Dari Buku:
Zikir Penenteram Hati
(Judul Asli: Miftah-ul-Falah)
Oleh: Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahresy
Penerbit: Zaman.
BAGIAN SATU
MAKNA ZIKIR
Mengapa Perlu Mengingat Allah (Berzikir).
1
Ada di antara ulama yang memilih kalimat Lā ilāha illallāh, Muhammad-ur-rasūlullāh baik di awal maupun di akhir. Ada lagi yang pada permulaannya melihat kalimat Lā ilāha illallāh tetapi di akhir cukup membaca lafal Allāh. Inilah kelompok yang terbanyak. Lalu ada kelompok yang memilih untuk membaca lafal Allāh, Allāh saja. Dan ada pula yang mengucapkan lafal Huwa.
Kelompok yang pertama berargumen bahwa iman hanya sah dan diterima apabila pengakuan terhadap risalah disambung dengan pengakuan terhadap keesaan Allah. Barang kali ada yang berpendapat bahwa kedua pengakuan tersebut hanya diucapkan ketika seseorang belum memiliki iman yang kuat. Sehingga, ketika iman sudah tertanam dan kukuh, kedua pengakuan tersebut semestinya dipisah. Pendapat ini mereka jawab sebagai berikut.
Apabila pemisahan antara kedua pengakuan tersebut tidak diperbolehkan di awal, apalagi di akhir. Karena itu, azan sebagai syiar Islam baru menjadi sah dan benar kalau di dalamnya kedua pengakuan tersebut digabungkan. Sebagaimana azan tidak pernah berubah dari keadaannya semula, yaitu dengan senantiasa menggabungkan antara pengakuan terhadap keesaan Allah dan pengakuan terhadap Rasul, demikian pula dengan seorang mukmin. Keimanan seorang mukmin barulah benar setelah ia menggabungkan antara dua hal asasi tersebut. Keduanya tak boleh dipisah. Allah berfirman:
“Dengan (perumpamaan) itu Allah menyesatkan banyak orang dan dengan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Tidak ada orang yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. Yaitu, orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu dibuat dengan teguh dan memutuskan perkara apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan.” (al-Baqarah [2]: 26-27).
Sebagian ahli tafsir menegaskan, maksud dari ayat tersebut adalah Allah menyuruh menghubungkan antara zikir kepada Nabi-Nya dan zikir kepada-Nya. Maka siapa yang memutuskan antara keduanya berarti telah memutuskan apa yang Allah perintahkan untuk disambung. Dan siapa yang berbuat hal tersebut berarti telah termasuk mereka yang mengalami kerugian.
Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman:
“Dan Kami tinggikan untukmu sebutanmu (wahai Muhammad).” (al-Insyirah [94]: 4).
Menurut sebagian ahli tafsir, makna dari ayat di atas adalah “Tidaklah aku disebut kecuali engkau (Muhammad) disebut bersama-Ku.” Kalaupun kemudian ada yang mengaku dalam kedudukan fana di mana ia tidak menyaksikan sesuatu selain Allah sehingga hanya berzikir menyebut nama-Nya, dijawab oleh kelompok ini bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq saja ketika membawa seluruh harta kepada Nabi s.a.w., lalu ditanya oleh beliau: “Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?” ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya”. Abu Bakar tidak menyebut Allah saja. Namun, beliau menggabungkan antara keduanya (Allah dan Rasul). Hal yang sama berlaku dalam lari kecil ketika tawaf. Lari kecil itu disyariatkan karena suatu sebab. Namun, ketika sebab tersebut tidak ada, lari kecil itu tetap disyariatkan.
Yang kedua adalah berzikir dengan Lā ilāha illallāh (tiada tuhan selain Allah). Dalilnya adalah firman Allah:
“Ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah.”
Selain itu, Nabi s.a.w. pernah bersabda:
“Sebaik-baik yang diucapkan olehku dan oleh para nabi sebelumku adalah kalimat Lā ilāha illallāh.”
Pernyataan tersebut mengandung pengingkaran terhadap semua
tuhan selain Allah sekaligus menetapkan-Nya sebagai Tuhan semesta alam. Dalam setiap ibadah pasti terkandung makna Lā ilāha illallāh. Dalam bersuci misalnya, kita menghilangkan najis yang ada sekaligus menetapkan kesucian. Zakat juga melenyapkan rasa cinta pada harta sekaligus menetapkan kecintaan pada Allah, menunjukkan ketidakrakusan terhadap dunia, serta menampakkan rasa butuh kepada-Nya.
Selain itu, kalbu manusia umumnya terisi oleh sesuatu selain Allah. Karena itu, harus ada ungkapan penafian yang menafikan semua kepalsuan. Jika qalbu terlah kosong, diletakkanlah ke dalamnya mimbar tauhid guna diduduki oleh kekuasaan makrifat. Tentu, yang diletakkan adalah sesuatu yang paling utama, paling luas manfaatnya, dan paling berbobot sebab ia harus bisa menandingi banyak rival. Kekuatannya harus bisa menandingi semua lawan. Oleh karena itu, Nabi s.a.w. bersabda:
“Sebaik-baik yang diucapkan olehku dan oleh para nabi sebelumku adalah Lā ilāha illallāh.”
Maka, berzikirlah dengan zikir paling utama yang kukuh. Ia merupakan zikir terkuat yang memiliki cahaya paling terang dan kedudukan paling dekat. Seorang hamba baru merasa tenteram dan menyukai ungkapan zikir tersebut jika ia terus dipelihara dan diamalkan. Rahmat Allah bersifat menyeluruh dan mencapai tujuan yang dikehendaki. Siapa yang membuat penafian dengan ungkapan Lā ilāha (tiada tuhan) ia telah membuat satu penetapan tentang keesaan-Nya dengan ungkapan illallāh (kecuali Allah).
Zikir yang ketiga adalah zikir tanzīh (menyucikan Allah). Yaitu, dengan membaca subhānallāhu wa bihamdih. Zikir ini baru dibaca jika hasil dari zikir nafy dan itsbāt (Lā ilāha illallāh) sudah terlihat pada dari sālik sebagaimana akan dijelaskan nanti insyā’ Allāh.
Zikir yang keempat adalah menyebut kata Allah. Zikir ini disebut dengan zikir mufrad sebab orang yang berzikir degnan zikir tersebut menyaksikan secara langsung keagungan dan kebesaran Allah. Ketika itu ia berada dalam kondisi fana. Allah berfirman:
“Katakan: “Allah”. Kemudian biarkan mereka bermain-main dalam kesesatan mereka.” (al-An‘am [6]: 91).
Diceritakan bahwa pada suatu ketika asy-Syibli ditanya oleh seseorang: “Mengapa anda mengucapkan lafal: Allāh, bukan Lā ilāha illallāh?” Asy-Syibli menjawab: “Sebab, Abu Bakar ash-Shiddiq memberikan semua hartanya tanpa tersisa sedikit pun, lalu ia menghadap Nabi s.a.w. Nabi kemudian bertanya: “Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?” Jawabnya: “Allāh”. Karena itu aku pun mengucapkan lafal “Allāh”.” Orang itu bertanya lagi: “Ada alasan lain?” asy-Syibli berkata: “Aku malu untuk berzikir dengan kalimat nafy (tiada tuhan) di hadapannya. Padahal, segala sesuatu merupakan pancaran cahaya-Nya.” Orang itu pun bertanya lagi: “Ada alasan lain?” Asy-Syibli menjawab: “Aku takut kalau meninggal dunia dalam kondisi mengingkari keberadaan Tuhan (dalam keadaan membaca Lā ilāha ) sebelum sempat menetapkan-Nya (membaca illallāh). Orang itu pun bertanya kembali: “Ada alasan lain?” Lalu asy-Syibli menjawab: “Allah berfirman kepada Nabi-Nya:
“Katakan: “Allāh”. Kemudian biarkan mereka bermain-main dalam kesesatan mereka.”
Mendengar jawaban tersebut orang itupun bangun sambil menjerit histeris. Ketika asy-Syibli mengucapkan lafal “Allāh”, orang itu menjerit lagi. Ketika asy-Syibli mengucapkan lafal “Allāh”sekali lagi, ia kembali menjerit histeris. Lalu tak lama kemudian ia meninggal dunia. Seketika berkumpullah para karib kerabat orang tersebut. Mereka menangkap asy-Syibli untuk menuntut balas. Asy-Syibli akhirnya dibawa ke hadapan khalifah. Sang Khalifah kemudian mengizinkan mereka untuk masuk. Mereka langsung saja menuntut balas terhadap asy-Syibli. Khalifah pun bertanya kepada asy-Syibli: “Bagaimana jawabanmu?” Dengan singkat asy-Syibli menjawab: “ Roh yang rindu, kemudian menyaksikan, kemudian naik, lalu berteriak, setelah itu ia berseru, kemudian mendengar, kemudian mengenal, dan akhirnya ia menjawab. Lalu apa salahku?” Mendengar hal itu, khalifah langsung berkata: “Bebaskan beliau.”
Jadi, menurut mereka, maksud dari zikir al-mufrad adalah Allah sebagai tujuan. Dialah yang paling layak disebut dan diingat. Sebab:
Membaca lafal “Allāh” saja akan sangat ringan bagi lisan dan membuat qalbu lebih khusyu‘.
Menafikan aib dari Dzat yang mustahil memiliki aib adalah aib itu sendiri.
