Memahami Ma’na Syafa’at – Mengetuk Pintu Syafa’at

Mengetuk Pintu Syafā‘at
Oleh: Syafiqul Anam al-Jaziriy
 
Penerbit: Pustaka Group

Memahami Ma‘na Syafā‘at

 

Secara jelas telah dijelaskan di atas tentang pengertian syafā‘at. Di sini kita ulas kembali sedikit tentang ma‘na syafā‘at agar kita bisa memahaminya dengan baik.

Kata syafā‘at secara etimologi berasal dari syafa‘a yasyfa‘u, yang artinya genap, menjadikan genap apa yang ganjil (kurang). Isimnya adalah syafā‘ah yang artinya penggenapan yang ganjil (kurang). Sedangkan menurut istilah adalah permohonan untuk mengampuni kesalahan. Pemohon syafā‘at disebut syafī‘, pemilik syafā‘at syāfi‘ dan orang yang diterima permohonan syafā‘at-nya disebut musyaffa‘.

Dari sini, diketahui bahwa syafā‘at hanya bisa dikabulkan bagi orang yang mempunyai kekurangan, kealpaan dan ia mempunyai kebaikan sebelumnya sebagai “modal”. Dengan kata lain orang yang sama sekali tidak mempunya kebaikan maka tidak mungkin mendapatkan syafā‘at.

Dr. Nasr Abu Zayd yang mengatakan bahwa teks (bahasa) terbentuk oleh realita, maka ditemukannya kata syafā‘at, syafī‘, syāfi‘, dan musyaffa‘ menunjukkan bahwa madlūl demikian juga realita seputar itu memang ada. Tapi perlu dicatat bahwa realita di sini khususnya dimaksudkan untuk menunjuk realita imajiner. Sebab realita sebenarnya tentang ada tidaknya, terjadi atau tidak terjadinya hanya bisa disaksikan pada kehidupan akhirat. Dengan demikian membicarakan ma‘na syafā‘at tentu masih saja akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan, baik yang pro maupun yang kontra.

Sebelum memahami ma‘na syafā‘at, perlu dipaparkan sisi-sisi yang bisa disepakati baik oleh kubu pro maupun kontra dan sisi-sisi yang oleh kedua kubu itu dipertentangkan maksudnya supaya secara substansial tidak ada pertentangan di dalamnya.

Adapun sisi-sisi yang yang disepakati oleh keduanya adalah:

  • – Setiap orang menginginkan untuk mendapatkan ampunan.
  • – Ampunan yang sejati pada hari kiamat adalah dari Allah s.w.t. karena (الْمُلكُ يَوْمَئِذٍ للهِ) Orang yang tidak mempunyai kebaikan sama sekali tidak akan mendapatkan syafā‘at dan menurut Allah s.w.t. tidak berhak mendapatkan syafā‘at.
  • – Masing-masing pihak mendasarkan pendapatnya pada al-Qur’ān dan Hadits Nabi. Sedangkan sisi-sisi yang dipertentangkan biasanya adalah bisa atau tidaknya pendosa mendapatkan ampunan dari Allah s.w.t. pada hari Kiamat melalui orang lain.
  • – Efek negatif dari syafā‘at yang menyebabkan si pendosa menganggap kecil dan mudah memperbuat dosa karena ada kemungkinan ia mendapatkan syafā‘at.

 

Adapun ayat-ayat yang menjadi pertentangan adalah QS. an-Najm 38-41:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى، وَ أَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى، وَ أَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى، ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى.

(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. an-Najm: 38-41).

Orang-orang yang mengingkari syafā‘at menafsiri dan memahami bahwa ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa manusia hanya memperoleh balasan pahala, siksa juga ampunan karena ‘amal perbuatan yang ia lakukan dan tidak ada intervensi maupun pertolongan orang lain.

Sementara pihak pengusung syafā‘at justru melihat ayat 41 dari surat an-Najm yaitu mereka menafsiri dan memahami bahwa memang karena keadilan Allah s.w.t., Dia hanya menghitung, menghukum dan membalas dari apa yang dilakukan oleh hamba, tapi setelah itu ada anugerah dan kemurahan Allah s.w.t. yang melipat-gandakan balasan kebaikan dan memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh hamba.

Sampai di sini memang belum ada ketegasan bahwa seseorang bisa diampuni karena permintaan syafā‘at orang lain, tapi pengusung syafā‘at menjelaskan bahwa di antara anugerah dan kemurahan Allah s.w.t. setelah keadilan-Nya adalah pengabulan permohonan syafā‘at dari hamba yang dicintai-Nya. Keterangan ini dengan berdasarkan pada ayat-ayat senada di tempat lain.

Adapun ayat kedua yang bertentangan adalah QS. al-Muddatstsir: 48 yang berbunyi:

Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafā‘at dari orang-orang yang meemberikan syafā‘at.” (QS. al-Muddatstsir: 48).

Golongan yang mengingkari syafā‘at menafsiri ayat tersebut secara mutlak bahwa pendosa (baik kafir maupun mu’min) tidak akan mendapatkan syafā‘at. Sementara itu kalangan pendukung syafā‘at merinci bahwa ayat tersebut hanya berlaku bagi orang-orang kafir sebagaimana tersebut dalam rangkaian ayat sebelumnya yang memang secara pasti dan menjadi kesepakatan bersama bahwa mereka tidak akan mendapatkan syafā‘at maupun ampunan.

