BAGIAN SATU
MAKNA ZIKIR
Mengapa Perlu Mengingat Allah (Berzikir).
1
Manakah yang lebih utama, berzikir atau membaca al-Qur’an? Menurut Imam al-Ghazali, membaca al-Qur’an secara umum lebih utama bagi seluruh manusia, kecuali bagi mereka yang sedang pergi menuju kepada Allah – baik yang tengah di awal perjalanan maupun yang telah mulai menapaki akhir perjalanannya. Al-Qur’an mencakup berbagai pengetahuan dan petunjuk jalan. Selama seorang hamba merasa perlu untuk memperbaiki akhlak dan memperoleh pengetahuan, membaca al-Qur’an lebih utama baginya.
Jika al-Qur’an lebih utama bagimu, maka baca dan renungkanlah. Saat membaca, cermati semua karakter dan sifat-sifat yang Allah senangi. Lalu milikilah sifat-sifat tersebut. Sebaliknya, ketika bertemu dengan segala karakter dan sifat yang Allah murkai, jauhilah ia! Sebab, Allah sengaja menyebutkan semua itu padamu, menurunkannya dalam kitab al-Qur’an untukmu, serta memperkenalkanmu padanya, agar bisa kau amalkan. Berusahalah untuk memelihara al-Qur’an dengan mengamalkannya sebagaimana engkau memelihara al-Qur’an dengan membacanya. Karena, yang mendapat siksaan paling keras di hari kiamat adalah orang yang menghafal sebuah ayat lalu melupakannya. Demikian pula dengan orang yang menghafal ayat lalu tidak mengamalkannya. Ayat tersebut di hari kiamat nanti akan menjadi saksi baginya.
Nabi s.a.w. bersabda:
“Orang mukmin yang membaca al-Qur’an seperti buah limau (jeruk, utrujah). Baunya harum.”
Maksud dari bau harum di sini adalah aktivitas membaca al-Qur’an. Udara yang keluar karena membaca al-Qur’an diserupakan dengan bau sesuatu yang harum. “Rasanya juga lezat.” Maksud dari rasa lezat di sini adalah adanya iman. Karena itu, dikatakan telah mengecap manisnya iman orang yang ridha dengan Allah sebagai Tuhannya, dengan Islam sebagai agamanya, dan dengan Muhammad s.a.w. sebagai nabinya. Rasa tersebut dikaitkan dengan iman. Kemudian beliau bersabda:
“Orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah korma. Rasanya lezat (karena ia beriman dan telah mengikrarkan keimanannya), tetapi ia tidak mempunyai bau (karena tidak membacanya walaupun termasuk penghafal al-Qur’an).”
Kemudian Nabi s.a.w. melanjutkan:
“Orang munafik yang membaca al-Qur’an seperti bunga berbau harum (raihānah).”
Karena al-Qur’an memang baik. “Tetapi rasanya pahit,” sebab sifat munafik merupakan kekufuran yang terpendam, sedangkan kelezatan hanya ada pada iman. Setelah itu, Nabi s.a.w. mengatakan:
“Orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah handhal (hanzhalah), rasanya pahit dan tidak berbau.”
Hal yang sama berlaku pada setiap ucapan baik yang mengandung ridha Allah. Hanya saja, al-Qur’an memang mempunyai kedudukan yang khusus. Kalam Allah tersebut tak bisa disamakan dengan setiap ucapan lain yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu, seorang pezikir hendaknya berzikir dengan bacaan-bacaan (zikir) yang terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian, selain berzikir mengingat Allah, ia juga membaca al-Qur’an sekaligus. Tahmid, tasbih, dan tahlil yang dibaca hendaknya diambil dari al-Qur’an.
Menurut Imam al-Ghazali, bila seorang hamba berada dalam kondisi tidak membutuhkan perbaikan akhlak dan pemerolehan pengetahuan karena tahap itu sudah dilewati dan ia sudah berada dalam kondisi penyaksian yang mengarah pada tenggelam bersama Tuhan, maka mendawamkan zikir lebih utama. Sebab, al-Qur’an bisa mengajak pikirannya untuk untuk berdialog dan bisa membawanya ke taman-taman surga. Padahal, sang murid yang sedang pergi menuju Allah
Mukmin yang membaca al-Qur’an ibarat buah limau (jeruk, utrujah), harum baunya lagi manis rasanya. Mukmin yang tidak membaca al-Qur’an ibarat buah korma, manis rasanya tapi tak ada baunya. Munafiq yang membaca al-Qur’an laksana bunga raihanah yang harum baunya tapi pahit bila dirasa. Sedangkan munafiq yang tidak membaca al-Qur’an laksana buah hanzhalah yang pahit rasanya dan tidak ada baunya.
