadits-hadits yang dimaksud, in syā’ Allāh:
Semoga kita termasuk golongan yang menerima syafā‘at dari Rasūlullāh Muḥammad s.a.w. Āmīn.