Bab II Bagian ke 4.
Dzikir
B. Zikir Lisan dan Zikir Hati.
Syaikh ‘Abdul-Wahhab asy-Sya‘rani mengatakan: “Aku pernah mendengar saudaraku, Afdhaluddin berkata: “Zikir dengan lisan disyariatkan bagi orang-orang besar dan orang-orang kecil. Sebab, tabir keagungan Allah tidak akan pernah diangkat dari seorang pun, termasuk para nabi. Tabir itu akan tetap ada. Tapi dia dapat diketuk.” (1131).
Nawawi menyatakan: “Para ulama sepakat bahwa zikir dengan lisan dan hati dibolehkan bagi orang yang sedang berhadas, orang yang sedang junub, wanita yang sedang haid dan wanita yang sedang nifas. Dan zikir yang dimaksud adalah tasbih, tahmid, takdir, shalawat kepada Nabi, doa dan lain sebagainya.” (1142).
Nawawi juga berkata: “Zikir bisa dengan hati dan bisa juga dengan lisan. Dan yang lebih utama adalah penggabungan antara keduanya. Apabila seseorang memilih salah satunya, maka zikir dengan hati lebih utama. Hanya saja, sebaiknya zikir dengan lisan tidak ditinggalkan karena takut akan hasrat pamer. Keduanya harus dilakukan dengan niat untuk mengharap ridha Allah.”
Fudhail ibn ‘Iyadh berkata: “Meninggalkan perbuatan karena manusia adalah pamer. Jika seseorang membuka pintu perhatian terhadap manusia karena menghindari dugaan-dugaan mereka yang batil, maka akan tertutup baginya banyak pintu kebaikan, dan dia telah menyia-nyiakan banyak urusan agama yang sangat penting. Cara seperti ini bukanlah cara yang dipakai oleh para ahli makrifat.” (1153).
Dalam hati orang yang lalai terdapat penutup, sehingga dia tidak dapat merasakan manisnya buah zikir dan ibadah lainnya. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan: “Tidak ada kebaikan pada zikir yang dilakukan dengan hati yang lalai dan lupa.”
Yang kita maksud bukanlah bahwa seseorang harus meninggalkan zikir di kala dia lalai. Orang yang memiliki niat yang luhur akan berjuang melawan hawa nafsunya dan mengawasi hatinya secara berkala, sehingga dia dapat beralih ke zikir dengan hati yang penuh konsentrasi. Hal ini sama seperti orang yang melempar. Pada lemparan pertama dia tidak dapat mengenai sasaran. Kemudian dia berusaha pada lemparan kedua dan ketiga, sehingga lemparannya menjadi baik dan mengenai sasaran. Begitu pula keadaan manusia dengan hatinya. Dia berusaha secara berkala untuk berzikir dan merenung, sehingga hatinya terbiasa untuk hadir bersama Allah.
Al-Ghazali berkata: “Telah tersingkap bagi orang-orang yang memiliki mata hati bahwa zikir adalah amal perbuatan yang paling utama. Tapi zikir memiliki tiga kulit. Sebagian kulit lebih dekat kepada isi dari sebagian yang lain. Dan dia memiliki isi di balik ketiga kulitnya itu. Keutamaan kulit adalah karena dia merupakan jalan untuk sampai kepada isi.
Kulit teratas adalah zikir dengan lisan saja. Kulit yang kedua adalah zikir hati. Hati membutuhkan penyesuaian, sehingga dia dapat hadir bersama zikir. Seandainya hati dibiarkan, maka dia akan terseret ke lembah-lembah pemikiran.
Kulit yang ketiga, zikir menetap di dalam hati dan menguasainya. Dalam kondisi ini, zikir sulit dipalingkan dari hati, sebagaimana kesulitan untuk menetapkannya di dalamnya pada kulit kedua.
Yang keempat adalah isi. Yaitu, obyek zikir (Allah) menetap kokoh dalam hati, sedangkan lafal zikir itu sendiri terhapus dan hilang. Inilah isi yang dicari. Yang demikian itu terjadi jika seseorang tidak lagi melirik kepada zikir dan hati, tapi dia tenggelam bersama obyek zikir (Allah) secara total. Apabila di tengah zikir dia melirik kepada zikir, maka itu adalah penghalang atau tabir. Kondisi seperti inilah yang disebut oleh para ahli makrifat dengan kondisi fana.
