Abū ‘Abdillāh al-Radhdhā’ di dalam kitab Tuḥfat-ul-Akhyār mengatakan bahwa, banyak sekali atsar yang disebutkan oleh sebagian ‘ulamā’ yang menyatakan bahwa shalawat atas Nabi s.a.w. itu lebih utama dari sedekah fardhu dan sunnah.
Pernah seorang ‘ulamā’ dari Damaskus ditanya, apakah shalawat atas Nabi s.a.w. itu lebih utama dari sedekah fardhu, atau sebaliknya? Beliau menjawab: “Shalawat lebih utama.” Lalu ditanya: “Apa alasannya?” Ia menjawab: “Suatu kewajiban yang dikerjakan Allah sendiri, dan dilakukan pula oleh para malaikat-Nya, serta diperintahkan-Nya kepada hamba-hambaNya, tentu tidak sama dengan kewajiban yang hanya diwajibkan-Nya atas hamba-hambaNya saja.”
Pernyataan ‘ulamā’ ini dinukil oleh as-Sakhawī di dalam kitab al-Qaul-ul-Badī‘, dan diakuinya.
Al-Khirzī berkata: “Membaca shalawat atas Nabi s.a.w. pada tempat-tempat yang ada nash supaya dibacakan shalawat di situ, adalah lebih utama daripada membaca al-Qur’ān. Sedangkan pada tempat-tempat lainnya, membaca al-Qur’ān lebih utama.”
Seyogianya diperbanyak membaca al-Qur’ān dan shalawat atas Nabi s.a.w., dan tidaklah melalaikan itu kecuali orang yang bernasib buruk.
Di dalam kitab Syarḥ-ul-‘Ubāb, Ibnu Ḥajar berkata: “Tilāwah al-Qur’ān itu adalah dzikir umum yang tidak tertentu dengan waktu atau tempat. Adapun yang ditentukan dengan nash walau dengan jalan yang lemah (dha‘īf), maka ia adalah lebih utama karena adanya nash tersebut.”
Dan beliau menyatakan pula di dalam Ḥāsyiatu Idhāḥ-il-Manāsik mengomentari ucapan Imām Nawawī yang berkata: “Jika seseorang menuju ke Madīnah untuk berziarah ke maqam Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan baginya memperbanyak mengucapkan shalawat dan salam kepada baginda s.a.w. selama dalam perjalanannya itu. Dan jika pepohonan atau bangunan kota Madīnah telah kelihatan olehnya, maka hendaknya bertambah pula ia membaca shalawat dan salam itu, sambil memohon kepada Allah agar ziarahnya itu dijadikan-Nya bermanfaat buat dirinya dan diterima-Nya. Begitu juga pada malam Jum‘at atau pada tempat-tempat dan waktu-waktu yang dituntut agar memperbanyak membaca shalawat dan salam kepada Rasūlullāh s.a.w.” Ibnu Ḥajar berkata: “Yang jelas, membanyakkan pembacaan shalawat dan salam pada tempat-tempat dan waktu-waktu tersebut lebih utama daripada membaca al-Qur’ān, sebab itu dituntut pada tempat tertentu.”
Para ‘ulamā’ berkata: “Membaca al-Qur’ān itu lebih utama dari dzikir, yang dimaksud adalah dzikir yang belum ditentukan, sedangkan yang sudah ditentukan, maka dzikir itulah yang lebih utama.”
Dan Syaikh at-Tījānī, seperti yang dinukil oleh muridnya Harāzimī di dalam kitab Jawāhir-ul-Ma‘ānī, mengemukakan sebuah hadits dari Nabi s.a.w., bahwa Jibrīl ‘alaih-is-salām telah memberitahukan kepadanya bahwa Allah ‘azza wa jalla telah berfirman:
“Barang siapa mengucapkan shalawat atasmu, maka Aku pun bershalawat atasnya.”
lalu beliau s.a.w. bersabda:
“Pasti orang yang diberi shalawat oleh Allah itu tidak akan disiksa-Nya dengan api neraka.”
Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, shalawat atas Nabi s.a.w. itu jika diucapkan oleh seorang fāsiq (durhaka) adalah lebih baik baginya daripada membaca al-Qur’ān, sebab shalawat tadi dapat menjadi syāfi‘ (pembari syafā‘at) baginya dalam mencari keridhaan Tuhan, dan dalam menghapus dosa-dosanya, serta memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang yang beruntung di akhirat. Lain halnya dengan membaca al-Qur’ān, sekalipun ia lebih utama dari shalawat atas Nabi s.a.w., namun ia merupakan tempat yang dekat dengan hadirat Ilahi, dan tidak halal bagi orang yang menuntutnya untuk melakukan adab yang buruk, karena itu orang yang pada hakekatnya seorang fāsiq (durhaka) yang layak mendapat kutukan dan pengusiran dari Allah, betapa akan mendapat pahala atas bacaannya itu? Oleh karena itu, bagi orang yang memiliki sifat demikian ini, pembacaan shalawat itu lebih baik baginya daripada membaca al-Qur’ān, sampai Allah mengidzinkan baginya keluar dari kedurhakaan dan kesesatannya itu.