tak boleh menoleh kepada surga dan taman-taman surga. Tetapi, perhatian dan zikirnya harus terarah pada satu hal hingga bisa mencapai kedudukan fana. Namun, kondisi itu tidak berlaku seterusnya. Bila telah kembali pada kondisi semula, membaca al-Qur’an akan bermanfaat untuknya. Secara umum, membaca al-Qur’an lebih utama dalam segala kondisi kecuali apabila Allah, Dzat yang berbicara degan al-Qur’an, membuatnya sibuk dari al-Qur’an. Esensi utama al-Qur’a, mengenal keagungan-Nya, serta tenggelam di dalam-Nya. al-Qur’an berfungsi menunjukkan manusia kepada Allah. Orang yang telah mengarah dan mendekati tujuan tidak akan menoleh ke jalan.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa hakikat zikir adalah ketika Allah telah berkuasa di dalam qalbu. Dan ini hanyalah satu. Sedangkan banyaknya ragam zikir berlaku sebelum itu. Selama zikir masih dilakukan dengan lisan atau qalbu, zikir terbagi menjadi yang paling utama dan yang lainnya. Keutamaannya sesuai dengan berbagai sifat Allah yang diungkapkan lewat zikir.
Sifat-sifat dan nama-nama Allah terbagi dua. Ada yang memang sebenarnya menjadi hak hamba dan diorientasikan pada hak Allah, seperti ash-Shabūr, asy-Syakūr, ar-Rahīm, dan al-Muntaqim. Dan ada pula yang benar-benar menjadi hak Allah. Apabila digunakan pada selain diri-Nya, penggunaan tersebut hanya bersifat metafor.
Di antara zikir yang paling utama adalah lā ilāha illallāh, al-hayy-ul-qayyūm (Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri). Karena, dalam zikir tersebut ada nama Allah yang paling agung. Nabi s.a.w. pernah bersabda:
“Nama Allah yang paling agung terdapat dalam ayat Kursi dan Surah Ali ‘Imran.”
Ia memiliki rahasia yang sangat halus dan sulit disebutkan. Kalimat lā ilāha illallāh menanamkan kesadaran kepada tauhid dan keesaan Dzat Allah. Keesaan secara hakiki adalah milik Allah tanpa perlu ditakwil. Adapun bagi selain Allah, ia hanya bersifat kiasan dan perlu ditakwil. Demikian pula dengan kata al-Hayy (Yang Maha Hidup), ia memberikan kesadaran akan Dzatnya. Ia juga secara hakiki menjadi milik Allah tanpa perlu ditakwil.
Sementara nama-nama yang menunjukkan perbuatan Allah, seperti ar-Rahīm (Yang Penyayang), al-Muqsith (Yang Berbuat Adil), al-Jam‘ (Yang Mengumpulkan), al-‘Adl (Yang Maha Adil) sekaligus menunjukkan sifat-sifatNya. Sebab, sumber semua perbuatan adalah sifat. Sifat merupakan asal, sedangkan perbuatan hanyalah mengikuti.
Selanjutnya sifat-sifat Allah lainnya yang menunjukkan kepada kekuasaan, pengetahuan, kehendak, pembicaraan, pendengaran, dan penglihatan-Nya merupakan sifat Allah yang bersifat permanen. Ia sangat berbeda dengan sifat, pembicaraan, kekuasaan, pengetahuan, pendengaran, dan penglihatan manusia. Sifat-sifat Allah memiliki berbagai hakikat yang mustahil ada pada diri manusia.
Contohnya adalah ucapan subhānallāhi wal-hamadu lillāhi wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar.
Kata subhānallāh menunjukkan kesucian Allah yang bersifat hakiki, yang menafikan keberadaan tuhan yang lain.
Sedangkan kata al-hamdulillāh memberikan kesadaran bahwa semua nikmat berasal dari-Nya. Hal itu bersifat hakiki karena hanya Dia yang sesungguhnya berbuat tanpa perlu ditakwil. Hanya Allah yang wajib mendapat pujian sebab tidak ada seorang pun yang ikut serta dalam perbuatan-Nya. Sama halnya dengan sebuah pena yang tidak ikut dipuji bersama penulisnya ketika penulis tersebut menghasilkan tulisan yang bagus.
Lalu kata Allāhu akbar tidak berarti bahwa Dia lebih besar dari yang lain karena tidak ada sesuatu pun bersama-Nya. Tetapi, segala sesuatu selain Allah merupakan cahaya yang bersumber dari cahaya kekuasaan-Nya. Cahaya lilin tidak bisa didudukkan bersama dengan matahari. Sehingga tak bisa dikatakan bahwa matahari lebih besar dari cahaya lilin. Tetapi, yang benar cahaya lilin merupakan subordinasi dari matahari. Jadi, makna dari kata di atas, Allah Maha Besar untuk ditangkap oleh indra, substansi keagungannya, Maha Besar untuk dijangkau oleh akal dan analogi. Bahkan, Dia Maha Besar untuk diketahui selain-Nya. Yang mengetahui Allah hanyalah Allah semata.