Kelompok ini menambahi justru ayat ini memberikan pengertian kalau orang kafir tidak mendapatkan syafā‘at maka orang mu’min yang berbuat dosa bisa mendapatkan syafā‘at. Sampai di sini belum juga ada ketegasan adanya syafā‘at, meskipun untuk menafikannya juga bisa dibantah.

Karenanya persoalan syafā‘at tidak bisa dianggap remeh meski syafā‘at itu sendiri bisa datang kapan saja pada diri seseorang. Yang terpenting adalah jangan sampai seseorang dibutakan atau merasa berbangga diri bahwa kelak dirinya akan mendapatkan syafā‘at meski harus melakukan dosa berkali-kali.

Ada sebagian hadits yang meriwayatkan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. mengatakan: “Aku adalah baginda anak cucu Adam dan ini bukan kesombongan. Aku adalah manusia pertama yang bangkit dari kubur orang yang pertama memberi syafā‘at dan orang yang pertama dikabulkan syafā‘at-nya.” (HR. Muslim).

Hadits di atas menjelaskan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang pertama kali memberikan syafā‘at bagi anak cucu Ādam baik di dunia maupun di akhirat. Dan Allah s.w.t. senantiasa mengabulkan permintaan beliau dikarenakan beliau adalah kekasih Allah s.w.t.

Para pengusung syafā‘at menambahkan bahwa pengabulan syafā‘at dari baginda Nabi Muḥammad s.a.w. di sini, terjadi setelah mendapatkan idzin dari Allah s.w.t. karena baginda Nabi memohon, meratap dengan penuh tawādhu‘ dan khusyū‘. Hadits yang diriwayatkan Imām Muslim di atas juga memberi pengertian bahwa setelah baginda Nabi, akan ada nabi-nabi, orang-orang shāliḥ lain yang dapat memberikan syafā‘at, maksudnya permohonan syafā‘at merekapun diterima oleh Allah s.w.t.

Demi mensikapi hujjah-hujjah di atas, kelompok yang mengingkari syafā‘at tetap berpendapat bahwa ayat-ayat sebagaimana tersebut di atas – yang menafikan syafā‘at adalah ayat yang sharīḥ dan masuk dalam kategori nash (hanya mempunyai satu pengertian), dengan demikian ayat-ayat lain yang mengesakan adanya syafā‘at harus dita’wīli lain agar sesuai dengan ayat yang sharīḥ di atas, begitu juga hadits-hadits Nabi yang dijadikan dasar oleh kelompok pengusung syafā‘at harus juga dikritisi matan dan sanadnya agar sesuai dengan nash yang shaḥīḥ.

Di samping itu, adanya syafā‘at bagi kelompok yang mengingkarinya menyebabkan pendosa menjadi sembrono, tidak bersegera untuk bertobat karena mereka mempunyai harapan adanya syafā‘at yang bisa diperoleh besok pada hari kiamat. Lebih dari itu mereka kemudian cenderung lebih mementingkan ritual-ritual pemujaan pada para nabi, auliya’ dan orang-orang shāliḥ yang mereka yakini bisa memberi syafā‘at dan menolong mereka dari ancaman siksa akhirat.

Demi menjawab hal ini para pengusung syafā‘at menegaskan bahwa syafā‘at terjadi hanya setelah mendapatkan idzin dari Allah s.w.t. Dan artinya tidak semua pendosa akan mendapatkan syafā‘at, demikian juga tidak semua permohonan syafā‘at dari para Nabi, auliyā’, shāliḥīn bahkan baginda Nabi Muḥammad s.a.w. dikabulkan oleh Allah s.w.t. Sedangkan adanya kekhawatiran kesembronoan dalam berbuat dosa adalah tidak pada tempatnya, sebab Islam memang tidak mengajarkan hal itu, dan yang diajarkan Islam adalah orang Mu’min dalam setiap ‘amalnya harus senantiasa menjaga rajā’ dan khauf pada Allah s.w.t., mengharapkan ‘amal baiknya diterima dan dosa-dosanya diampuni tapi juga khawatir ‘amal baiknya tidak diterima dan dosa-dosanya justru membuat Allah s.w.t. murka.

Dan pada akhirnya, dari uraian di atas bisa diambil kesimpulan bahwa:

Kelompok yang menafikan syafā‘at mendasarkan pada ayat-ayat yang menyatakan bahwa syafā‘at memang ada dan terjadi tapi setelah mendapatkan idzin Allah s.w.t., juga hadits-hadits yang di antaranya mencapai derajat mutawātir. Ayat yang menafikan syafā‘at masih mu’awwal.

Syafā‘at bukanlah termasuk rukun Iman yang terdapat nash yang menegaskannya sehingga orang yang mengingkarinya akan dicap kufur, kendatipun pendapat yang mengitsbatkannya lebih kuat.

Mudah-mudahan kita semua senantiasa diberi pikiran yang jernih oleh Allah s.w.t., diberi kemantapan Iman dan Islam, dimasukkan dalam kelompok orang yang selamat dunia akhirat di bawah panji Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad s.a.w. dan termasuk golongan ummat yang akan mendapatkan syafā‘at dari baginda s.a.w. di yaum-il-ākhir.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *