Miftah-ul-Falah: Zikir Lakasana Api

Dari Buku:
Zikir Penenteram Hati
(Judul Asli: Miftah-ul-Falah)
Oleh: Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahresy
Penerbit: Zaman.

Rangkaian Pos: Zikir Penenteram Hati (Miftah-ul-Falah) – Bagian Tentang Dzikir

BAGIAN SATU

MAKNA ZIKIR
Mengapa Perlu Mengingat Allah (Berzikir).

1

Jika di dalam rumah itu bertemu dengan kayu bakar, zikir tersebut akan segera membakar. Jika rumah itu gelap, ia akan menjadi cahaya penerang. Dan jika rumah itu memang memiliki cahaya, ia akan menjadi cahaya di atas cahaya.

 

Semua itu gaib dari dirinya dan dirinya juga gaib dari semua itu untuk bergegas menuju Tuhan lalu lenyap di dalam-Nya. Seandainya masih terbersit dalam benaknya bahwa ia sedang dalam kondisi fana berarti kondisi fananya masih bercampur noda dan belum sempurna. Yang sempurna adalah kalau ia telah fana dari dirinya sendiri dan fana dari kefanaannya.

Jalan pertama yang harus dilalui seorang salik adalah pergi menuju Allah. Sebab, petunjuk hanya milik Allah. Sebagaimana hal itu diungkapkan oleh Nabi Ibrahim a.s.: “Aku pergi menghadap kepada Tuhanku. Dialah yang akan memberi petunjuk padaku.” (ash-Shaffāt [37]: 99). Ketika kepergian menuju Allah telah mantap dan berlangsung secara kontinu sehingga menjadi kebiasaan yang melekat kuat, naiklah ia menuju alam yang paling tinggi seraya menyaksikan hal hakiki yang paling suci. Gambaran alam malakut tertanam kuat dalam dirinya dan kesucian lahūt (dunia ilahiah) tampak jelas di hadapannya. Yang pertama kali tampak di alam tersebut adalah substansi malaikat serta alam roh para nabi dan wali dalam bentuk yang sangat indah. Dengan perantaraannya, ia bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada. Itulah yang terdapat di awal perjalanan sampai pada tingkatan yang sulit digambarkan. Dalam segala sesuatu al-Haqq tampak secara jelas. Inilah hasil dari esensi zikir.

Jadi, tahap pertama adalah zikir lisan. Kemudian zikir kalbu yang cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, zikir kalbu yang berlangsung secara lugas, tanpa perlu dipaksakan. Serta yang terakhir adalah ketika Allah sudah berkuasa di dalam kalbu disertai sirnanya zikir itu sendiri. Inilah rahasia dari sabda Nabi s.a.w.: “Zikir diam (khafi) tujuh puluh kali lebih utama daripada zikir yang terdengar oleh para malaikat pentatat amal.” Tanda bahwa sebuah zikir sampai pada sir (nurani terdalam yang menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah ketika pelaku zikir dan objek zikirnya lenyap tersembunyi. Zikir sir terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan zikir tersebut, ia takkan meninggalkanmu.

Zikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhūr (hadirnya kalbu). Salah satu tandanya, zikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah-olah tertarik oleh rantai. Indikasinya, zikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup. Namun, engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu senantiasa bersih menyala. Zikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si pelaku zikir seolah-olah lisannya tertusuk jarum. Atau, semua wajahnya adalah lisan yang sedang berzikir dengan cahaya yang mengalir darinya.

Ketahuilah, setiap zikir yang disadari oleh kalbumu didengar oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu. Di dalamnya ada sir sampai saat zikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau sudah sirna bersama Tuhan, zikirmu juga gaib dari perasaan mereka.

Kesimpulannya, berzikir dengan ungkapan kata-kata tanpa rasa hudhūr disebut zikir lisan, berzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut zikir kalbu, sementara berzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut zikir sir. Itulah yang disebut dengan zikir khafī.

Rezeki lahiriah terwujud dengan gerakan badan, rezeki batiniah terwujud dengan gerakan kalbu, rezeki sir terwujud dengan diam, sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan makanan bukanlah konsumsi rohani, melainkan konsumsi badan. Adapun yang menjadi konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Allah berfirman: “Orang-orang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan mengingat (zikir kepada) Allah.”

Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berzikir bersamamu. Sebab, engkau berzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu, kemudian dengan nafs-mu, kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan akalmu, dan setelah itu dengan sirmu. Bila engkau berzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berzikir bersamamu. Bila engkau berzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berzikir bersama kalbumu. Bila engkau berzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berzikir bersamamu. Bila engkau berzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta seluruh isinya ikut berzikir bersamamu. Bila engkau berzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa arasy dan roh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berzikir bersamamu. Bila engkau berzikir dengan sirmu, arasy beserta seluruh isinya turut berzikir hingga zikir tersebut bersambung dengan zat-Nya.

Nafs adalah unsur (hai’ah) berjenis uap yang lembut dan membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakan kehendak. Allah Yang Maha Bijaksana menyebutnya dengan roh hewani. Ia merupakan instrumen perantara antara kalbu – sebagai nafs yang berbicara – dan badan. Ada yang berpendapat bahwa nafs itulah yang dalam al-Qur’an disebut dengan pohon zaitun sebagai pohon yang penuh berkah, tidak tumbuh di sebelah timur atau di sebelah barat. Sebab, dengan nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci. Selain itu, ia tidak berasal dari penjuru timur alam roh semata atau penjuru barat tubuh yang padat.

Nafs ada yang bersifat ammārah (memerintah), lawwāmah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Nafs-ul-ammārati bis-sū’ (yang memerintahkan kepada keburukan) adalah nafs yang condong kepada naluri badan, menyuruh pada kesenangan dan syahwat, serta menarik kalbu kepada sesuatu yang rendah. Ia adalah jenis nafs yang buruk, sumber segala akhlak dan perbuatan tercela. Selain itu, ia adalah nafs yang dimiliki manusia pada umumnya dan merupakan kejahatan. Bagi nafs-ul-ammārati bis-sū’ ini, zikir ibarat lampu yang menerangi rumah yang gelap gulita.

Nafs-ul-lawwāmah adalah nafs yang memberikan cahaya tertentu kepada kalbu yang dengannya manusia tersadarkan dari kelalaian. Setelah itu, ia pun mulai memperbaiki diri. Ia berpindah-pindah di antara unsur ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Setiap kali muncul perbuatan jahat yang berasal dari karakter dan tabiat buruknya, cahaya peringatan ilahi segera meluruskan. Pada saat itu ia akan mencaci dirinya seraya bertobat, memohon ampunan, dan kembali pada pintu Sang Maha Pengampun lagi Penyayang. Karena itu dalam al-Qur’an Allah menjadikan nafs-ul-lawwāmah itu sebagai sandaran sumpah. Allah berfirman: “Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan nafs-ul-lawwamah (yang sering mencaci).” Al-Qiyāmah [75]: 1-2.). Nafs ini seolah-olah menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan segala hal buruk seperti kotoran, anjing, babi, singa, macan, dan gajah. Lalu setelah ia bergumul dengan berbagai macam keburukan itu, ia berusaha mengeluarkannya. Ia pun sempat terluka oleh binatang-binatang buas yang ada di dalamnya. Karena itu, ia segera melakukan zikir dan munajat agar zikir tersebut bisa mengalahkan dan megeluarkan mereka. nafs-ul-lawwāmah terus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan berbagai perabotan sampai akhirnya rumah itu menjadi indah. Setelah itu, barulah rumah tersebut layak dihuni dan ditempati sang penguasa (zikir).

Tatkala zikir bertempat di dalamnya dan tatkala al-Haqq tampak dengan jelas, nafs itupun kembali pada kondisi muthma’innah (tenteram). Itulah nafs yang mendapatkan cahaya kalbu secara sempurna. Nafs tersebut mengikuti kalbu untuk naik menuju surga alam kesucian yang bersih dan terhindar dari segala kotoran. Nafs-ul-muthma’innah selalu tekun mengerjakan ketaatan, serta merasa tenteram bersama Allah Dzat Yang meninggikan derajat kemuliaan. Sehingga Allah berseru kepadanya: “Wahai nafs-ul-muthma’innah, kembalilah pada Tuhanmu dalam kondisi ridha dan mendapat ridha. Masuklah sebagai hamba-Ku, serta masuklah ke dalam surga-Ku.” (al-Fajr [89]: 29-30).

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *