Madarijus Salikin – Bagian Tentang Dzikir

Dari Kitab:
Pendakian Menuju Allah
(Judul Asli: Madārij-us-Sālikīn)
Oleh: Imam Ibni Qayyim al-Jauziyyah

Penerjemah: Kathur Suhardi
Penerbit: Pustaka al-Kautsar

BAB II
Bagian 30

Dzikir

Dzikir (mengingat Allah dengan hati dan menyebut-Nya dengan lisan) merupakan tempat persinggahan orang-orang yang agung, yang di sanalah mereka membekali diri, berniaga dan ke sanalah mereka pulang kembali.

Dzikir merupakan santapan hati, yang jika tidak mendapatkannya, maka badan menjadi seperti kuburan dan mati. Dzikir merupakan senjata yang digunakan untuk menghadapi para perampok jalanan, merupakan air yang bisa menghilangkan rasa dahaga di tengah perjalanan, merupakan obat yang menyembuhkan penyakit. Jika mereka tidak mendapatkannya, maka hati mereka akan mengkerut, karena dzikir merupakan perantara dan penghubung antara diri mereka dengan alam gaib. Dengan dzikir mereka menolak bencana dan menyingkirkan kesusahan, sehingga musibah yang menimpa mereka terasa remeh. Jika ada bencana yang datang, maka mereka berlindung kepada dzikir. Yang pasti dzikir merupakan taman surga yang mereka diami dan modal kebahagiaan yang mereka pergunakan untuk berniaga. Dzikir mengajak hati yang dirundung kepiluan untuk tersenyum gembira dan menghantarkan pelakunya kepada Dzat yang didzikiri, dan bahkan membuat pelakunya menjadi orang yang seakan tidak layak untuk diingat.

Dalam setiap anggota tubuh ada ubudiyah yang dilakukan secara temporal. Sedangkan dzikir merupakan ubudiyah hati dan lisan yang tidak mengenal batasan waktu. Mereka diperintahkan untuk mengingat sesembahan dan kekasihnya dalam keadaan seperti apa pun, saat berdiri, duduk,telentang. Seakan-akan surga itu merupakan kebun dan dzikir adalah tanamannya. Begitu pula hati yang bisa diibaratkan bangunan yang kosong, maka dzikirlah yang membuat bangunan itu semarak.

Dzikir adalah pembersih dan pengasah hati serta obatnya jika hati itu sakit. Selagi orang yang berdzikir semakin tenggelam dalam dzikir-nya, maka cinta dan kerinduannya semakin terpupuk terhadap Dzat yang diingat. Jika ada keselarasan antara hati dan lisan, maka pelakunya akan lalai terhadap segala sesuatu. Sebagai gantinya, Allah akan menjaganya dari segala sesuatu. Dengan dzikir, pendengaran menjadi terbuka, lisan tidak kelu dan kegelapan menyingkir dari pandangan. Dengan dzikir ini Allah menghiasi lisan orang-orang yang berdzikir, sebagaimana Dia menghiasi pandangan orang-orang yang bisa memandang dengan cahaya. Lisan yang lalai seperti mata yang buta, telinga yang tuli dan tangan yang buntung. Dzikir merupakan pintu Allah yang paling lebar dan besar, terbuka di antara Allah dan hamba-Nya, selagi pintu itu tidak ditutup sendiri oleh hamba dengan kelalaiannya.

Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Carilah kemanisan dalam tiga perkara: Dalam shalat, dalam dzikir dan membaca Al-Qur’an. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka ketahuilah bahwa pintunya dalam keadaan tertutup.”

Dengan dzikir, hamba bisa mengalahkan syetan, sebagaimana syetan yang dapat mengalahkan orang-orang yang lalai dan lupa diri. Di antara orang salaf ada yang berkata: “Jika dzikir ada di dalam hati, lalu syetan mendekatinya, maka dia langsung kalah, sebagaimana manusia yang dikalahkan syetan jika syetan mendekatinya. Dalam keadaan kalah ini syetan-syetan berkerumun di sekelilingnya. Di antara mereka bertanya, ‘Ada apa dengan orang ini?’ Yang lain menjawab: ‘Dia sedang gila’.”

Dzikir merupakan ruh amal-amal yang shalih. Jika amal terlepas dari dzikir, maka amal itu seperti badan yang tidak memiliki ruh. Di dalam Al-Qur’an disebutkan sepuluh versi dalam hubungannya dengan dzikir, yaitu:

  1. Perintah dzikir secara terbatas dan tidak terbatas.

  2. Larangan kebalikannya, yaitu lupa dan lalai.

  3. Keberuntungan yang bergantung kepada banyaknya dzikir dan kontinyuitasnya.

  4. Pujian terhadap para pelakunya dan pengabaran tentang surga dan ampunan yang dijanjikan Allah bagi mereka.

  5. Pengabaran tentang kerugian yang mengabaikan dzikir dan sibuk dengan selainnya.

  6. Allah mengingat orang-orang yang mengingat-Nya sebagai balasan bagi mereka.

  7. Pengabaran bahwa dzikir lebih besar dari segala sesuatu.

  8. Allah menjadikan dzikir sebagai penutup amal-amal yang shalih dan sekaligus sebagai kuncinya.

  9. Pengabaran tentang para pelakunya, bahwa mereka adalah orangorang yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah dan merekalah orang-orang yang berakal.

  10. Allah menjadikan dzikir sebagai pendamping segala amal yang shalih dan ruhnya. Jika amal tidak disertai dzikir, maka ia seperti jasad tanpa ruh.

Perintah dzikir seperti yang disebutkan dalam firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut tiama) Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan, bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepada kalian dan malaikat-Nya (memohon ampunan untuk kalian), supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan, adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab: 41-43).

“Dan, sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut” (Al-A’raf: 205).

Di sini ada dua pendapat: Pertama, berdzikir di dalam hatimu dan sembunyi-sembunyi. Kedua, dengan lisan, sehingga engkau pun bisa mendengarnya.

Larangan kebalikan dzikir, yaitu lalai, seperti firman Allah:
“Dan, janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf:205).
“Dan, janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah,lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”(Al-Hasyr: 19).

Tentang keberuntungan yang bergantung kepada banyaknya dzikir dan kontinyuitasnya, seperti firman Allah:
“Dan, sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung(Al-Anfal:45)

Pujian terhadap para pelakunya dan kebaikan pahala mereka, seperti firman Allah:
“… dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah,Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. “(Al-Ahzab: 35).

Kerugian orang yang mengabaikan dan melalaikan dzikir, seperti firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Munafiqun: 9).

Allah mengingat orang-orang yang mengingat-Nya sebagai balasan bagi mereka, seperti firman-Nya:
“Karena itu ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152).

Pengabaran bahwa dzikir lebih besar dari segala sesuatu, seperti firman-Nya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar.” (Al-Ankabut: 45).

Ada tiga pendapat tentang makna lebih besar di sini, yaitu:

  • Mengingat Allah lebih besar dari segala sesuatu dan merupakan ketaatan yang paling utama. Sebab maksud dari seluruh ketaatan adalah menegakkan dzikir kepada Allah, sehingga dzikir ini merupakan rahasia dan ruh ketaatan.
  • Maknanya, jika kalian mengingat Allah, maka Dia mengingat kalian. Sementara pengingatan Allah terhadap kalian lebih besar daripada pengingatan kalian kepada-Nya.

  • Mengingat Allah itu lebih besar daripada membiarkan kekejian dan kemungkaran. Bahkan jika dzikir ini lebih sempurna, maka dzikir itu bisa menghapus segala kesalahan dan kedurhakaan. Begitulah yang disebutkan para mufasir.

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Makna ayat ini, bahwa di dalam shalat terkandung dua faedah yang amat besar, yaitu: Fungsi shalat itu yang bisa mencegah kekejian dan kemungkaran,kandungan shalat itu terhadap dzikir kepada Allah. Kandungan dzikir ini lebih besar daripada fungsi pencegahannya terhadap kekejian dan kemungkaran.”

Penutup amal-amal yang shalih ialah dengan dzikir, seperti dzikir sebagai penutup puasa. Firman-Nya:
“Dan, hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.” (Al-Baqarah: 185).

Dzikir sebagai penutup haji, seperti firman-Nya:
“Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu.” (Al-Baqarah: 200).

Dzikir sebagai penutup shalat, seperti firman-Nya:
“Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (An-Nisa’:103).

Dzikir sebagai penutup shalat Jum’at, seperti firman-Nya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10).

Tentang pengkhususan orang-orang yang berdzikir, yang bisa mengambil manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat Allah, sehingga mereka disebut pula orang-orang yang berakal, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (Ali-Imran: 190-191).

Tentang dzikir yang berfungsi sebagai pendamping segala amal dan sekaligus merupakan ruhnya, seperti firman Allah yang menyertakan dzikir dengan shalat:
“Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14).

Allah menyertakan dzikir dengan puasa, haji dan amal-amal lainnya, dan bahkan menjadikan dzikir ini sebagai ruh haji dan intinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya thawaf di sekeliling Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah. dan melempar jumrah itu dijadikan hanya untuk menegakkan dzikir kepada Allah.”

Allah juga menyertakannya dengan jihad, memerintahkan dzikir saat berhadapan dengan pasukan musuh, seperti firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguhhatilah kalian dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (Al-Anfal:45).

Orang-orang yang berdzikir adalah orang-orang yang lebih dahulu berjalan, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim di dalam Shahih-nya,dari hadits Al-Ala’, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu,dia berkata: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati suatu jalan di Makkah, lalu beliau melewati sebuah bukit yang disebut Jumdan. Beliau bersabda: “Teruskanlah perjalanan kalian. Ini adalah Jumdan, dan para mufarridun telah dahulu berjalan.”

Para shahabat bertanya: “Siapakah para mufarridun itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, laki-laki dan wanita.”

Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu’, dari hadits Abud-Darda’ Radhiyallahu Anhu:
“Ketahuilah, akan kuberitahukan kepada kalian tentang amal-amal kalian yang paling baik, paling suci di sisi Raja kalian, paling tinggi dalam derajat kalian, lebih baik bagi kalian daripada penganugerahan emas dan perak, lebih baik jika kalian berhadapan dengan musuh, lalu kalian memenggal leher mereka atau mereka yang memenggal leher kalian”. Mereka bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dzikir kepada Allah Azza wa jalla.”

Beliau juga bersabda, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhuma:
“Tidaklah segolongan orang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat mengelilingi mereka, menyelubungi mereka dengan rahmat,menurunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah menyebut mereka di antara orang-orang yang ada di sisi-Nya.”

Bukti kemuliaan dzikir ini, Allah membangga-banggakan para pelakunya di hadapan para malaikat, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Mu’awiyah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menemui sekerumunan para sahabat, seraya bertanya: “Apa yang membuat kalian berkumpul?”
Mereka menjawab: “Kami berkumpul untuk menyebut nama Allah, memuji-Nya karena telah menunjuki kami kepada Islam dan menganugerahkan Islam itu kepada kami.”
Beliau bersabda: “Demi Allah, apakah hanya karena itu yang mendorong kalian untuk berkumpul?”
Mereka menjawab: “Demi Allah, hanya inilah yang mendorong kami untuk berkumpul.”
Beliau bersabda: “Sebenarnya aku tidak meminta kalian untuk bersumpah karena curiga terhadap kalian. Hanya saja Jibril telah mendatangiku dan mengabarkan kepadaku, bahwa Allah membangga-banggakan kalian kepada para malaikat.”

Seorang Arab dusun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Apakah amal yang paling utama?”
Maka beliau menjawab:
“Engkau meninggalkan dunia, sedang lisanmu dalam keadaan basah karena sering menyebut nama Allah.”

Ada pula seseorang yang pernah berkata kepada beliau: “Sesungguhnya syariat-syariat Islam terlalu banyak bagiku. Maka perintahkanlah kepadaku suatu perkara yang dapat kujadikan gantungan.” Maka beliau bersabda: “Buatlah lisanmu senantiasa basah karena menyebut nama Allah.”

Di dalam Al-Musnad disebutkan dari hadits Jabir, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menemui kami seraya bersabda: “Wahai manusia, merumputlah kalian di kebun-kebun surga.”
Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kebun-kebun surga itu?”
Beliau menjawab: “Majlis-majlis dzikir.”

Beliau juga pernah bersabda:
“Pergilah kalian pada waktu pagi dan petang hari serta berdzikirlah. Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah dia melihat bagaimana kedudukan Allah di sisinya. Karena Allah menempatkan hamba di sisi-Nya sebagaimana dia menempatkan-Nya di sisinya.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meriwayatkan dari Ibrahim Alaihis-Salam pada malam Isra’, bahwa Ibrahim Alaihis-Salam berkata kepada Rasulullah:
“Sampaikanlah salam dariku kepada umatmu dan kabarkanlah kepada mereka bahwa surga itu bagus tanahnya, segar airnya, bahwa surga itu merupakan kebun-kebun dan ada pun tanamannya adalah kalimat Subhanallah walhamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar.”(Diriwayatkan At-Tirmidzi, Ahmad dan lain-lainnya).

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Musa Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
“Perumpamaan orang yang menyebut nama Rabbnya dan orang yang tidak menyebut nama-Nya seperti orang hidup dan orang mati.”

Lafazh Muslim disebutkan:
“Perumpamaan rumah yang di dalamnya disebutkan nama Allah dan rumah yang di dalamnya tidak disebutkan nama Allah seperti orang hidup dan orang mati.”

Beliau menganggap rumah orang yang berdzikir seperti rumah yang hidup dan semarak, sedangkan rumah orang yang lalai dan tidak berdzikir sama dengan rumah orang mati atau kuburan. Dalam lafazh pertama, orang yang berdzikir disamakan dengan orang yang hidup, dan orang yang lalai tidak mau berdzikir disamakan dengan orang yang mati. Dua lafazh ini mencakup pengertian bahwa hati yang berdzikir seperti orang hidup yang berada di rumah orang-orang yang juga hidup, sedangkan orang yang lalai tidak mau berdzikir seperti orang mati yang berada di dalam kuburan. Tidak dapat diragukan bahwa tubuh orang-orang yang lalai merupakan kuburan bagi hati mereka, dan hati mereka yang ada di dalam badannya seperti orang mati di dalam kuburan, sebagaimana yang dikatakan dalam syair:
“Lalai menyebut nama Allah merupakan kematian hati jasad mereka adalah kuburan sebelum masuk ke liang kubur ruh berada di dalam tubuh mereka dalam keadaan liar saat kembali pun mereka tidak mempunyai tempat kembali.”

Dalam atsar Ilahi disebutkan:
“Allah berfirman, ‘Jika yang menang atas hamba-Ku adalah menyebut nama-Ku, tentu dia mencintai-Ku dan Aku pun mencintainya.”

Dalam atsar Ilahi yang lain disebutkan:
“Wahai anak Adam, kamu tidak adil kepada-Ku. Aku mengingatmu namun kamu melupakan Aku, Aku menyerumu namun kamu lari kepada selain Aku, Aku menyingkirkan bencana darimu, namun kamu senantiasa berada pada kesalahan-kesalahan. Wahai anak Adam, apa yang akan kamu katakan besok jika kamu datang kepada-Ku?”

Dalam atsar Ilahi yang lain disebutkan:
“Wahai anak Adam, ingatlah Aku ketika kamu marah, niscaya Aku mengingatmu ketika Aku murka. Ridhalah terhadap pertolongan-Ku kepadamu, karena pertolongan-Ku kepadamu lebih baik daripada pertolonganmu untuk dirimu sendiri.”

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan atsar Ilahi yang diriwayatkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Rabb:
“Siapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam Diri-Ku, dan siapa yang mengingat-Ku di keramaian orang, maka Aku mengingatnya di keramaian yang lebih baik daripada mereka.”

Saya telah menyebutkan sekitar seratus faedah dzikir dalam kitab Al-Wabilush-Shayyib( Sudah kami terbitkan dengan judul “Kalimat Thayyibah”, red), beserta rahasia-rahasia, keagungan manfaat dan buahnya yang bagus.

Di sana juga saya sebutkan tiga macam dzikir, yaitu:
– Dzikir asma, sifat dan makna-maknanya, pujian terhadap Allah dengan asma dan sifat-sifat itu serta pengesaan Allah.
– Dzikir perintah dan larangan, halal dan haram.
– Dzikir karunia, nikmat, kemurahan dan kebaikan.

Ada tiga macam dzikir lainnya yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya, yaitu:
– Dzikir dengan menyelaraskan antara lisan dan hati. Ini merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi.
– Dzikir dengan hati semata.
– Dzikir dengan lisan semata.

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata: “Dzikir artinya membebaskan ,diri dari lalai dan lupa.”

Perbedaan antara lalai dan lupa, bahwa lalai merupakan pilihan pelakunya. Sedangkan lupa bukan karena pilihannya. Karena itu Allah berfirman: “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. Tidak dikatakan: “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lupa”, karena lalai tidak termasuk dalam pembebanan kewajiban, sehingga tidak dilarang.

Menurut Syaikh, ada tiga derajat dzikir, yaitu:

  1. Dzikir secara zhahir, berupa pujian, doa atau pengawasan. Yang dimaksudkan zhahir adalah apa yang disampaikan lisan dan sesuai dengan suara hati. Jadi tidak sekedar dzikir sebatas lisan semata, karena banyak orang yang tidak beranggapan seperti ini. Sedangkan pujian seperti ucapan Subhanallah wal-hamdu lillah, la ilaha illallah wallahu akbar. Sedangkan doa seperti yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan hal ini sangat banyak jenisnya. Sedangkan pengawasan, seperti ucapan, “Allah besertaku. Allah melihatku. Allah menyaksikan aku”, dan lain sebagainya yang dapat menguatkan kebersamaannya dengan Allah, yang intinya mengandung pengawasan terhadap kemaslahatan hati, menjaga adab bersama Allah, mewaspadai kelalaian dan berlindung dari syetan serta hawa nafsu. Dzikir-dzikir Nabawi menghimpun tiga perkara, yaitu: Pujian terhadap Allah, penyampaian doa dan permohonan, pengakuan terhadap Allah. Maka disebutkan di dalam hadits, “Doa yang paling baik adalah ucapan alhamdulillah.”

Ada seseorang bertanya kepada Sufyan bin Uyainah, “Apa pasalnya alhamdulillah dijadikan doa?” Maka dia menjawab, “Apakah engkau tidak mendengar perkataan Umayyah bin Ash-Shallat kepada Abdullah bin Jud’an yang mengharapkan pemberiannya, “Layakkah aku menyebutkan kebutuhanku, padahal orang yang memberiku telah mencukupi aku? Perilakumu itu pun sudah disebut pemberian.” Dzikir-dzikir Nabawi juga mencakup kesempurnaan pengawasan, kemaslahatan hati, kewaspadaan dari kelalaian dan berlindung dari syetan.

  1. Dzikir tersembunyi, yaitu membebaskan diri dari segala belenggu, berada bersama Allah dan hati yang senantiasa bermunajat kepada Rabb-nya.

Yang dimaksudkan tersembunyi di sini ialah dzikir hanya dengan hati. Ini merupakan buah dari dzikir yang pertama. Sedangkan maksud membebaskan diri dari segala belenggu artinya membebaskan diri dari lalai dan Iupa, membebaskan diri dari tabir penghalang antara hati dan Allah. Berada bersama Allah artinya seakan-akan dapat melihat Allah. Senantiasa bermunajat artinya menjadikan hati bermunajat,terkadang dengan cara merendahkan diri, terkadang dengan cara memuji, mengagungkan dan lain sebagainya dari macam-macam munajat yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau dengan hati. Ini merupakan keadaan setiap orang yang jatuh cinta dan yang dicintai.

  1. Dzikir yang hakiki, yaitu pengingatan Allah terhadap dirimu, membebaskan diri dari kesaksian dzikirmu dan mengetahui bualan orang yang berdzikir bahwa ia berada dalam dzikir.

Dzikir dalam derajat ini disebut yang hakiki, karena dzikir itu dinisbatkan kepada Allah. Sedangkan dzikir yang dinisbatkan kepada hamba, maka itu bukan yang hakiki. Allah yang mengingat hamba-Nya merupakan dzikir (pengingatan) yang hakiki. Ini merupakan kesaksian dzikir Allah terhadap hamba-Nya dan Dia menyebutnya di antara orang-orang yang layak untuk diingat, lalu menjadikannya orang yang senantiasa berdzikir kepada-Nya. Jadi pada hakikatnya dia orang yang berdzikir untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena Allah-lah yang menjadikan dirinya orang yang berdzikir kepada-Nya, lalu Allah pun mengingatnya. Orang yang berada dalam dzikir lalu dia mempersaksikan terhadap dirinya bahwa dia orang yang berdzikir, merupakan bualan. Padahal dia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat. Bualan ini tidak hilang dari dirinya kecuali jika dia meniadakan kesaksian terhadap dzikirnya.

1 Komentar

  1. Wibi berkata:

    Alhamdulillah rinci dan menambah ilmu..Alhamdulillah..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *