Melihat Jinn Ketika Dia Menampakkan Diri – Dialog Dengan Jinn Muslim

DIALOG DENGAN JINN MUSLIM
Pengalaman Spiritual

Diterjemahan dari:
Hiwar Shahafiy ma‘a Jinny Muslim
Karya: Muhammad ‘Isa Dawud.

Penerjemahan: Afif Muhammad dan H. ‘Abdul Adhiem
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 2. Mungkinkah Melihat Jinn & Bagaimana Pula Caranya

Melihat Jinn Ketika Dia Menampakkan Diri.

 

Jinn Muslim sahabat saya itu kemudian melanjutkan perkataannya: “Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menganugerahkan kepada kami suatu kemampuan untuk mengubah diri dalam berbagai bentuk. Coba baca surah al-Anfāl yang berbunyi: Dan ketika syaithan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka, seraya mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya aku ini adalah pelindungmu.” Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat, syaithan itu berbalik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, sesungguhnya aku dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihatnya. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Qs. al-Anfāl: 48).

Kemudian dia menujukan pandangannya ke meja saya yang penuh buku, dan berkata: “Coba ambilkan tafsirmu yang menjelaskan ayat tersebut!”

“Ini Tafsīru Ibni Katsīr, dan yang itu Tafsīr-ul-Qurthubī.”

Saya mengambil Tafsīr-ul-Qurthubī, lalu dia berkata: “Bacalah, bacalah tafsir ayat ini!”

Saya pun membacanya: “Diriwayatkan bahwa syaithan pada hari itu menampakkan diri kepada mereka dalam bentuk Suraqah bin Mālik bin Ju‘syam. Dia berasal dari Bani Bakr bin Kinānah. Orang-orang Quraisy sangat takut bila Bani Bakr mengejar mereka. Sebab, mereka telah membunuh salah seorang warga Bani Bakr. Ketika dia telah menampakkan diri kepada mereka, dia lalu menyampaikan kabar yang dia katakan berasal dari Tuhan.” Adh-Dhaḥḥāk mengatakan: “Pada perang Badar, datang Iblīs dan pengikut-pengikutnya kepada mereka (kaum musyrikin) lalu membisikkan ke dalam hati mereka bahwa mereka tidak akan terkalahkan, sebab mereka berperang membela agama nenek moyang mereka.” Ibn ‘Abbās mengatakan: “Allah s.w.t. membantu Nabi-Nya, Muḥammad s.a.w., dan kaum Mu’min dengan seribu malaikat. Jibrīl membawa serta lima ratus malaikat yang mendampingi pasukan beliau di kiri dan kanan. Disebut-sebut pula bahwa Jibrīl dan pasukannya itu merupakan satu peleton yang menghadang di salah satu ujung jalan, sedang Mīkā’īl dengan limat ratus malaikat yang dipimpinnya mendampingi pasukan tersebut. Kemudian muncul Iblīs di tengah-tengah pasukan syaithan, dengan membawa bendera. Dia menampakkan diri dalam bentuk seorang laki-laki dari Bani Mudlij dan syaithan dalam sosok Suraqah bin Mālik bin Ju‘syam. Syaithan itu berkata kepada kaum musyrikin: “Hari ini tidak akan ada yang mengalahkan kalian, sebab aku mendampingi kalian.” Ketika pasukan tersebut berbaris, Abū Jahal berkata: “Tuhan, tolonglah kami dalam membela kebenaran, dan bantulah dia.” Di pihak lain Rasūlullāh s.a.w. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Tuhanku, sesungguhnya jika Engkau hancurkan pasukan ini, maka Engkau tidak akan lagi disembah di muka bumi ini untuk selama-lamanya.” Mendengar itu Jibrīl berkata: “Ambillah segenggam debu.” Maka, Rasūlullāh s.a.w. pun meraup segenggam tanah, lalu dihamburkannya ke arah kaum musyrikin, sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang mata, tenggorokan dan mulutnya tidak terkena serangan debu. Akibatnya, mereka pun lari tunggang-langgang. Kemudian Jibrīl menemui Iblīs. Ketika Jibrīl melihatnya, maka saat itu tangan Iblīs sedang menggandeng salah seorang di antara kaum musyrikin. Kemudian dia melepaskan tangannya dan lari bersama pengikut-pengikutnya. Laki-laki yang digandeng tangannya itu lalu berteriak kepadanya (Iblīs): “Wahai Suraqah, bukankah engkau telah menyatakan untuk membantu kami?” Iblīs menjawab: “Aku berlepas tangan dari kalian. Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kamu lihat.” Riwayat ini dituturkan oleh al-Baihaqī dan perawi-pewari lainnya. (331).

Jinn Muslim sahabat saya itu mengatakan: “Ini merupakan bukti bahwa Iblīs, yang termasuk kategori jinn, itu bisa menampakkan diri dalam bentuk seorang laki-laki yang memunkinkan dia bisa dilihat dan diajak berbicara. Bahkan dia menggandeng tangan manusia, dan mengikat perjanjian bersama mereka. Dalam Shaḥīḥ Muslim disebutkan adanya jinn yang menampakkan diri dalam bentuk seekor ular, dan membunuh seorang pemuda yang mencoba membunuh ular tersebut.” Karena dia menyebut-nyebut Shaḥīḥ Muslim, maka saya pun segera mengambil kitab tersebut, lalu membacanya. Di situ saya temukan bahwa Abus-Sā’ib menemui Abū Sa‘īd al-Khudrī di rumahnya. Kemudian dia menuturkan: “Ketika itu, dia (Abū Sa‘īd al-Khudrī) sedang shalat, karena itu aku duduk menunggu hingga dia menyelesaikan shalatnya. Tiba-tiba kudengar suara gemerisik di ‘urjūn (lapisan penyangga atap) rumahnya. Tiba-tiba saya melihat seekor ular. Karena itu saya berdiri dan bermaksud segera membunuhnya. Tetapi Abū Sa‘īd mengisyaratkan kepadaku agar aku tetap duduk. Aku pun kembali duduk. Ketika dia telah menyelesaikan shalatnya, dia menunjuk salah satu ruang di rumahnya, seraya berkata: “Engkau lihat kamar ini?”

Aku menjawab: “Ya”.

“Dulu di sini tinggal seorang pemuda yang baru nikah. Suatu kali kami pergi menuju Perang Khandaq bersama-sama Rasūlullāh s.a.w. Pemuda itu pun meminta idzin kepada Nabi untuk ikut berperang hingga tengah hari dan pulang untuk menemui istrinya. Suatu hari pemuda tersebut meminta idzin kepada Nabi untuk pulang ke rumahnya. Nabi s.a.w. bersabda kepadanya: “Bawalah senjatamu, sebab aku khawatir Bani Quraidhah akan mengganggumu.

Pemuda itu mengambil senjatanya, kemudian pulang. Tiba di rumah, dilihatnya istrinya sedang berdiri di antara pintu rumah dan pintu halaman. Terdorong oleh rasa cemburunya, dia segera menghambur dan mencoba menikam istrinya dengan tombak. Istrinya berteriak: “Tahan tombakmu. Masuklah, dan lihatlah apa yang menyebabkan aku keluar rumah.”

Laki-laki (pemuda) itu pun masuk, dan dilihatnya ada seekor ular besar melingkar di tempat tidur. Dia membidikkan tombaknya ke arah ular itu, dan mengenainya. Dia keluar rumah dan membiarkan ular itu tetap berada di dalam kamar. Tiba-tiba ular itu menyerang dan membelitnya. Mereka bergulat, dan entah siapa yang akan segera mati: Pemuda itu ataukah si ular.

Abū Sa‘īd al-Khudrī melanjutkan penuturannya: “Kemudian kami mendatangi Nabi s.a.w. dan menyampaikan berita tentang pemuda itu. Kami memohon kepada beliau: “Ya Rasūlullāh, mohonlah kepada Allah agar dia bisa tetap hidup bersama kita.”

Nabi s.a.w. berkata: “Sebaiknya kalian memohonkan ampunan kepada Allah untuk dia.” Sesudah itu beliau melanjutkan: “Di Madīnah terdapat jinn yang menyatakan diri telah masuk Islam. Kalau kalian melihat gelagat yang tidak baik dari mereka (jinn-jinn lain), maka panggillah dia selama tiga hari. Kalau sesudah itu ternyata membangkang, maka bunuhlah dia. Sebab, dia adalah syaithan.” (342).

“Seandainya pemuda itu menikam ular tersebut di tempat yang mematikan (sampai mati), niscaya dia tidak terkena musibah seperti itu,” kata jinn sahabat saya: “Sayangnya dia menangguhkannya. Ini merupakan peringatan dan pelajaran. Tetapi, bagaimanapun juga, hadits Muḥammad s.a.w. itu merupakan bukti tentang kemampuan jinn menampakkan diri dalam berbagai sosok.”

“Baiklah. Sekarang mari kita kembali pada persoalan kemampuan jinn untuk menampakkan diri. Sebab, aku punya interpretasi-interpretasi lain. Mari kita kembali kepada masalah kedua, atau kondisi kedua yang menyebabkan jinn bisa dilihat. Engkau mengatakan bahwa, kondisinya adalah kondisi sihir atau ketika seseorang meminum air sihir.”

“Betul, betul….. Dalam kondisi ini, jinn bisa dilihat dengan mudah.”

“Tertapi saya perlu penjelasan lebih lanjut.”

“Benar. Dengan idzin Allah, aku akan mengemukakan kepadamu beberapa hal yang tidak termaktub di kalangan kalian, dan tidak bisa diketahui kecuali dalam kondisi yang sangat, sangat khusus.”

“Semoga Allah membalas kebaikanmu dengan yang lebih baik, sebab Allah telah berfirman: Dan kamu tidak dianugerahi ilmu kecuali sedikit.”

Catatan:

  1. 33). Tafsīr-ul-Qurthubī, hlm. 2865. Ini bukan merupakan kasus yang pertama bagi Iblīs. Sebab, sebelumnya dia pernah menampakkan diri dalam bentuk seorang laki-laki dari Najd pada saat orang-orang Quraisy berkumpul di Dār-un-Nadwah, sebelum Hijrah, guna membahas persoalan yang menyangkut dari Rasūlullāh s.a.w. dan mengatur strategi untuk menghadang kepergian beliau. Iblīslah yang menyatankan agar mereka mengumpulkan pemuda-pemuda yang gagah berani dari setiap kabilah untuk mengepung Muḥammad s.a.w. dan membunuhnya berramai-ramai, sehingga penuntutan balas atas kematiannya bisa mereka pikul bersama. Ada yang mengatakan bahwa yang menyampaikan saran seperti itu adalah Abū Jahal, sedangkan Iblīs adalah “orang” pertama yang mendukungnya dengan mengatakan: “Pendapat terbaik adalah apa yang dikatakan orang ini (Abū Jahal).”
    Lihat Ibn Hisyām, Sīrat-un-Nabawiyyah, jilid II.
  2. 34). Shaḥīḥ Muslim, “Kitābu Qatl-il-Ḥayāti wa Gharabā’.” Hadits yang sama juga di-takhrīj oleh Mālik dalam al-Muwaththa’, “Kitāb-ul-Isti’dzān.” Dalam riwayat Muslim pada bab yang sama, disebutkan bahwa Abus-Sā’ib mengatakan: “Kami menemui Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a. Ketika kami sedang duduk, tiba-tiba kami mendengar suara berisik di bawah tempat tidurnya, lalu kami mencarinya, dan ternyata di situ terdapat seekor ular…..” (Kemudian dia melanjutkan penuturannya sebagaimana yang terdapat dalam hadits di atas). Dalam hadits itu dikatakan: “Di dalam rumah-rumah itu terdapat penghuni-penghuni (jinn), maka jika kamu sekalian melihat sesuatu maka usirlah tiga kali. Kalau ia pergi, biarkanlah. Tetapi jika ia membandel, maka bunuhlah. Sebab ia pasti jinn kafir.” Selanjutnya Nabi mengatakan pula: “Pergilah kalian, dan kuburkanlah sahabat kalian itu.”

    Masih menurut riwayat Muslim, dikatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Di Madīnah terdapat sekelompok jinn, dan mereka telah menyatakan diri masuk Islam. Kalau salah seorang di antara kalian melihat sesuatu (yang mencurigakan), maka mintalah ia pergi. Tetapi kalau ia tetap membandel maka bunuhlah ia. Sebab dia adalah syaithan.