Sibuk dengan kalimat Lā ilāha illallāh memang akan menumbuhkan sikap mengagungkan Allah lewat menafikan selain-Nya. Hanya saja penafian sesuatu selain Allah pada hakikatnya akan membuat qalbu sibuk dengan sesuatu itu. Padahal, hal ini tak boleh terjadi pada mereka yang sudah tenggelam dalam cahaya tauhid. Siapa yang berzikir dengan Lā ilāha illallāh akan sibuk dengan sesuatu selain Allah. Sementara yang berzikir dengan lafal “Allāh” ia hanya sibuk dengan al-Haqq semata. Jadi, sangat berbeda antara keduanya.
Menafikan sesuatu hanya diperlukan ketika sesuatu itu terlintas dalam benak kita. Sementara sesuatu itu baru terlintas dalam benak ini apabila kondisi qalbu sedang menurun. Adapun bagi orang-orang yang sempurna yang dalam benak mereka tak terlintas adanya sekutu, tak perlu memaksakan diri untuk menafikan adanya sekutu. Sebaliknya, yang terlintas dalam benak dan pikiran mereka hanya zikir pada Allah. Jadi, cukup bagi mereka untuk mengucapkan “Allāh”.
Allah berfirman: “Katakan: “Allāh”. Kemudian biarkan mereka bermain-main dalam kesesatan mereka.” Di sini Allah memerintahkan Nabi s.a.w. untuk berzikir menyebut lafal “Allāh” sekaligus melarang beliau untuk ikut serta dalam kebatilan dan permainan mereka. Menyebutkan sekutu Allah termasuk dalam kebatilan. Karena itu, lebih tepat untuk hanya menyebutkan lafal “Allāh”.
Namun demikia, dalam hal ini kalangan yang memilih kalimat nafy dan istbāt (Lā ilāha illallāh) juga memberikan jawaban sebagai berikut. Dari segi makna, kalimat nafy (Lā ilāha) untuk membersihkan atau menyucikan, sementara kalimat itsbāt (illallāh) untuk menerangi. Bisa juga dikatakan kalimat nafy untuk membersihkan diri dari segala keburukan, sedangkan kalimat itsbāt untuk mengisinya dengan sesuatu yang mulia. Sama halnya seperti papan. Sebelum tulisan di atasnya dibersihkan, ia tidak bisa ditulisi dengan yang lain. Qabu yang satu ini juga tak bisa menjadi wadah bagi dua unsur sekaligus, apalagi diisi dengan berbagai unsur. Seandainya kata “Allāh” diucapkan seribu kali, maknanya tetap takkan meresap ke dalam qalbu. Namun, apabila qalbu sudah bersih dari sesuatu selain Allah, walaupun lafal “Allāh” hanya dibaca sekali, ia akan merasakan kenikmatan yang tak bisa diungkapkan oleh lisan.
Zikir yang kelima adalah lafal Huwa (Dia). Huwa adalah lafal isyarat. Bagi ahli zhāhir, kata tersebut tidaklah sempurna kecuali untuk suatu khabar. Misalnya berdiri atau duduk sehingga kalimatnya menjadi “Dia berdiri”, “Dia duduk”, dsb. Bagi mereka, kata tersebut adalah untuk memberitahukan tentang akhir perjalanan dari sebuah penemuan hakikat. Para ahli hakikat mencukupkan diri dengan lafal tersebut tanpa memberikan penjelasan tambahann karena mereka sedang tenggelam dalam kedekatan dengan Allah dan qalbu mereka sedang dikuasai oleh zikir. Tak ada sesuatu pun selain-Nya sehingga yang muncul hanyalah isyarat kepada-Nya. Suatu ketika seorang hamba yang sedang “mabuk” bersama Allah itu ditanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Huwa”. Lalu ditanya lagi: “Dari mana asalmu?” Jawabnya: “Huwa”. Selanjutnya, ia ditanya lagi: “Dari mana kamu datang?” “Huwa” jawabnya. “Apa maksudmu mengucapkan Huwa?” “Huwa” jawabnya. Jadi setiap kali ditanya tentang sesuatu, ia hanya berkata Huwa. Kemudian dikatakan padanya: “Barangkali maksudmu Allah.” Seketika itu pula orang tersebut berteriak keras lalu mati.
Barangkali ada yang berkata: “Anda telah menyebutkan beberapa dalil dari masing-masing zikir di atas sehingga sepertinya tak ada zikir yang tak terbaik. Hal ini tentu saja menimbulkan kebingunan ketika harus memilih.”
Jawabannya, setiap zikir harus disesuaikan dengan waktu, situasi, dan kondisinya. Masalah ini akan dijelaskan nanti. Al-Qur’an misalnya, secara umum ia lebih baik daripada zikir. Namun, pada waktu-waktu tertentu, membaca zikir lebih baik daripada al-Qur’an. Pada saat rukuk misalnya.
[menu name=”zikir-penenteram-hati” class=”modern-menu-widget”]