Mengatur Dunia tanpa Tertipu olehnya.
Mengatur dunia itu ada dua macam. Yaitu, mengatur dunia untuk dunia semata dan mengatur dunia untuk akhirat. Yang pertama adalah merancang cara mengumpulkan dunia dengan rasa bangga dan cinta kepadanya. Setiap kali dunianya bertambah, ia bertambah lalai terhadap akhirat, tambah terbuai dan tambah terperosok dalam maksiat. Tandanya, dunia tersebut membuatnya lalai dan tidak mengindahkan syariat.
Sementara yang kedua (mengatur dunia untuk akhirat) seperti orang yang mengelola dagangannya agar bisa makan dari hasil yang halal dan baik, agar bisa berinfak kepada fakir miskin, agar bisa menyambung silaturahim, bisa menjaga diri untuk tidak mengemis kepada orang, dan bisa menjaga kehormatan. Tandanya, ia tidak sibuk memperkaya diri, tidak mementingkan dunia, selalu membantu penderitaan kaum muslim, dan memudahkan orang-orang yang berada dalam kesulitan.
Ketahuilah, dunia tidak tercela secara mutlak. Tidak semua pencari dunia tercela dan mendapat murka. Yang tercela adalah kalau seseorang sibuk dengan dunia sampai lupa kepada agama, akhirat, dan ibadah sehingga ia pun menjadi budak dan pelayan dunia.
Pencari dunia yang tercela adalah yang mencari dunia hanya untuk dirinya sendiri bukan untuk Tuhan, untuk dunia bukan untuk akhirat, untuk dikumpulkan bukan untuk diinfakkan, dan untuk berbangga-bangga bukan untuk memenuhi keperluan.
Dengan demikian, manusia terdiri atas dua bagian. Pertama, manusia yang mencari dunia hanya untuk dunia, untuk kebanggaan, untuk memperkaya diri, untuk kejahatan dan kekikiran, serta untuk berbuat kerusakan di bumi. Kedua, manusia yang mencari dunia sebagai alat menuju akhirat. Ia jadikan dunia tersebut sebagai sarana untuk taat kepada Tuhannya.
Kami mendengar guru kami, Abul-‘Abbās al-Mursī r.a. berkata: “Orang yang mengenal Allah tidak memiliki dunia ataupun akhirat. Sebab, dunianya ia persembahkan untuk akhirat dan akhiratnya adalah untuk Tuhannya.”
Begitulah kondisi para sahabat dan generasi salaf yang saleh, yang hidup dalam keadaan kaya. Setiap usaha yang mereka lakukan adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dengan harta tersebut mereka tak berorientasi pada dunia, kemewahan, dan kesenangan. Karena itu Allah melukiskan mereka dengan firman-Nya:
مُّحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ وَ الَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muḥammad adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersamanya bersikap tegas terhadap orang kafir dan kasih sayang terhadap sesama mereka.” (al-Fatḥ [48]: 29).
Demikianlah keadaan orang-orang yang Allah cintai. Allah telah memilih mereka sebagai sahabat, pembela, dan murid Nabi s.a.w. yang mendengar firman Tuhan yang beliau sampaikan. Tak ada karunia lebih tinggi daripada yang diberikan kepada para sahabat. Mereka telah memberikan kontribusi dan jasa yang sangat berharga kepada setiap muslim sampai hari kiamat. Betapa tidak; merekalah yang menerangkan seluruh hikmah dan hukum yang berasal dari Nabi s.a.w. kepada kita semua. Mereka menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram. Mereka memahami teks yang bersifat khusus (khāshsh) dan yang berisfat umum (‘āmm). Mereka juga berhasil membuka wilayah-wilayah baru Islam. Mereka hancurkan kaum musyrik dan pembangkang. Oleh karena itu, mereka layak mendapatkan kedudukan seperti yang Nabi s.a.w. katakan: “Para sahabatku laksana bintang gemintang. Yang mana saja kau jadikan panutan, pasti kau akan mendapat hidayah.” Dalam al-Qur’ān sendiri Allah melukiskan mereka dengan banyak sifat mulia sampai Dia berkata:
يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللهِ وَ رِضْوَانًا وَ يَنْصُرُوْنَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ أُولئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ
“Mereka mencari karunia dan rida Allah. Mereka membela Allah dan Rasūl-Nya. Merekalah orang-orang yang jujur.” (al-Ḥasyr [59]: 8). Itu menunjukkan bahwa ketika mereka mencari dunia, yang mereka tuju adalah rida dan karunia Allah semata.
Pada ayat yang lain, Allah berfirman:
فِيْ بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَ يُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَ الْآصَالِ. رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَ لَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَ الْأَبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوْا وَ يَزِيْدَهُمْ مِّنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“(Mereka) bertasbih di masjid-masjid, tempat yang Allah perintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, baik di waktu pagi maupun petang. Mereka adalah sosok-sosok yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari saat hati dan penglihatan mereka berguncang. (Mereka melakukan itu semua) supaya Allah memberi balasan yang lebih baik dari apa yang mereka lakukan dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Allah memberi rezeki kepada yang Dia kehendaki tanpa batas.” (an-Nūr [24]: 36-38).
Allah tidak melarang mereka berusaha, berdagang, atau melakukan jual beli. Walaupun kaya mereka tetap mendapat pujian-Nya selama tetap menunaikan hak-hak Tuhan. Menurut ‘Abdullāh ibn ‘Utbah, ketika ‘Utsmān ibn ‘Affān r.a. terbunuh, ia meninggalkan kekayaan sebanyak seratus ribu lima ratus dinar, satu juta dirham, seribu kuda, seribu sahaya, sumur Aris, Khaybar, dan lembah senilai dua ratus ribu dinar.
‘Amar ibn al-‘Āsh juga meninggalkan tiga ratus dinar. Sementara, harta az-Zubair ibn al-‘Awwām senilai lima puluh ribu dinar, seribu kuda, dan seribu sahaya. Lebih-lebih lagi milik ‘Abd-ur-Raḥmān ibn ‘Auf yang sulit untuk dihitung.
Dunia ada di tangan mereka, tidak di kalbu mereka. Mereka bersabar ketika harta tersebut lepas, serta bersyukur kepada Allah ketika harta itu didapat. Memang di awal-awal, Allah menguji mereka dengan kefakiran agar cahaya mereka sempurna, batin mereka suci. Kemudian barulah mereka diberi. Seandainya mereka diberi sebelum diuji, barangkali harta tersebut akan menjadi fokus perhatian dan kesibukan mereka. Namun, ketika harta tersebut diberikan setelah keyakinan terpatri dalam hati, mereka bisa mempergunakannya secara cerdas dan amanah. Mereka laksanakan firman Allah:
وَ أَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ
“Infakkanlah sebagian dari harta yang Allah titipkan pada kalian.” (al-Ḥadīd [57]: 7).
Bukti nyata bahwa mereka tidak mencintai dunia bisa ditunjukkan oleh sikap Abū Bakr r.a. ketika memberikan seluruh hartanya dalam peperangan. Juga oleh sikap ‘Umar r.a. ketika memberikan separuh hartanya, oleh sikap ‘Abd-ur-Raḥmān ibn ‘Auf ketika memberikan tujuh ratus untanya, oleh sikap ‘Utsmān ibn ‘Affān r.a. ketika memberikan bekal dari hartanya kepada pasukan yang sedang dalam kondisi sulit, serta oleh sikap para sahabat lainnya yang menunjukkan kebaikan dan kedermawanan mereka. Betapa banyak ayat al-Qur’ān yang melukiskan kesucian lahir batin mereka di samping kemuliaan dan keagungan mereka.