BAGIAN SATU
MAKNA ZIKIR
Mengapa Perlu Mengingat Allah (Berzikir).
1
Petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Tentang Zikir
Beberapa ayat al-Qur’an yang berkaitan degnan anjuran dan keutamaan zikir adalah:
Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (al-Ahzāb [33]: 41-42).
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata: “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Āli ‘Imrān [3]: 191).
Dan laki-laki serta perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah telah sediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (al-Ahzāb [33]: 35).
Karena itu, ingatlah kalian pada-Ku, niscaya Aku pun ingat pada kalian. Serta bersyukurlah kepada-Ku dan jangan mengingkari nikmat-Ku (al-Baqarah [2]: 152).
Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (ar-Ra‘d [13]: 28).
Ingatlah Tuhanmu sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu di waktu petang dan pagi. (Āli ‘Imrān [3]: 41).
Sebutlah nama Tuhanmu di waktu pagi dan petang. (al-Insān [76]: 25).
Petunjuk Dari Hadits.
Dalam hadits pun terdapat banyak riwayat mengenai zikir. Di antaranya menjelaskan keutamaan dan halaqah zikir, yaitu:
Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Mu‘āwiyah keluar rumah. Tiba-tiba ia menjumpai sebuah halaqah di masjid. Ia pun bertanya: “Apa gerangan yang membuat kalian duduk di sini?” Mereka menjawab: “Kami duduk seraya mengingat Allah.” “Demi Allah, benarkah kalian duduk hanya untuk berzikir kepada Allah?” tanya Mu‘āwiyah kembali. Mereka pun berkata: “Demi Allah, kami duduk hanya untuk berzikir pada Allah.” Mendengar hal tersebut, Mu‘āwiyah lalu berujar: “Sebenarnya saya tidak meminta kalian bersumpah karena saya ragu. Tetapi, pada suatu ketika Rasūlullāh s.a.w. keluar dan mendapati para sahabatnya sedang duduk dalam sebuah halaqah. Rasūlullāh bertanya:
“Apa yang mendorong kalian duduk demikian?” Jawab mereka: “Kami duduk berzikir dan memuji Allah karena Dia telah menunjukkan kami kepada Islam.” Lantas Nabi bertanya: “Demi Allah, apakah kalian duduk hanya untuk itu?” “Ya, demi Allah, kami duduk hanya untuk itu,” jawab mereka. Setelah itu, beliau berkata:“Sesungguhnya aku bertanya bukan karena ragu, tetapi Jibril datang kepadaku seraya memberitahukan bahwa Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat.” (H.R. Muslim, at-Tirmidzī, dan an-Nasā’ī).
Razīn menambahkan sebuah riwayat yang ia dengar:
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah di mana mereka membaca, mempelajari Kitab Allah, serta berzikir kepada Allah, melainkan sakinah turun atas mereka, rahmat Allah menaungi mereka, para malaikat juga mengelilingi mereka, serta Allah menyebutkan mereka di hadapan para malaikat-Nya.”
Menurut Abū Muslim al-Aghar, Abū Hurairah dan Abū Sa‘īd mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Tidaklah suatu kaum duduk dalam majelis zikir, melainkan mereka dikelilingi malaikat, diliputi rahmat Allah, diberi sakinah, serta disebut-sebut di hadapan para malaikat-Nya.” (H.R. Muslim dan at-Tirmidzī).
Kata sakinahberarti tenang dan tenteram. Ketika mengomentari sabda Nabi s.a.w. di atas, al-Qādhī ‘Iyādh berkata: “Sakīnah tersebut turun karena bacaan al-Qur’an. Ia merupakan rahmat.” Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sakīnah adalah tuma’ninah (ketenteraman). Yang lain lagi mengartikannya sebagai wiqār (ketenangan). Bisa jadi, sakīnah yang turun tatkala al-Qur’an dibaca adalah sakīnah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Di dalamnya terdapat sakīnah dari Tuhanmu.” (al-Baqarah [2]: 248).
Menurut Abū Hurairah r.a., suatu ketika Rasūlullāh s.a.w. berjalan di jalan kota Mekkah dan melewati sebuah gunung bernama Jamdān. Nabi pun berkata:
“Berjalanlah, ini adalah gunung Jamdān. Telah sampai lebih dulu para mufarridūn.” Mereka pun bertanya: “Siapa mufarridūn itu wahai Rasūlullāh?” Jawab Rasul: “Yaitu mereka yang banyak berzikir kepada Allah.”
