Mandirilah dari Sesama, Berbagilah dengan Mereka – Syaikh ‘Abd-ul-Qadir al-Jailani – Agar Rezeki yang Mencarimu (1/3)

Rangkaian Pos: Mandirilah dari Sesama - Berbagilah dengan Mereka - Syaikh 'Abd-ul-Qadir al-Jailani - Agar Rezeki yang Mencarimu

“Saat diberi kekayaan dan kesuksesan kita diberi tuntunan. Demikian pula saat kita kekurangan dan terpuruk. Orang yang beriman akan tetap mementingkan kemandirian dan bahkan selalu berusaha berbagi dengan sesama. Inilah inti pesan dari salah satu wejangan Syaikh ‘Abd-ul-Qādir al-Jailānī dalam salah satu bab kitab al-Faidh-ur-Rabbānī wal-Faidh-ur-Raḥmānī. Selengkapnya mari kita ikuti.

10

MANDIRILAH dari SESAMA, BERBAGILAH dengan MEREKA.

‘Abd-ul-Qādir al-Jailānī (470-561 H).

 

Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa tumbuh besar dengan orang kaya demi mendapatkan hartanya, hilanglah sepertiga agamanya.

Dengarlah, wahai orang-orang munafik. Ini baru tentang orang yang tumbuh besar dengan orang-orang kaya, lalu bagaimana dengan orang yang shalat, puasa, dan haji demi mereka, dan mengemis di depan mereka. Wahai orang-orang yang menyekutukan Allah, tidak ada kabar baik untuk kalian dari Allah dan Rasūl-Nya. Berislamlah, bertobatlah, dan ikhlash dalam bertobat hingga murni imanmu, berkembang keyakinanmu, dan tumbuh terus tauhidmu sampai dahan-dahannya membumbung tinggi.

Wahai anak muda, jika tumbuh tinggi imanmu, Allah akan mencukupimu – dari dirimu sendiri dan orang lain; mencukupimu dari usahamu dan hasil yang kau peroleh. Allah membuat diri, hati, dan batinmu puas; menghentikanmu di pintu-Nya; dan mencukupi kebutuhanmu dengan dzikir kepada-Nya, kedekatan dengan-Nya, dan kemesraan dengan-Nya. Dan janganlah engkau peduli dengan orang yang memakan dari dunia dan sibuk dengan dunia. Janganlah engkau peduli dengan orang yang memiliki dunia sehingga engkau ingin mendapatkan belas kasih, dana, dan perlindungannya.

Wahai orang yang meninggalkan ilmu dan mencari dunia dari para pengumpulnya, serta menghinakan diri kepada mereka, Allah telah menyesatkanmu padahal engkau berilmu, sehingga lenyaplah keberkahan ilmumu; lenyaplah isinya dan tersisalah kulitnya. Dan engkau, hai orang yang meninggalkan ibadah dan hatinya menyembah makhluk, menakuti dan berharap pada makhluk, ibadahmu tampak untuk Allah padahal sejatinya untuk makhluk. Setiap kali engkau berupaya mencari dan mencemaskan perak, emas, dan remah-remah yang ada di tangan mereka, engkau berharap mendapat pujian dan sanjungan dari mereka, dan takut mereka marah kepadamu dan berpaling darimu, engkau takut tidak mereka beri dan berharap mereka mau memberi seiring seringnya engkau bersikap tekun, merayu, dan berkata lembut di hadapan mereka.

Duh, celakalah engkau, Engkau musyrik, munafik, orang riyā’, dan zindik. Celaka engkau karena tindakanmu membagus-baguskan diri, padahal Allah “mengetahui (padangan) mata yang berkhianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.” (Ghāfir [40]: 19)

Celakalah engkau. Engkau menjalankan shalat dan mengatakan: “Allāhu akbar” (Allah lebih besar) padahal engkau berdusta. Makhluklah yang lebih besar di hatimu daripada Allah. Bertobatlah kepada Allah dan janganlah engkau berbuat kebaikan karena selain-Nya, tidak karena dunia ataupun karena akhirat. Jadilah termasuk orang yang mendambakan Wajah-Nya. Berilah Tuhan hak-Nya. Janganlah engkau berbuat karena pujian atau sanjungan, tidak karena diberi ataupun dilarang.

Duh, celaka engkau. Rezekimu tidaklah bertambah dan tidak pula berkurang. Apa pun kebaikan dan keburukan yang telah ditetapkan atasmu, pastilah akan terjadi. Maka janganlah engkau menyibukkan diri dengan sesuatu yang tak berguna untuk mengingat-Nya, dan sibukkanlah diri dengan ketaatan kepada-Nya. Kurangi kerakusanmu dan batasi angan-anganmu. Dan jadikanlah kematian selalu dalam ingatan, sehingga engkau selamat. Selaraskan dirimu dengan syariat dalam semua keadaan.

Wahai kaumku, masihkah kalian menjalankan syariat – syariat yang terkadang kalian tinggalkan lahir dan batin, sementara kalian mengikuti hawa nafsu dan tak mampu menyadari kebaikan Allah kepada kalian hari demi hari. Allah sekarang menahan ‘adzab dan siksa untuk kalian, namun di akhirat akan menimpakannya pada kalian dari segala penjuru. Lalu maut pun merenggutmu, mendatangimu, dan engkau pun masuk kubur, sehingga engkau merasakan sempit dan ‘adzabnya, demikian terus sampai hari kiamat. Kemudian jasadmu dikembalikan kepadamu lalu engkau digiring ke parade akbar lalu dihisab hatta atas hal yang kecil-kecil dan segala yang engkau kerjakan untuk mengisi waktumu. Engkau ditanya soal yang sedikit dan banyak. Engkau ini ibarat raga tak bernyawa, tak bermakna dan tak berdaya. Engkau hanya pantas untuk masuk neraka. Yang engkau lakukan hanya melelahkanmu saja. Engkau termasuk orang yang bersusah-payah dan keletihan (‘āmilatun nāshibah [al-Ghāsyiyah [88]: 3), bersusah-payah di dunia lalu letih di neraka saat hari pembalasan, kecuali engkau bertobat dan insyaf sebelum maut menjemput.

Kembalilah kepada Allah dengan memperbarui keislaman, membaguskan tobat dan ikhlas dalam bertobat sebelum maut menjemput – saat tertutup pintu bagimu sehingga engkau tak mampu memasuki pinta tobat itu. Kembalilah kepada-Nya dengan sepenuh hati hingga tak tertutup bagimu pintu karunia-Nya.

Duh, engkau ini tak tahu malu sama Allah. Engkau telah jadikan uangmu sebagai tuhanmu dan tumpuan perhatianmu, dan engkau melupakan-Nya sama sekali. Dalam waktu dekat engkau akan tahu bagaimana kesudahanmu.

Gunakanlah usaha-bisnis dan hartamu demi mencukupi keluargamu atas perintah syariat, sementara hatimu terus bertawakal kepada Allah ‘azza wa jalla. Carilah rezekimu dan rezeki mereka dari-Nya, bukan dari harta dan usaha, sehingga Allah mengalirkan rezekimu dan rezeki mereka lewat tanganmu, dan menjadikan karunia-Nya, kedekatan dan kemesraan dengan-Nya, cukup bagimu. Allah mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia kehendaki, dan dengan cara yang Dia kehendaki. Dan akan dibisikkan ke hatimu bahwa yang ini untukmu dan yang ini untuk keluargamu. Bagaimana bisa engkau mencapai hal ini sementara sepanjang umurmu engkau menyekutukan-Nya, terhijab dan jauh dari-Nya?

Engkau tak kenyang-kenyang dengan dunia dan usaha mengumpulkannya. Kuncilah pintu hatimu dan halangilah semua untuk memasukinya. Cukuplah isi hatimu dengan ingatan kepada Allah. Langsunglah bertobat secara terus-menerus lantaran perbuatanmu. Menyesallah terus-menerus lantaran engkau sudah menjauh dan beradab buruk. Perbanyaklah menangis atas apa yang telah engkau lakukan. Tolonglah orang-orang fakir dengan hartamu, dan jangan engkau kikir. Tak akan lama lagi engkau pun akan berpisah dari hartamu. Orang beriman yang yakin akan adanya balasan di dunia dan akhirat tak akan pelit.

Diriwayatkan dari ‘Īsā a.s. bahwa ia berkata kepada Iblīs: “Siapa orang yang paling engkau senangi?” Iblīs menjawab: “Orang mukmin yang bakhil.”

“Dan siapa yang paling tak engkau senangi?”

“Orang fasik yang dermawan.”

“Mengapa bisa begitu?”

“Karena sebenarnya saya berharap orang mukmin yang bakhil bisa tergelincir dalam maksiat dengan kebakhilannya, dan sayat takut kalau orang fasik yang dermawan bisa terhapus keburukan-keburukannya dengan kedermawanannya.”

Apakah engkau sibuk dengan dunia untuk dunia? Disyariatkannya berusaha sebenarnya adalah untuk menunjang ketaatan kepada Allah, sementara engkau, jika engkau tinggalkan shalat dan perbuatan baik, dan engkau tidak keluarkan zakat, maka engkau itu dalam kemaksiatan bukan dalam ketaatan. Jadinya usahamu pun seperti tindakan perampokan. Dalam waktu tak lama lagi akan datang kematian lalu bergembiralah orang beriman dan bersedihlah orang kafir dan munafik. Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Jika meninggal orang beriman, ia akan berangan-angan ia tak ada di dunia dan tak ada di hari kiamat karena menyadari kebaikan Allah ‘azza wa jalla kepadanya.”