Ketika Syihāb Ramlī ditanya: mana yang lebih utama antara membaca shalawat dan istighfār, beliau menjawab: “Menyibukkan diri dengan membaca shalawat dan salam atas Nabi s.a.w. itu lebih utama daripada membaca istighfār.”
Imām Bukhārī raḥimahullāh menyatakan di dalam Kitāb Shaḥīḥ-nya pada bagian at-Tafsīr: “Abul-‘Āliyah berkata: “Maksud shalawat dari Allah itu adalah sanjungan Allah terhadap baginda Nabi s.a.w. di hadapan para malaikat-Nya. Sedangkan shalawat malaikat itu adalah doa”.” Ibnu ‘Abbās r.a. berkata: Yushallūna ‘Alayya, artinya: Yubarrikūn.
Kemudian beliau (Imām Bukhārī) menyebutkan sanadnya dari Ka‘ab bin ‘Ajrah r.a.: “Dikatakan: “Ya Rasūlallāh, salam kepada Tuan telah kami ketahui, namun bagaimana dengan shalawat?” Rasūlullāh menjawab: “Katakanlah oleh kalian: Allāhumma Shalli ‘alā Muḥammadin wa āli Muḥammad.”
Dan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a.: “Ya Rasūlallāh, ini adalah salam, namun bagaimana kami mengucapkan shalawat kepada Tuan?” Rasūlullāh menjawab: “Katakanlah oleh kalian: Allāhumma Shalli ‘alā Muḥammadin wa āli Muḥammad.”
Al-‘Ārif ash-Shāwī berkata di dalam Ḥāsyiyah-nya atas tafsir Jalālain mengenai tafsir ayat 56 dari Surah al-Aḥzāb itu sebagai berikut:
“Di dalam ayat tersebut tersirat satu dalil yang sangat besar, bahwa Rasūlallāh s.a.w. adalah tempat curahan rahmat dan makhluq yang paling utama secara mutlak. Sebab, shalawat dari Allah adalah rahmat-Nya yang disertai ta‘zhīm, sedangkan shalawat dari Allah kepada selain baginda Nabi s.a.w. itu hanya rahmat semata, berdasarkan firman Allah:
هُوَ الَّذِيْ يُصَلِّيْ عَلَيْكُمْ وَ مَلآئِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَ كَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا
“Dia-lah Yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang).” (Q.S. al-Aḥzāb [33]: 43).
“Perhatikanlah perbedaan antara kedua shalawat tersebut dan keutamaan antara kedua kedudukan itu. Shalawat dari malaikat adalah doa untuk Nabi dengan cara yang khusus, dan itu pun termasuk rahmat yang disertai ta‘zhīm. Dengan demikian, bertambah rahmat Nabi, yang kesemuanya itu mengikuti rahmat Allah. Maka baginda s.a.w. pun lantas menjadi tempat turunnya rahmat dan sumber tajallī.
Dan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ.
“Hai orang-orang yang beriman, ber-shalawat-lah kamu untuk Nabi.” (Q.S. al-Aḥzāb [33]: 56).
maksudnya: doakanlah ia dengan doa yang sesuai dengan derajatnya.
“Hikmat shalawat malaikat dan kaum mu’minin itu adalah untuk memuliakan mereka dengan shalawat itu, di mana mereka telah mengikuti apa yang dilakukan Allah s.w.t., dan untuk menampakkan kebesaran Nabi s.a.w., serta untuk membalas sebagian hak-haknya atas makhluq. Sebab, beliau s.a.w. adalah perantara yang terbesar dalam setiap keni‘matan yang sampai kepada mereka. Dan sudah sewajarnya bila seseorang menerima suatu keni‘matan dari orang lain, ia harus membalasnya. Dus (jadi), fungsi shalawat dari makhluq kepada baginda s.a.w. itu adalah sebagai balas jasa bagi sebagian hak-hak Nabi s.a.w. yang wajib mereka balas.”
Qādhī ‘Iyādh berkata: “Seluruh ‘ulamā’ telah sepakat, bahwa ayat ini menunjukkan pengagungan dan pujian terhadap Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada selain beliau.”
Dan al-Ḥāfizh as-Sakhāwī berkata: “Ayat ini adalah “madaniyyah”; dan maksud ayat ini adalah bahwa Allah s.w.t. memberitahukan kepada hamba-hambaNya tentang kedudukan Nabi-Nya s.a.w. di sisi-Nya kepada alam ‘uluwī (alam malaikat), dan kemudian para malaikat itu menyanjung dan mendoakan beliau. Kemudian Allah memerintahkan kepada alam suflā (alam manusia/jinn) agar memberikan shalawat dan salam kepada beliau supaya terkumpul sanjungan dan pujian kepada Nabi s.a.w. dari penghuni kedua alam tersebut.”
