Kedua, sesungguhnya nikmat itu dicabut dari siapa yang tidak mengetahui nilainya. Dan orang yang tidak tahu nilainya adalah orang-orang ingkar yang mengingkari dan tidak mensyukurinya. Dalilnya adalah firman Allah:
وَ اتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيْ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ. وَ لَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَ لكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَ اتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
“Dan bacakanlah (Muḥammad) kepada mereka berita orang yang telah Kami beri ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat. Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya ia julurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya ia julurkan lidahnya (juga)....” (al-A‘rāf [7]: 175-6). Maksudnya: Kami telah beri nikmat kepada hamba ini dengan nikmat-nikmat besar, yang terkait dengan agama, yang dengannya ia bisa mendapatkan derajat dan kedudukan yang tinggi di sisi Kami, namun ia tidak tahu nilai nikmat Kami, lalu ia condong kepada dunia yang hina-dina, dan mengutamakan syahwat nafsunya yang hina, dan ia tidak tahu bahwa dunia seluruhnya di sisi Allah adalah nikmat yang lebih rendah daripada nikmat agama, yang hanya sepadan dengan sayap seekor nyamuk. Ia dalam hal ini sama seperti anjing yang tidak tahu mana penghormatan dan mana penghinaan, mana yang bernilai tinggi dan mana yang bernilai rendah. Pada keduanya, ia sama-sama menjulurkan lidah. Kehormatan baginya hanya terletak pada makanan yang diberikan kepadanya, atau tulang yang dilemparkan padanya, entah engkau dudukkan ia di tempat tidurmu, di tanah atau di kotoran. Di matanya, semua martabat dan kehormatan hanya terletak dalam. Maka, hamba yang buruk ini tidak tahu nilai nikmat Kami, dan tidak tahu penghormatan Kami pada apa yang Kami berikan kepadanya, maka tumupullah mata hatinya, dan buruklah adabnya, karena berpaling kepada selain Kami, dan tersibukkan oleh dunia dan kelezatan yang hina-dina dari mengingat nikmat Kami. Maka Kami pun membuat perhitungan dengannya. Kami hadirkan ia di ruang pengadilan, di mana Kami berlakukan hukum paksa, lalu Kami lucuti semua pemberian Kami, dan Kami lepas dari hatinya pengetahuan tentang Kami, sehingga ia terlepas dari semua karunia Kami, dan menjadi seperti anjing yang terbuang atau setan yang terkutuk. Na‘ūdzu billāh tsumma na‘ūdzu billāh.
Cukuplah ambil contoh seorang raja yang memuliakan hambanya, lalu ia beri pakaian kebesaran, memintanya duduk di sampingnya, mengistimewakannya dari semua pelayannya, dan memerintahkannya untuk selalu mendampingi, lalu ia perintahkan agar dibangun istana untuknya di tempat lain, dibangun istananya, dengan dekorasi istana nan indah, plus dayang-dayang dan para pelayan, sehingga ketika ia kembali dari kerja pengabdiannya, ia pun duduk di sana sebagai seorang raja yang dihormati dan dilayani. Dan selang waktu antara pengabdiannya kepada rajanya dan keberkuasaannya tidaklah lebih dari setengah hari saja.
Kalau hamba itu, ketika melayani rajanya, melihat penggembala ternak yang makan roti, atau anjing yang mengunyah tulang, sehingga ia malah sibuk dengan itu dan bukan dengan pelayanan kepada rajanya, tidak menaruh perhatian kepada kemuliaan dan anugerah sang raja, dan mendatangi penggembala itu, menadahkan tangan dan meminta darinya sepotong roti, atau merebut tulang dari anjing itu, iri hati kepada keduanya. Tidaklah sang raja bila melihatnya dalam keadaan seperti ini akan berkata: “Ini orang bodoh yang seleranya rendah, tidak tahu kebaikanku, dan tidak menyadari nilai penghargaanku kepadanya dengan kedekatannya kepadaku, padahal aku juga sudah menolongnya. Orang ini hanyalah orang yang patah semangat, amat bodoh dan kurang cerdas. Lucuti haknya dan jauhkan ia dari tempatku.”
Inilah keadaan orang berilmu bila berpaling kepada dunia, keadaan orang rajin ibadah bila mengikuti hawa nafsu setelah dimuliakan Allah dengan ibadah, pengetahuan akan kekuasaan, syariat dan hukum-Nya. Kemudian ia tidak tahu betapa berharganya hal itu, sehingga justru berpaling pada sesuatu yang paling hina di sisi Allah, menyenanginya dan menggandrunginya, dan itu menjadi hal yang lebih penting dan dicintai olehnya daripada semua yang Allah berikan berupa nikmat-nikmat mulia berupa ilmu, ibadah, hikmah, dan pengetahuan hakikat.
Demikian pula dengan keadaan orang yang Allah istimewakan dengan berbagai macam petunjuk (taufik) dan perlindungan dari kesalahan (‘ishmah), Allah beri cahaya penghambaan dan ibadah, Allah senantiasa pandang dengan kasih sayang di sebagian besar waktunya, Allah banggakan di hadapan malaikat-Nya, Allah beri kedudukan sebagai pemimpin dan kehormatan, Allah perkenankan untuk memberikan syafaat, Allah tempatkan di posisi mulia, sampai-sampai kalau ia berdoa akan Allah tanggapi dan kabulkan, kalau ia meminta akan Allah beri dan cukupi, kalau ia mau memberi orang lain pertolongan (syafaat) akan Allah tolong dan ridai mereka, kalau ia bersumpah atas nama-Nya akan Allah penuhi, dan kalaupun tebersit di hatinya sesuatu akan Allah beri sebelum ia meminta dengan lisannya. Siapa yang berada dalam keadaan demikian lalu tidak mengetahui betapa berharganya nikmat-nikmat ini, atau tidak melihat betapa pentingnya kedudukan ini, kemudian berpaling dari hal itu kepada syahwat diri rendahan yang cuma sesaat atau kepada secuil dunia murahan yang tak abadi, atau tidak memandang berbagai kemuliaan, petunjuk, anugerah dan pemberian itu, serta apa yang Allah janjikan dan persiapkan baginya di akhirat berupa pahala yang besar dan kenikmatan yang sempurna dan abadi. Maka betapa hinanya nafsunya, betapa buruknya ia sebagai hamba, betapa besar bahayanya kalau ia tahu, dan betapa keji kelakuannya kalau ia mengerti. Kita memohon kepada Allah Yang Maha Benar dan Maha Penyayang agar memantaskan kita untuk menerima karunia-Nya yang agung dan rahmat-Nya yang luas. Allah-lah Yang Paling Menyayangi.
Engkau harus berusaha keras agar bisa menyadari nilai dari nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Jika Allah memberimu nikmat agama, janganlah engkau berpaling kepada dunia dan pernak-perniknya. Kalau itu terjadi berarti engkau memandang remeh nikmat-nikmat agama yang Allah berikan kepadamu. Tidakkah engkau menyimak firman Allah kepada Nabi:
وَ لَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِيْ وَ الْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ. لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ وَ لَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَ اخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu tujuh (ayat) yang (dibaca) berulang-ulang dan al-Qur’ān yang agung. Jangan sekali-kali engkau (Muhammad) tujukan pandanganmu kepada kesenangan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang kafir), dan jangan engkau bersedih hati atas mereka dan berendah hatilah engkau kepada orang-orang beriman.” (al-Ḥijr [15]: 87-88). Pengertiannya, setiap orang yang diberi al-Qur’ān semestinya tidak pernah memandang dunia yang hina sebagai sesuatu yang manis atau baik, apalagi menyenanginya. Maka hendaklah ia senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat agama ini; inilah anugerah yang Nabi Ibrāhīm ingin agar Allah juga berikan kepada ayahnya tetapi Allah tak berikan, kemuliaan yang Nabi Muḥammad ingin agar Allah juga berikan kepada pamannya, Abū Thālib, tetapi Allah tak berikan. Sedangkan dunia adalah yang Allah limpahkan ke setiap orang kafir, Fir‘aun, ateis, munafik, orang bodoh, dan fasik – makhluk-makhluk yang paling hina – hingga mereka tenggelam di dalamnya, dan Allah hindarkan dari setiap nabi, orang suci, orang lurus, orang alim, dan ahli ibadah – makhluk-makhluk yang paling mulia – sampai-sampai mereka tak punya sandang pangan, dan Allah haruskan mereka untuk tidak tercemari olehnya, sampai-sampai Allah berkata kepada Mūsā dan Hārūn: “Kalau Aku mau, Aku akan beri kalian berdua kekayaan yang kalau Fir‘aun bandingkan dengan yang ia punya niscaya ia gentar, tentu Aku lakukan. Namun, Aku singkirkan dunia dari kalian dan Aku senang kalian jauh darinya. Seperti itulah yang Aku lakukan kepada kekasih-kekasihKu. Aku sungguh melindungi mereka dari kenikmatan dunia seperti halnya penggembala yang berbelas kasih melindungi untanya dari tempat-tempat yang berbahaya. Aku sungguh menjauhkan mereka dari kemakmuran dunia. Itu bukan karena kehinaan mereka dalam pandangan-Ku, tetapi agar mereka menggenapkan jatah anugerah-Ku untuk mereka.” (Riwayat Aḥmad).
Allah juga berfirman:
وَ لَوْ لَا أَنْ يَكُوْنَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمنِ لِبُيُوْتِهِمْ سُقُفًا مِّنْ فَضَّةٍ وَ مَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُوْنَ. وَ لِبُيُوْتِهِمْ أَبْوَابًا وَ سُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِؤُوْنَ
“Dan sekiranya bukan karena menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), pastilah sudah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, loteng-loteng rumah mereka dari perak, demikian pula tangga-tangga yang mereka naiki, dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka, dan (begitu pula) dipan-dipan tempat mereka bersandar.” (az-Zukhruf [43]: 33-34).
Maka renungkanlah perbedaan di antara kedua perkara ini jika engkau adalah orang yang bijak. Dan ucapkanlah alḥamdulillāh, segala puji bagi Allah yang memberi kita berbagai hal yang Dia berikan kepada para kekasih dan orang-orang suci, yang menghindarkan kita dari fitnah musuh-musuhNya, agar kita bersyukur sebanyak-banyaknya, memuji-Nya sebesar-besarnya, mendapat pemberian yang besar dan nikmat yang agung, yaitu Islam, agar hari-harimu penuh dengan rasa syukur atas nikmat ini. Kalau engkau tak kuasa menyadari arti pentingnya, maka ketahuilah sesungguhnya andaikata engkau dilahirkan sejak masa jagat raya diciptakan, dan engkau mensyukuri nikmat Islam dari awal hingga akhir masa, engkau tak akan bisa benar-benar mensyukurinya secara sempurna saking besarnya anugerah dari Allah ini.