Ini adalah riwayat Muslim. Sementara dalam riwayat at-Tirmidzī, mereka bertanya:
“Siapa mufarridūn tersebut?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang gemar berzikir. Zikir tersebut melenyapkan semua beban yang ada sehingga mereka datang pada hari kiamat dalam keadaan ringan.”
Ada yang membaca dengan mufarridūn dan ada pula yang membacanya dengan mufridūn. Keduanya sama-sama bermakna menyendiri atau memisahkan diri. Namun, yang dimaksud dengan istilah tersebut di sini adalah mereka yang memisahkan diri untuk berzikir kepada Allah. Ada yang berpendapat bahwa mufarridūn adalah orang-orang yang ditinggalkan oleh generasi mereka sementara mereka masih tetap hidup dalam kondisi berzikir kepada Allah.
Menurut al-Qādhī ‘Iyādh dalam kitab al-Masyāriq dan Ibn-ul-‘Arabī, seseorang disebut mufarrid jika ia paham, memisahkan diri dari orang-orang, lalu menyendiri untuk menjaga perintah dan larangan Allah. Menurut al-Azharī, mereka adalah orang-orang yang menyendiri berzikir pada Allah tanpa mencampuradukkan dengan selain-Nya. Ada yang berpendapat, mufarridūn adalah golongan ahli tauhid yang hanya mengingat Allah. Mereka mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah. Sementara yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah mereka yang menghabiskan hidupnya dalam taat kepada Allah. Artinya ia senantiasa taat walaupun telah memasuki usia renta dan lemah.
Dari Abū Hurairah diriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat (saiyārah) yang bertugas berkeliling di jalan-jalan mencari majelis zikir. Apabila malaikat tersebut bertemu dengan kaum yang sedang berzikir kepada Allah, masing-masing memanggil kawannya: “Inilah yang sedang kalian cari.” Majelis itu pun diliputi oleh sayap-sayap mereka hingga mencapai langit dunia. Kemudian Tuhan bertanya kepada mereka – kendati sebenarnya Dia lebih mengetahui: “Apa yang dibaca oleh hamba-Ku?” Malaikat tersebut menjawab: “Mereka bertasbih, bertakbir, dan memuji serta memuliakan-Mu”. Allah bertanya: “Apakah orang-orang itu pernah melihat-Ku?” Jawab malaikat: “Belum. Demi Allah mereka belum pernah melihat-Mu.” Allah bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat-Ku?” Jawab malaikat: “Tentu mereka akan lebih giat ibadah, lebih taat, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah kembali bertanya: “Apa yang mereka minta?” Jawab malaikat: “Mereka meminta surga.” “Apakah mereka pernah melihatnya,” tanya Allah lagi. Malaikat menjawab: “Demi Allah mereka belum pernah melihatnya.” Bagaimana andaikan mereka dapat melihatnya?” Jawab malaikat: “Tentu mereka akan lebih antusias dan bersemangat untuk mendapatkannya.” Allah kembali bertanya: “Dari apakah mereka minta perlindungan?” Jawab malaikat: “Mereka meminta perlindungan dari api neraka.” “Apakah mereka pernah melihatnya,” hanya Allah lagi. Malaikat menjawab: “Belum, Demi Allah mereka belum pernah melihatnya.” “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?” Jawab malaikat: “Seandainya mereka pernah melihat, pasti mereka akan lebih menghindar dan lebih takut.” Lalu Allah berkata: “Saksikanlah bahwa Aku telah mengampuni mereka semua. Ada malaikat yang bertanya: “Wahai Tuhan, di dalam majelis itu ada orang lain. Ia datang hanya untuk sebuah keperluan.” Allah berkata: “Mereka adalah para ahli majelis yang tak akan kecewa orang yang duduk bersam mereka.” (al-Bukhāri).
Anas meriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:
“Jika kalian melewati taman surga, masuklah ke dalamnya!” Mereka bertanya: “Apa taman surga tersebut?” Jawab Rasūl s.a.w.: “halaqah zikir.” (H.R. at-Tirmidzī).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibn Mas‘ūd bahwa setan berkeliling di sekitar orang-orang yang sedang berada di majelis zikir. Tetapi, ia tak mampu menceraiberaikan mereka. Lalu setan mendatangi halaqah orang-orang yang sedang mengingat dunia. Dengan mudah setan menjerumuskan mereka sampai saling membunuh. Lalu para ahli zikir itu bangkit memisahkan mereka sehingga mereka pun berpisah.