Selanjutnya beliau berkata: “Dan ayat itu memakai sighat mudhāri‘ (bentuk kini dan akan datang) yang menunjukkan sesuatu yang berkesinambungan dan terus-menerus, untuk menunjukkan bahwa, Allah s.w.t. dan seluruh malaikat-Nya selalu dan selamanya ber-shalawat kepada Nabi s.a.w.”
Imām Sahl bin Muḥammad bin Sulaimān berkata: “Kemuliaan yang diberikan Allah s.w.t. kepada Nabi Muḥammad s.a.w. dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya, memberikan shalawat kepada Nabi,” adalah lebih sempurna daripada kemuliaan yang diberikan-Nya kepada Nabi Ādam ‘alaih-is-salām dengan menyuruh para malaikat untuk bersujud kepadanya. Karena, tidak mungkin Allah akan melakukan penghormatan ini bersama para malaikat-Nya. Allah telah memberitahukan tentang diri-Nya yang telah ber-shalawat atas Nabi s.a.w., kemudian para malaikat-Nya yang juga ber-shalawat atas beliau s.a.w. Dus (jadi), penghormatan yang muncul dari Allah s.w.t. tentu lebih sempurna daripada penghormatan yang hanya dilakukan oleh para malaikat sendiri, tanpa Allah ikut serta bersama mereka.”
Dalam tafsir Fakhr-ur-Rāzī disebutkan: “Jika dikatakan bahwa, apabila Allah s.w.t. dan para malaikat-Nya telah memberikan shalawat kepada Nabi s.a.w., maka apa perlunya lagi kita ber-shalawat? Kami berkata: “Shalawat atas Nabi itu bukan karena beliau membutuhkannya, bahkan shalawat para malaikat pun tidak dibutuhkannya setelah adanya shalawat dari Allah kepadanya itu. Namun, itu adalah untuk menampakkan kebesaran Nabi s.a.w., sebagaimana Allah telah mewajibkan atas kita ber-dzikir menyebut nama-Nya, padahal pasti Dia tidak membutuhkan kepada itu semua, namun itu adalah untuk menampakkan kebesaran-Nya dan sebagai belas-kasihan kepada kita supaya dengan adanya dzikir itu, Dia beri kita pahala.”
Jika anda telah mengetahui semuanya itu, maka hendaklah anda jadikan shalawat anda kepada Rasūlullāh s.a.w. itu sebagaimana diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada anda. Dengan demikian, akan menjadi besarlah bagian anda di sisi-Nya. Dan hendaklah pula anda memperbanyak mengucapkan shalawat serta menekuninya. Sebab, banyak membaca shalawat itu menunjukkan kecintaan, karena bila seseorang mencintai sesuatu tentu ia akan banyak menyebutnya. Dalam hadits disebutkan:
“Tidaklah sempurna iman seseorang sampai aku lebih ia cintai melebihi kecintaannya kepada orangtuannya, anak-anaknya dan manusia semuanya.”
Al-Ḥāfizh as-Sakhawī juga berkata: “Allah telah mengibaratkan sebutan Rasūlullāh s.a.w. dengan “nabiy” (yushalli ‘alan-nabiy) dan bukan dengan sebutan namanya (yushalli ‘alā muḥammad), seperti yang dilakukan-Nya terhadap para nabi lainnya, ‘alaihim-us-salām. Misalnya, kepada Nabi Ādam ‘alaih-is-salām,
kepada Nabi Nūḥ ‘alaih-is-salām;
kepada Nabi Ibrāhīm ‘alaih-is-salām;
kepada Nabi Dāūd ‘alaih-is-salām;
kepada Nabi ‘Īsā ‘alaih-is-salām;
kepada Nabi Zakariyyā ‘alaih-is-salām;
kepada Nabi Yaḥyā ‘alaih-is-salām;
dan lain-lain, karena kemuliaan yang dikhususkan Allah buat Muḥammad s.a.w. di atas para nabi dan rasūl pilihan. Dan ketika Allah menyebutkan Nabi kita s.a.w. bersamaan dengan Nabi Ibrāhīm a.s. dalam satu ayat, maka Allah menyebut Nabi Ibrāhīm dengan namanya, sedangkan nabi kita disebut-Nya dengan laqab (gelar)-nya saja, yakni firman Allah:
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيْمَ لَّلَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ وَ هذَا النَّبِيُّ.
“Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrāhīm ialah orang-orang yang mengikutinya, dan Nabi ini (Muḥammad s.a.w.).” (Q.S. Āli ‘Imrān [3]: 68).
“Inilah suatu kemuliaan yang sangat besar, yang hanya dimiliki oleh Nabi kita shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Shalawat atas Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam itu disyari‘atkan pada waktu-waktu, tempat-tempat dan keadaan-keadaan tertentu. Hal ini telah dibicarakan panjang lebar oleh Ibnu Qayyim di dalam kitab Jilā’-ul-Ashamm, dan Syaikh Islām Quthb-ud-Dīn al-Ḥaidharī asy-Syāfi‘ī di dalam kitab al-Liwā’-ul-Mu‘allim bi Mawāthin-ish-Shalāti ‘alan-Nabi s.a.w., dan al-Ḥāfizh as-Sakhāwī di dalam kitab al-Qaul-ul-Badī‘, serta al-Qasthallānī di dalam kitab Masālik-ul-Ḥunafā’.
Karena al-Qasthallānī itu termasuk ‘ulamā’ muta’akhkhir, maka kami pilih ringkasan yang terdapat di dalam kitabnya: “…..utama dalam seminggu, dan termasuk hari yang mulia.”
Dan al-Khathīb di dalam kitab Syarḥ-ul-Minhāj, dan yang lainnya, berkata: “Disunnahkan memperbanyak membaca Surah al-Kahfi dan shalawat atas Nabi s.a.w. pada siang Jum‘at dan malam Jum‘at. Paling sedikit untuk yang pertama tiga kali, dan untuk yang kedua tiga ratus kali.”
Dan telah sah riwayat yang bersumber dari Imām Syāfi‘ī r.a., yang mengatakn bahwa: “Barang siapa membaca Surah al-Kahfi itu pada siang Jum‘at, maka akan diterangi oleh cahaya di antara dua Jum‘at.”
Dan diriwayatkan pula bahwa barang siapa membaca Surah al-Kahfi itu pada malam Jum‘at maka ia akan diterangi oleh suatu cahaya antara dirinya dan Ka‘bah.
Membaca Surah al-Kahfi di waktu siang itu lebih diutamakan dan lebih utama lagi bila ia dibaca sesudah selesai mengerjakan shalat Shubuḥ, guna menyegerakan berbuat baik sebisa-bisanya.
Adapun hikmat diperintahkannya membaca Surah al-Kahfi pada hari Jum‘at itu adalah karena di dalam Surah itu Allah menggambarkan suasana Hari Kiamat, dan hari Jum‘at itu mirip dengan Hari Kiamat, di mana orang banyak berkumpul untuk melaksanakan shalat bersama-sama. Dan juga karena Hari Kiamat itu terjadi pada hari Jum‘at, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shaḥīḥ-nya.
Kemudian Ramlī berkata: “Anjuran supaya memperbanyak pembacaan shalawat pada malam dan siang Jum‘at itu didasarkan pada hadits yang berbunyi:
“Sesungguhnya hari kamu yang paling utama itu adalah hari Jum‘at, maka perbanyaklah olehmu membaca shalawat atasku, sebab shalawat yang kamu baca itu diperlihatkan kepadaku”.”
Al-Munāwī, di dalam kitab Syarḥ-ul-Jāmi‘-ish-Shaghīr, permulaan jilid III, sesudah sabda Nabi s.a.w. yang berbunyi:
“Sesungguhnya semua amal itu diangkat pada hari Senin dan hari Kamis, karena itu aku ingin amalku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa.”
ia berkata: “Disyarī‘atkan berkumpul untuk membaca shalawat atas Nabi s.a.w. pada malam Jum‘at dan malam Senin, sebagaimana yang dikerjakan di masjid Jāmi‘-ul-Azhār, dan disuarakan dengan suara yang keras.”
Dikatakan bahwa, shalawat atas Nabi s.a.w. itu sudah mencakup doa di dalamnya.
Ibnu Marzūq berkata: “Malam Jum‘at lebih utama dari malam Qadar (lailat-ul-qadar).”
Dan Jamāl kembali menyatakan: “Disunnahkan membaca Surah Āli ‘Imrān atas dasar hadits:
“Barang siapa membaca Surah Āli ‘Imrān pada siang Jum‘at niscaya dosa-dosanya ikut terbenam dengan tenggelamnya matahari pada hari itu.”
“Hikmahnya adalah karena Allah menyebutkan di dalam Surah itu penciptaan Nabi Ādam ‘alaih-is-salām, sedang Ādam a.s. diciptakan pada hari Jum‘at.”
Juga disunnahkan membaca Surah Hūd dan Ḥā Mīm Dukhān. Namun bagi mereka yang hanya ingin memilih salah satu dari Surah-surah yang disebutkan di atas, maka hendaklah ia memilih Surah al-Kahfi, disebabkan oleh banyaknya hadits yang meriwayatkannya.