    Dalam Syaraḥ-nya terhadap Shaḥīḥ Muslim, Imām an-Nawawī mengatakan bahwa al-Mazarī mengatakan: “Jangan kalian bunuh ular-ular yang ada di Madīnah, kecuali sesudah kalian mengingatkannya terlebih dulu, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. Kalau engkau sudah mengingatkan dan ia tetap membandel maka bunuhlah. Sedangkan ular-ular yang terdapat di kota selain Madīnah, yakni yang ada di tanah, rumah dan tempat-tempat tinggal, maka dianjurkan untuk membunuhnya tanpa harus terlebih dulu memberi peringatan, berdasar pengertian umum yang terdapat dalam hadits-hadits shaḥīḥ tentang perintah membunuhnya. Di dalam hadits-hadits tersebut ditegaskan: “Bunuhlah ular-ular,” dan di dalam hadits yang lain dikatakan pula: “Ada lima binatang yang boleh dibunuh, baik ketika dalam keadaan iḥrām maupun taḥallul,” salah satu di antaranya adalah ular. Di situ tidak disebut-sebut keharusan untuk mengingatkannya terlebih dulu. Dalam hadits yang menerangkan tentang ular yang keluar di Mina, dikatakan bahwa Nabi s.a.w. memerintahkan membunuhnya, tanpa menyebut-nyebut peringatan sebelumnya, dan tidak disebut-sebut pula bahwa para sahabat memberikan peringatan terlebih dulu. Para ulama mengatakan: “Maka berdasarkan hadits-hadits tersebut diperbolehkanlah membunuh ular secara umum, dengan mengkhususkan ular-ular yang ada di Madīnah, yang mesti diperingatkan terlebih dulu, berdasar hadits itu. Yakni adanya sekelompok jinn di Madīnah yang sudah masuk Islam. Sebagian ulama berpegang pada pengertian umum yang ada dalam larangan membunuh ular-ular yang ada di dalam rumah di semua negeri sebelum memberinya peringatan terlebih dulu. Sedangkan ular-ular yang tidak berada dalam rumah, boleh dibunuh tanpa diberi peringatan terlebih dulu.” Mālik mengatakan: “Boleh membunuh ular-ular yang berada di masjid.” Sementara itu, al-Qādhī al-Baqillānī mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah membunuh ular mengandung pengertian umum, sedangkan larangannya berlaku khusus atas ular-ular yang merupakan penjelasan jinn-jinn yang ada dalam rumah, kecuali al-Abtar dan Dzuth-Thifyatain. Kedua jenis ular ini boleh dibunuh dalam semua keadaan, baik ketika keduanya berada di rumah-rumah maupun di luar rumah. Sebab, kalau tidak begitu, tentunya kedua jenis ular tersebut tidak disebutkan sesudah adanya peringatan.” Selanjutnya al-Qādhī al-Baqillānī mengatakan: “Adalah merupakan kekhususan dari Nabi untuk membunuh al-Abtar dan Dzuth-Thifyatain di antara ular-ular yang menghuni rumah-rumah. Wallāhu A‘lam.” Sedangkan bentuk peringatan yang harus diberikan adalah sebagai berikut: al-Qādhī al-Baqillānī mengatakan: Ibn Ḥabīb meriwayatkan dari Nabi s.a.w., bahwasanya beliau berkata: “Aku ingatkan kalian dengan janji yang telah kalian buat bersama Sulaimān bin Dāwūd bahwa kalian tidak akan menyakiti kami dan tidak pula memperlihatkan diri kepada kami.” Sementara itu, Mālik mengatakan: “Cukuplah jika dikatakan kepadanya: “Aku ancam engkau dengan nama Allah dan hari akhir, hendaknya engkau tidak memperlihatkan diri kepadaku, dan jangan pula menggangguku.” Barang kali Mālik mengambil lafal: “Aku ancam” yang terdapat dalam hadits terdahulu, sebagai dasar bagi peringatan tersebut, yang terdapat dalam Shaḥīḥ Muslim yang berbunyi: “Dan peringatkanlah mereka tiga kali.” Wallāhu A‘lam.
    Lihat Shaḥīḥ Muslim bi Syarḥ-in-Nawawī, Juz V, hlm. 230.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *