Wahai anak muda, engkau berharap kepada Allah dengan ibadahmu yang disertai lupa, riyā’, dan nifak. Engkau pun meminta kebaikan-Nya dengan ketidaksalehanmu untuk bersaing dengan orang-orang saleh, engkau tak ingat mereka dan tak mengenal mereka – hai budak yang melarikan diri, hai orang yang tersesat, hai orang yang keluar dari kawasan orang yang ikhlas dan bertauhid.
Menangislah sampai mereka menangis bersamamu. Bertahanlah dalam musibahmu dan kenakanlah pakaian kesabaran hingga mereka mendampingimu. Engkau terhijab tapi engkau tak sadar.
Ada orang saleh yang berkata: “Celakalah orang-orang yang terhijab tapi mereka tak tahu kalau mereka terhijab.”
Celaka engkau, apa yang ada di hatimu? Apa yang kau pikirkan? Kepada siapa engkau mengadu? Kepada siapa engkau meminta tolong? Bersama siapa engkau tidur? Kalau engkau tertimpa kesusahan, kepada siapa engkau percaya? Ceritakan padaku, sungguh aku tahu kebohonganmu dan kepura-puraanmu. Engkau dan makhluk buatku seperti kutu bangsat. Aku tahu siapa yang jujur di antara kalian – aku akan menjadi pelayannya. Kalau ia mau membawaku ke pasar, menjualku atau mempekerjakanku, silakan. Kalau mau mengambil bajuku atau milikku atau menyuruhku hingga aku minta-minta, silakan. Engkau tak punya kejujuran, tak punya tauhid, dan tak punya iman. Engkau seperti kayu bakar yang pantas untuk dimasukkan ke nyala api.
Wahai kaumku, dunia itu akan lenyap, amal akan hilang, sementara akhirat dekat dengan kalian. Perhatian kalian tak tertuju ke akhirat, tapi ke dunia dan bagaimana cara mengumpulkannya. Kalian musuh-musuh nikmat Allah. Kalau keburukan yang menimpa, kalian menyembunyikannya dari mereka. Kalau kalian sembunyikan nikmat-nikmat Allah dan tak mensyukurinya, Dia akan rampas dari kalian. Diriwayatkan dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Jika Allah memberi nikmat kepada hamba-Nya, Dia senang kalau nikmat itu diperlihatkan kepada-Nya.” (Riwayat az-Zubaidī dan al-‘Irāqī).
Kaum beriman itu hanya memiliki satu perhatian. Mereka mengeluarkan segala sesuatu dari hati mereka, dan mengisinya dengan satu hal yang tak seperti segala sesuatu yang lain. Mereka memurnikan ibadah mereka dari riyā’, nifak, dan sum‘ah. Mereka besungguh-sungguh dalam menyembah Tuhan mereka. Sedangkan kalian adalah penghamba makhluk, penghamba riyā’ dan nifak. Kalian penghamba makhluk, nafsu, kehormatan, dan sanjungan. Tidak ada di antara kalian yang bersungguh-sungguh dalam beribadah kecuali orang yang Allah kehendaki – yang jumlahnya segelintir saja. Orang ini menghamba dunia, menyenangi keawetannya dan takut akan kehilangannya. Sedang yang ini menghamba makhluk, takut dan berharap pada mereka. Sementara yang ini menghamba surga, berharap nikmatnya tapi tak berharap Pencipta surga. Sedangkan yang ini menghamba neraka, takut padanya tapi tidak takut pada Pencipta neraka. Apa itu makhluk, apa itu surga, apa itu neraka, dan apa pula selainnya? Allah berfirman:
وَ مَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
“Mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata untuk menjalankan agama dengan lurus.” (al-Bayyinah [98]: 5).
Orang-orang yang mengenal dan mengetahui-Nya, menghamba hanya kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya. Mereka mengakui kedudukan-Nya sebagai Tuhan yang menjadi satu-satunya Pengatur dan Sesembahan Sejati. Mereka menyembah-Nya untuk menaati perintah-Nya dan mencintai-Nya, bukan untuk sesuatu yang lain. Mereka meminta tolong kepada-Nya, bukan selain-Nya – dan mereka meninggalkan selain-Nya. Sedangkan kalian ini raga tanpa ruh. Kalian ini memperhatikan yang lahir, sedangkan kaum yang ‘ārif memperhatikan yang batin. Kalian memperhatikan bentuk, sedangkan kaum yang ‘ārif memperhatikan makna. Kalian memperhatikan yang tampak, sedangkan kaum yang ‘ārif memperhatikan yang rahasia. Kaum yang ‘ārif adalah kaki tangan para nabi, yang ada di kanan kiri mereka, di depan dan belakang mereka. Mereka mengamalkan ilmu para nabi, sehingga mereka pun berhak mewarisi para nabi. Nabi s.a.w. bersabda: “Ulama itu pewaris para nabi.” (Riwayat Ibnu Mājah). Jika mereka mengamalkan ilmu para nabi, mereka menjadi penerus, pewaris, dan wakil para nabi.
Duh, celaka engkau. Engkau tidak datang semata-mata karena ilmu. Sebagaimana halnya gugatan tak berguna tanpa bukti, ilmu juga tak berguna tanpa amal. Diriwayatkan dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Ilmu itu memanggil amal, kalau amal tidak menanggapi, ilmu akan pergi.” Hilanglah keberkahan ilmu, dan tersisa pengkajiannya. Tersisa kulitnya, dan hilanglah isinya.
Wahai orang-orang yang tak mengamalkan ilmu, kalian terampil membuat syair dengan cita rasa sastra yang tinggi, namun tak ada perwujudan amalnya dan tak ada rasa ikhlasnya. Kalau engkau memperbaiki hatimu, tentu baiklah anggota tubuhmu, karena hati adalah penguasa tubuh. Jika engkau memperbaiki rajanya, akan baiklah rakyatnya. Ilmu itu kulit, sementara amal itu isi. Kulit terpelihara jika isinya terpelihara. Sedangkan isi terpelihara bila masih ada lemak/minyaknya. Jika ada kulit tak ada isinya, lalu buat apa? Bila isi tak ada lemak/minyaknya, lalu buat apa? Ilmu itu hilang bila amal menghilang. Bagaimana bisa berguna bagimu bila kamu menghafal dan mempelajarinya tanpa mengamalkannya?
Wahai orang yang berilmu, jika engkau menginginkan kebaikan dunia dan akhirat, maka amalkanlah ilmumu dan ilmu orang-orang. Wahai orang yang kaya, jika engkau menginginkan kebaikan dunia dan akhirat, bantulah orang-orang fakir dengan sebagian hartamu. Diriwayatkan dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Semua manusia itu keluarganya Allah, dan orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat buat keluarga-Nya.”
Maha Suci Allah yang membuat sebagian manusia membutuhkan sebagian yang lain. Dalam hal ini ada ketentuan-Nya. Wahai orang kaya, cobalah lari dariku, aku akan mengambil milikmu untukmu. Akan datang kebaikan kepadaku dari Allah, dan Allah cukupkan aku dari kalian, dan membuat kalian membutuhkan aku.
Bila Nabi Ibrāhīm a.s. melihat sedikitnya kesabaran orang fakir, ia berkata: “Ya Allah, lapangkanlah kami dalam urusan dunia, zuhudkanlah kami dalam urusan dunia, dan jangan singkirkan dunia dari kami padahal engkau mendorong kami untuk tak melalaikannya, sehingga kami pun binasa lantaran mencarinya. Ya Allah, ringankanlah kami untuk menjalani segenap ketentuan dan takdir-Nya.”
“Seorang mukmin bekerja untuk dunia dan akhirat. Namun, ia bekerja untuk dunia sebatas memenuhi kebutuhannya. Kebutuhannya terhadap dunia sebatas bekal orang yang bepergian, tidak lebih. Orang bodoh gelisah dengan dunia, sedangkan orang ‘ārif gelisah dengan akhirat.”‘Abd-ul-Qadir al-Jailani.