Miftah-ul-Falah: Keutamaan Orang Berzikir dan Zikir dengan Bersuara

Dari Buku:
Zikir Penenteram Hati
(Judul Asli: Miftah-ul-Falah)
Oleh: Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahresy
Penerbit: Zaman.

Rangkaian Pos: Zikir Penenteram Hati (Miftah-ul-Falah) – Bagian Tentang Dzikir

BAGIAN SATU

MAKNA ZIKIR
Mengapa Perlu Mengingat Allah (Berzikir).

1

Keutamaan Orang Berzikir

Lewat Abū Hurairah diriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

“Bila seorang hamba mengucapkan lā ilāha illallāh secara tulus dari kalbunya, tentu pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya sampai tembus ke ‘arasy selama ia menjauhi dosa-dosa besar.” (H.R. at-Tirmidzī).

Mālik ibn Anas mendengar bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

“Orang yang mengingat Allah di tengah-tengah kaum yang lalai seperti orang yang berperang di belakang kaum yang lari. Orang yang mengingat Allah di tengah kaum yang lalai tak ubahnya seperti ranting hijau di tengah pohon kering. (dalam riwayat lain: seperti pohon hijau di tengah pepohonan yang kering). Orang yang mengingat Allah di tengah kaum yang lalai seperti lampu di rumah yang gelap. Tempat duduk mereka di surga akan diperlihatkan kepada orang-orang itu, padahal mereka masih hidup. Mereka akan diberi ampunan sebanyak orang fasih dan ‘ajam. Yang dimaksud fasih adalah manusia sementara ‘ajam adalah binatang.”

Menurut Mu‘ādz ibn Jabal:

“Tidak ada amal yang lebih bisa menyelamatkan seseorang dari siksa daripada zikir pada Allah.” (H.R. Mālik dalam kitab al-Muwaththa’).

Abū Sa‘īd al-Khudrī meriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah ditanya:

“Siapakah hamba yang lebih utama dan mulia di sisi Allah pada hari kiamat?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah.” Beliau ditanya lagi: “Apakah mereka lebih mulia daripada orang yang berperang di jalan Allah?” “Seandainya ia terkena pukulan pedang lalu mengucurkan darah. Tapi, kalau tidak, derajat orang yang berzikir itu lebih mulia.” (al-Bukhāri, Muslim, dan at-Tirmidzī).

Dalam riwayat lain, Razīn menyebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah ditanya:

“Ibadah apakah yang lebih utama dan mulia di sisi Allah pada hari kiamat nanti?” Beliau menjawab: “Orang yang berzikir kepada Allah.” (H.R. at-Tirmidzī).

Diriwayatkan dari Abū Mūsā r.a., bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

“Perbedaan antara rumah yang terisi dengan zikir dan rumah yang tak terisi dengan zikir seperti perbedaan antara orang hidup dan orang mati.” (H.R. Muslim).

Dalam riwayat lain:

“Perbedaan antara orang yang berzikir kepada Tuhan dan orang yang tak berzikir kepada Tuhan seperti perbedaan antara orang hidup dan orang mati.” (H.R. al-Bukhāri).

Dari Abū Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah bersabda:

“Aku menuruti prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Kalau ia mengingat-Ku dalam hati, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Kalau ia mengingat-Ku di tengah kerumunan orang, Aku pun akan mengingatnya di tengah kerumunan yang lebih baik daripada mereka. Kalau ia mendekatkan diri kepada-Ku jarak sejengkal, Aku pun mendekatkan diri kepadanya jarak sehasat. Kalau ia mendekatkan diri pada-Ku jarak sehasta, Aku pun akan mendekatkan diri padanya jarak sedepa. Kalau ia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil.”

Abū Umāmah mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

“Siapa yang berbaring di ranjangnya dalam keadaan suci seraya berzikir kepada Allah sampai ia mengantuk, lalu selama malam belum berlalu ia meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat, pasti akan Allah berikan.” (H.R. at-Tirmidzī).

Diriwayatkan dari ‘Umar r.a. suatu ketika Rasūlullāh s.a.w. mengutus sebuah rombongan ke negeri Najed. Lalu rombongan tersebut mendapatkan ghanimah yang banyak dan mereka pun segera kembali. Orang yang tak ikut serta berkomentar: “Belum pernah ada sebelumnya rombongan yang kembali lebih cepat dan mendapat ghanimah lebih utama dari rombongan ini.” Mendengar hal tersebut, Rasūlullāh s.a.w. berkata:

“Maukah kalian aku tunjukkan sebuah kaum yang mendapat ghanimah lebih utama dan kembali lebih cepat. Mereka adalah orang-orang yang menghadiri shalat Subuh, kemudian duduk berzikir kepada Allah sampai terbit matahari. Merekalah yang kembali

Rasūlullāh s.a.w. pernah ditanya: “Siapakah hamba yang lebih utama dan mulia di sisi Allah pada hari kiamat?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah.”

lebih cepat dan mendapat ghanimah lebih utama.” (H.R. at-Tirmidzī).

 

Zikir dengan Bersuara.

‘Umar r.a. meriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

“Siapa masuk ke pasar lalu mengucapkan lā ilāha illallāhu wahdahu lā syarīka lahu, lah-ul-mulku wa lah-ul-hamdu, yuhyī wa yumītu, wa huwa hayyun lā yamūtu abadan, bi yadih-il-khairu wa huwa ‘alā kulli sya’in qadīr, maka Allah akan mencatatkan untuknya sejuta kebaikan, dihapuskan untuknya sejuta dosa, ditinggikan kemuliaannya sejuta derajat.” Dalam riwayat yang lain: “akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (H.R. at-Tirmidzī).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

“Siapa masuk ke dalam pasar lalu dengan suara keras ia membaca lā ilāha illallāh…. dst. (bacaan di atas sampai habis ….). Allah akan mencatatkan untuknya seribu kebaikan.”

Dalam riwayat al-Bukhāri disebutkan bahwa Abū Sa‘īd mendengar berita dari Ibn ‘Abbās tentang bagaimana orang-orang di masa Rasūl s.a.w. menyaringkan suara seusai menunaikan shalat wajib. Menurut Ibn ‘Abbās: “Itulah yang kuketahui ketika mereka selesai menunaikan shalat wajib.” Rasūl s.a.w. juga bersabda:

“Allah berfirman: “Siapa yang berzikir kepada-Ku di tengah kerumunan, Aku pun akan mengingatnya di tengah kerumunan yang lebih baik daripada mereka.”

Diceritakan bahwa Abū Bakar r.a. biasa merendahkan suaranya ketika shalat malam. Ia tidak mau menyaringkan bacaannya. Sebaliknya, ‘Umar ibn al-Khaththab selalu menyaringkan suaranya ketika shalat. Maka, Rasūl s.a.w. kemudian bertanya kepada Abū Bakar tentang sikapnya itu. Abū Bakar menjawab: “Dzat Yang kuseru mendengar semua ucapanku.” Selanjutnya Rasūl s.a.w. bertanya kepada ‘Umar. ‘Umar menjawab: “Aku ingin membangkitkan kesadaran, mengusir setan, dan membuat ridha ar-Rahmān.” Mendengar hal tersebut Rasul s.a.w. menyuruh Abū Bakar untuk sedikit mengangkat suaranya dan menyuruh ‘Umar untuk sedikit merendahkan suaranya. Dari sini kita dapat memahami bagaimana Rasūlullāh s.a.w. menyuruh Abū Bakar untuk menyaringkan suaranya. Sementara beliau menyuruh ‘Umar untuk merendahkan suaranya, tapi bukan sampai tak terdengar. Apabila demikian semestinya yang dilakukan terhadap al-Qur’an – sebagai zikir yang paling utama – apalagi terhadap yang lain – sama bahkan lebih.

Apabila zikir tersebut dilakukan sendirian, sementara ia termasuk dari golongan khawwāsh (khusus), hendaknya ketika berzikir ia merendahkan suara. Namun, apabila termasuk dari golongan awam, hendaknya ia mengeraskan suara. Apabila zikir tersebut dilakukan secara berjamaah, lebih baik dibaca secara nyaring dengan ritme suara dan cara yang sama.

Sebagian orang berpendapat bahwa zikir yang dilakukan oleh satu orang dan zikir yang dilakukan secara berjamaah ibarat mu’adzdzin tunggal dan mu’adzdzin jamaah. Sebagaimana suara mu’adzdzin jamaah bisa menerobos gumpalan udara yang tak mungkin dijangkau oleh suara mu’adzdzin tunggal demikian pula dengan zikir jamaah. Ia lebih banyak memberikan pengaruh ke dalam kalbu dan lebih memiliki kekuatan untuk mengangkat hijab kalbu ketimbang zikir yang dilakukan secara sendirian. Selain itu, setiap orang akan mendapatkan padala zikirnya sendiri dan pahala mendengar zikir orang lain.

Dalam al-Qur’an, Allah menyerupakan kalbu yang keras dengan bebatuan. Allah berfirman:

“Kemudian kalbumu keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (al-Baqarah [2]: 74).

Batu hanya bisa dipecahkan dengan kekuatan. Demikian pula dengan kalbu yang keras. Ia baru berubah lewat zikir yang kuat.

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *