Dari Buku:
Zikir Penenteram Hati
(Judul Asli: Miftah-ul-Falah)
Oleh: Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahresy
Penerbit: Zaman.
BAGIAN SATU
MAKNA ZIKIR
Mengapa Perlu Mengingat Allah (Berzikir).
1
Berzikir mempunyai adab-abab tertentu, baik sebelum, sesudah, atau ketika pelaksaannya. Ada adab yang bersifat lahiriah dan ada pula yang bersifat batiniah.
Sebelum melaksanakan zikir, sebaiknya sang salik (peniti jalan menuju Allah) terlebih dulu bertobat, memperbaiki jiwa dengan latihan-latihan rohani, melembutkan sir dengan menjauhkan dan merenggangkan segala keterkaitan dengan makhluk, memutuskan segala penghalang, memahami ilmu-ilmu yang bersifat fardhu ‘ain, serta memilih zikir yang sesuai dengan keadaannya. Sebab itu, barulah ia berzikir dengan tekun dan kontinu.
Di antara adab yang perlu diperhatikan yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang halal, suci, dan wangi. Kesucian batin bisa terwujud dengan memakan makanan yang halal. Zikir memang bisa melenyapkan bagian-bagian tubuh yang berasal dari makanan haram. Hanya saja, ketika batinnya sudah kosong dari sesuatu yang haram atau syubhat, maka zikir tersebut akan lebih berfungsi menerangi qalbu. Namun, jika dalam batinnya masih terdapat sesuatu yang haram, ia terlebih dahulu akan dicuci dan dibersihkan oleh zikir. Pada kondisi tersebut, fungsi zikir sebagai penerang qalbu menjadi lebih lemah. Hal itu tak ubahnya seperti air. Jika air dipergunakan untuk mencuci sesuatu yang terkena najis, najisnya akan hilang. Tetapi, pada saat yang sama ia tak bisa membuat benda yang terkena najis tadi menjadi sangat bersih. Oleh karena itu, sebaiknya ia dicuci ulang sehingga ketika benda yang dicuci itu telah bersih dari najis, ia akan bertambah cemerlang dan bersinar ketimbang saat dicuci pertama kali. Demikian pula saat zikir turun ke dalam qalbu. Kalau qalbu tersebut gelap, zikir akan membuatnya terang. Tetapi, kalau qalbu tersebut sudah terang, zikir akan membuatnya jauh lebih terang.
Ketika zikir dilaksanakan hendaknya disertai niat ikhlas. Majelis tempat zikirnya diberi wewangian untuk para malaikat dan jin. Hendaknya sang salik, duduk bersila menghadap qiblat. Ini kalau ia berzikir sendirian. Tetapi, kalau bersama-sama, hendaknya ia berzikir dalam lingkungan majelis. Selanjutnya telapak tangannya diletakkan di atas paha dan matanya dipejamkan seraya terus menghadap ke depan. Kalau ia berada di bawah bimbingan seorang syekh (guru spiritual), hendaknya ia membayangkan sang syekh sedang berada di hadapannya. Sebab, ia adalah pendamping dan pembimbing dalam meniti jalan rohani. Selain itu, hendaknya qalbu dan zikirnya itu dikaitkan dengan orientasi sang syekh disertai keyakinan dan perasaan bahwa semua itu bersambung dan bersumber dari Nabi s.a.w. Sebab, syekhnya itu merupakan wakil Nabi s.a.w.
Setelah itu, hendaknya pezikir membaca lā ilāha illallāh dengan penuh kekuatan disertai pengagungan. Ia naikkan kalimat tersebut dari atas perut. Lalu, dengan membaca lā ilāha hendaknya ia berniat melenyapkan segala sesuatu selain Allah dari qalbu. Dan, dengan membaca illallāh hendaknya ia berniat menanamkan kata tersebut ke dalam qalbu untuk kemudian diteruskan ke semua organ tubuh seraya terus-menerus meresapi maknanya.
Menurut sebagian ulama, tingkatan zikir yang minimal adalah setiap kali seseorang membaca lā ilāha illallāh, qalbunya harus bersih dari segala sesuatu selain Allah. Jika masih ada, ia harus segera melenyapkannya. Jika ketika berzikir qalbunya masih menoleh pada sesuatu selain Allah berarti ia telah memosisikan sesuatu selain Allah itu sebagai tuhan bagi dirinya. Allah berfirman:
“Tahukah kamu orang yang memper-
Tingkatan zikir yang minimal adalah setiap kali seseorang membaca lā ilāha illallāh, qalbunya harus bersih dari segala sesuatu selain Allah. Jika masih ada, ia harus segera melenyapkannya. Jika ketika berzikir qalbunya masih menoleh pada sesuatu selain Allah berarti ia telah memosisikan sesuatu selain Allah itu sebagai tuhan bagi dirinya
tuhankan hawa nafsunya.” (al-Furqan [25]: 43).
“Janganlah kamu membuat tuhan selain Allah.” (al-Isra’ [17]: 22).
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam agar kamu tidak menyembah setan.” (Yasin [36]: 60).
Dalam hadis, Rasul s.a.w. juga bersabda: “Sungguh rugi hamba dinar dan sungguh rugi hamba dirham.” Dinar dan dirham tidaklah disembah dengan cara rukuk dan sujud kepadanya, tetapi dengan adanya perhatian qalbu kepada dinar dan dirham itu. Lā ilāha illallāh baru bermakna kalau diucapkan sambil membersihkan qalbu dari segala sesuatu selain Allah. Orang yang mengisi qalbunya dengan gambaran dunia meskipun membaca kalimat tersebut seribu kali, takkan mampu merasakan getaran apa-apa. Namun, bila kalbu tersebut telah kosong dari hal-hal selain Allah, meskipun hanya membaca kata Allah satu kali saja, ia akan menemukan kelezatan yang tak bisa digambarkan oleh lisan manusia.
Dulu ia kalangan Bani Israel ada seorang budak hitam yang setiap kali ia membaca lā ilāha illallāh tubuhnya – dari kepala hingga kaki – berubah berwarna putih. Demikianlah, ketika seorang hamba merealisasikan kalimat lā ilāha illallāh secara benar, qalbunya akan berada dalam kondisi yang tak bisa diekspresikan lisan dan tak mampu diungkapkan perasaan. Meskipun sangat ringkas, lā ilāha illallāh adalah kunci pembuka hakikat qalbu selain akan mengangkat derajat para salikke alam gaib.
Ada yang memilih untuk membaca zikir di atas dengan cara disambung sehingga seolah-olah menjadi satu kata tanpa tersusupi oleh sesuatu dari luar ataupun lintasan pikiran dengan maksud agar setan tiak sempat masuk. Cara membaca zikir seperti ini dipilih dengan melihat kondisi salik yang masih lemah dalam mendaki jalan spiritual akibat belum terbiasa. Selain terutama karena ia masih tergolong pemula. Menurut para ulama, ini adalah cara tercepat untuk membuka qalbu dan mendekatkan diri pada Allah.
Menurut sebagian ulama yang lain, memanjangkan bacaan lā ilāha illallāh lebih baik dan lebih disukai. Karena, pada saat dipanjangkan, dalam benaknya muncul semua sekutu Tuhan. Namun, kemudian, semua itu ditiadakan seraya diikuti dengan membaca lā ilāha illallāh. Dengan demikian, cara ini lebih dekat kepada sikap ikhlas sebab ia tidak mengakui keberadaan tuhan-tuhan.
Sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, tidak membaca panjang lebih utama. Sebab, bisa jadi kematian datang di saat sedang membaca lā ilāha (tidak ada tuhan), sebelum sampai pada kata illallāh (kecuali Allah).
Sementara menurut yang lain, bila kalimat tersebut dibaca dengan tujuan untuk berpindah dari wilayah kekufuran menuju iman, maka tidak membaca panjang lebih utama agar ia lebih cepat berpindah kepada iman. Namun, kalau ia berada dalam kondisi iman, membaca secara panjang lebih utama dengan alasan yang telah disebutkan.
Adapun adab selanjutnya adalah ketika sang salik sengaja diam secara tenang dengan kondisi qalbu yang hadir seraya menunggu datangnya limpahan karunia zikir berupa kondisi ghaibah (kondisi saat pezikir gaib dari zikir dari dirinya). Kondisi itu diperoleh di penghujung aktivitas zikir. Ia juga disebut dengan kondisi naumah. Jika Allah mengirim angin untuk menebar rahmat-Nya berupa hujan, Allah juga mengirim angin zikir untuk menebar rahmat-Nya yang mulia berupa sesuatu yang bisa menyuburkan qalbu dalam sesaat saja. Padahal, itu tak bisa dicapai meskipun lewat perjuangan spiritual dan latihan jiwa selama tiga puluh tahun lamanya. Adab-adab ini harus dimiliki oleh seorang pezikir yang dalam kondisi sadar dan bisa memilih.
Sedangkan bagi pezikir yang kehilangan pilihan karena tidak sadar bersamaan dengan masuknya limpahan zikir dan rahasia ke dalam dirinya, lisannya bisa jadi mengucapkan kata Allāh, Allāh, atau Huwa, Huwa, Huwa, Huwa, atau lā, lā, lā, lā, atau Ah, Ah, Ah, atau suara yang tak jelas. Ia hanya menyerah pada apa yang masuk. Setelah selesai, ia akan kembali berada dalam kondisi diam dan tenang.
Semua adab di atas diperlukan oleh mereka yang akan melakukan zikir lisan. Adapun zikir qalbu tidak membutuhkan adab-adab semacam itu.
[menu name=”zikir-penenteram-hati” class=”modern-menu-widget”]