Ini merupakan buah dari isi zikir. Permulaannya adalah zikir lisan, lalu zikir hati dengan berat, lalu zikir hati secara otomatis, lalu obyek zikir (Allah) menguasai dan lafal zikir terhapus.” (1164).
C. Zikir Sendiri dan Zikir Berjamaah.
Ibadah yang dilakukan secara berjamaah, termasuk di dalamnya zikir kepada Allah, lebih utama daripada ibadah yang dilakukan sendirian. Zikir yang dilakukan secara berjamaah dapat mempertemukan banyak hati, mewujudkan sikap saling tolong-menolong dan memungkinkan terjadinya tanya jawab, sehingga yang lemah mendapat bantuan dari yang kuat, yang berada dalam kegelapan mendapat bantuan dari yang tersinari, yang kasar mendapat bantuan dari yang lembut, dan yang bodoh mendapat bantuan dari yang pintar.
Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila engkau melewati taman surga maka ambillah rumputnya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan taman surga itu?” Beliau menjawab: “Taman surga adalah halaqah-halaqah zikir.” (H.R. Tirmidzi).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang selalu berkeliling di jalan-jalan untuk mencari orang-orang yang berzikir. Apabila mereka menemukan kaum yang sedang berzikir kepada Allah, mereka berseru: “Marilah menuju hajat halian!” Para malaikat itu menyelimuti kaum tersebut dengan sayap mereka menuju langit bumi.
Allah bertanya kepada mereka: “Apa yang disebut oleh hamba-Ku?” Mereka menjawab: “Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid dan memuliakan-Mu.”
Allah bertanya: “Apakah mereka melihat-Ku?” Mereka menjawab: “Tidak, demi Allah.”
Allah bertanya: “Bagaimana seandainya mereka melihat Aku?” Mereka menjawab: “Seandainya mereka melihat-Mu, maka mereka akan lebih giat lagi beribadah, lebih memuliakan-Mu, dan lebih sering bertasbih kepada-Mu.”
Allah bertanya: “Apa yang mereka mohon kepada-Ku?” Mereka menjawab: “Mereka memohon surga-Mu.” Allah bertanya: “Apakah mereka melihatnya?” Mereka menjawab: “Tidak, demi Allah, mereka tidak melihatnya.”
Allah bertanya: “Bagaimana sekiranya mereka melihatnya?” Mereka menjawab: “Seandainya mereka melihatnya, maka mereka akan lebih mengharapnya, lebih giat mencarinya, dan lebih menyukainya.”
Allah bertanya: “Dari apa saja mereka berlindung?” Mereka menjawab: “Dari neraka.”
Allah bertanya: “Apakah mereka melihatnya?” Mereka menjawab: “Tidak, demi Allah, mereka tidak melihatnya.”
Allah bertanya: “Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” Mereka menjawab: “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka akan lebih menjauhinya dan lebih takut kepadanya.”
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka.” Salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seorang yang hanya datang karena hajatnya.” Allah berfirman: “Orang yang duduk bersama mereka tidak akan sengsara.” (H.R. Bukhari).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Sa‘id al-Khudri dari Rasulullah s.a.w., beliau bersabda:
مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْ بِهِمِ الْمَلاَئِكَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةَ وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tidak satu kaum pun yang berzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengitari mereka, rahmat akan melingkupi mereka, kedamaian akan turun kepada mereka dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (H.R. Muslim).
Diriwayatkan dari Mu‘awiyah, bahwa Nabi s.a.w. pernah bergabung degnan halaqah para sahabat dan berkata:
“Mengapa kalian duduk di majlis ini?” Para sabahat menjawab: “Kami sedang berzikir dan bertahmid kepada Allah. Kemudian beliau bersabda: “Jibril datang kepadaku dan memberitahukan bahwa Allah membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat.” (H.R. Muslim dan Tirmidzi).
Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
إِنَّ للهِ تَعَالَى سَيَّارَةً مِنَ الْمَلاَئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حِلَقَ الذِّكْرِ فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوْا بِهِمْ
“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang selalu berkeliling untuk mencari halaqah-halaqah zikir, Apabila mereka mendapatkannya, mereka akan mengitarinya.” (H.R. Bazzar).
Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Apabila engkau melewati taman surga maka ambillah rumputnya (yakni: nikmatilah, bersenang-senanglah di dalamnya).” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan taman surga itu?” Beliau menjawab: “Taman surga adalah halaqah-halaqah zikir.” (H.R. Tirmidzi).
Ketika menerangkan makna hadis ini, Ibnu ‘Allan menyatakan: “Artinya, apabila kalian melewati kelompok yang sedang berzikir kepada Allah, maka berzikirlah bersama mereka atau dengarkanlah zikir-zikir mereka. Sesungguhnya mereka berada di taman surga, baik ketika mereka di dunia maupun di akhirat kelak. Allah berfirman:
“Dan bagi orang yang takut kepada Tuhannya ada dua surga.” (ar-Rahman: 46) (1175).
Dalam Ḥāsyiyah-nya, ketika menerangkan tentang zikir berjamaah, Ibnu ‘Abidin mengatakan: “Al-Ghazali mengibaratkan zikir sendirian dan zikir berjamaah dengan azan satu orang dan azan kelompok. Dia berkata: “Suara azan yang dilakukan secara berkelompok lebih dapat mengalahkan suara angin ketimbang suara azan satu orang. Begitu pula, zikir berjamaah lebih berpengaruh dalam menyingkap tabir-tabir yang tebal daripada zikir sendirian.” (1186).
Dalam Ḥāsyiyah-nya, ath-Thahthawi mengatakan: “Para ulama salaf dan khalaf telah sepakat bahwa zikir yang diselenggarakan secara berkelompok di dalam masjid atau lainnya adalah dianjurkan. Kecuali apabila zikir jahar mereka itu mengganggu orang yang sedang tidur, sedang shalat atau sedang membaca al-Qur’an, sebagaimana telah ditetapkan dalam kitab-kitab fikih.” (1197).
Sementara zikir sendirian memiliki pengaruh yang sangat efektif dalam menjernihkan hati dan membangkitkannya, serta membiasakan seorang mukmin untuk senang kepada Tuhannya, menikmati munajat kepada-Nya dan merasakan kedekatan dengan-Nya. seorang mukmin harus memiliki waktu khusus untuk berzikir kepada Allah secara menyendiri, setelah melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya, sehingga dia dapat mengetahui segala aib dan kesalahannya. Apabila dia melihat ada kesalahan pada dirinya, maka dia segera beristigfar dan bertobat. Dan apabila dia melihat ada aib pada dirinya, maka dia segera berjuang melawan hawa nafsunya agar terbebas darinya.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ تَعَالَى تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ….. وَ رَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah di saat tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya… (Salah satu di antaranya adalah) laki-laki yang mengingat Allah di tempat yang sunyi, lalu air matanya bercucuran.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Adab Zikir Secara Individu
Seseorang yang berzikir haruslah memiliki sifat paripurna. Apabila dia berzikir sambil duduk di suatu tempat, dia harus menghadap kiblat dengan penuh tawadhu, khusyu dan menundukkan kepala. Seandainya dia berzikir dengan sikap selain yang telah disebutkan, maka itu boleh saja dan tidak makruh. Hanya saja, jika dia tidak memiliki alasan tertentu, maka dia telah meninggalkan sikap berzikir yang lebih utama. Sebaiknya tempat yang dijadikan untuk zikir sunyi dan bersih. Sebab, hal itu lebih menghormati zikir dan obyeknya (Allah). Oleh karena itu, zikir dalam di masjid dan di tempat-tempat yang mulia sangat terpuji. Sebaiknya mulut orang yang berzikir bersih. Jika mulutnya berbau, maka dia harus membersihkannya dengan siwak (sikat gigi).
Apabila hukum kebersihan lahiriah adalah sunnah, maka kebersihan hati yang merupakan obyek pandangan Tuhan lebih utama untuk diperhatikan. Hati harus dibersihkan dari segala kotoran, seperti dengki, takabur, bakhil, pamer serta segala penghalang dan kesibukan duniawi, sehingga dia siap untuk menghadap al-Haqq.
Zikir disunnahkan di setiap keadaan. Dan yang dituju dalam zikir adalah kehadiran hati. Oleh sebab itu, orang yang sedang berzikir harus memperhatikan dan merenungkan makna-makna yang dizikirkannya. Apabila dia beristighfar, maka dia harus memperhatikan hatinya dalam meminta ampunan dan maaf kepada Allah. Apabila dia bershalawat kepada Nabi s.a.w., maka dia harus menghadirkan keagungan beliau. Apabila dia berzikir dengan lafal “Lā ilāha illallāh”, maka dia harus menafikan segala aktifitas yang dapat membuatnya lupa kepada Allah.
Hendaknya seseorang tidak meninggalkan zikir lisan karena ketidakhadiran hatinya. Dia tetap harus berzikir kepada Allah dengan lisannya, meskipun hatinya lalai. Sebab, kelalaian manusia dari zikir merupakan keberpalingan dari Allah secara total. Dan adanya zikir, dalam bentuk apa pun, adalah wujud menghadanya diri kepada Allah. Menyibukkan lidah dengan zikir kepada Allah berarti menghiasinya dengan taat kepada-Nya. Sedangkan meninggalkan zikir dapat menyibukkannya dengan berbagai maksiat, seperti gibah, adu domba dan lainnya.
Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari berkata: “Janganlah engkau meninggalkan zikir karena ketidakhadiran hatimu bersama Allah. Sebab, kelalaianmu pada saat engkau tidak berzikir lebih parah daripada kelalaianmu pada saat engkau berzikir. Mudah-mudahan Allah berkenan meningkatkan derajatmu dari zikir yang disertai kelalaian menuju zikir yang disertai konsentrasi hati, dari zikir yang disertai konsentrasi hati menuju zikir menuju zikir yang disertai lenyapnya segala sesuatu selain obyek zikir (Allah). Dan hal itu sungguh mudah bagi Allah Yang Maha Perkasa.” (1208).
Adab Zikir Dengan Suara Keras Berjamaah
Zikir dengan suara keras memiliki tiga adab, yakni adab pendahuluan, adab ketika zikir dan adab penutup. Setiap bagian dari adab itu memiliki adab lahiriah dan adab batin.
A. Adab-adab pendahuluan
Hendaknya ornag yang berzikir memakai pakaian yang suci, berbau wangi, berwudhu dan bersih dari penghasilan dan makanan yang haram.
Adapun adab batinnya, dia harus mensucikan hatinya dengan tobat yang benar, membebaskan dirinya dari semua penyakit hati, melepaskan kemampuan dan kekuatanny, lalu masuk ke hadirat Allah dengan penuh kerendahan hati, kefakiran dan kebutuhan terhadap karunia dan rahmat-Nya.
B. Adab-adab ketika zikir
Hendaknya dia duduk di baris terakhir jika teman-temannya yang datang terlebih dahulu duduk di depan. Jika mereka berdiri, hendaknya dia berdiri di belakang mereka sambil berzikir dengan zikir mereka, sehingga orang yang berada di dekatnya menyadari keberadaannya dan memberikan tempat kepadanya untuk bergabung dalam halaqah mereka. Jika ada ingin keluar karena ada uzur yang mendesak, hendaknya dia keluar melewati dua orang yang ada di sampingnya dengan tenang, sehingga tidak mengganggu zikir mereka.
Hendaknya dia berzikir sesuai dengan zikir mereka, dan tidak berzikir dengan zikir yang berbeda dengan zikir mereka. hendaknya dia berusaha menyembunyikan suaranya dalam suara mereka, sehingga tidak terdengar berbeda dari mereka. Dan hendaknya dia memejamkan matanya, sehingga dia tidak disibukkan oleh seseorang dari kehadiran hatinya bersama Allah.
Adapun adab batinnya, hendaknya dia berjuang untuk mengusir godaan-godaan setan dan bisikan-bisikan nafsunya. Hendaknya dia tidak menyibukkan hatinya untuk memikirkan urusan-urusan dunia. Hendaknya dia berusaha dengan sungguh-sungguh agar hati dan tekadnya hadir dalam zikir dan kondisi spiritualnya, seraya mempersiapkan diri untuk menerima karunia-karunia Allah dan tajalli-Nya.
C. Adab-adab penutup
Hendaknya dia mendengarkan bacaan al-Qur’an dan mudzakarah mursyidnya. Hendaknya dia mendengarkan nasehat-nasehat dan arahan-arahannya. Hendaknya dia tidak membicarakan urusan dunia selama berada di majlis zikir dan menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang melanggar adab. Seusai mudzakarah dan doa, hendaknya dia menyalami mursyid dan rekan-rekannya, baik dengan berjabat tangan ataupun dengan mencium tangan. (1219).
Adapun adab batinnya, hendaknya dia berdiam diri dengan hatinya dari segala pikiran yang terlintas di dalamnya, menjaganya agar tidak berpaling dan menunggu karunia pemberian Tuhannya. Kemudian dia keluar dengan mengikat tekadnya dan mengumpulkan niatnya untuk kembali ke majlis zikir pertama setelah majlis tersebut.
D. Zikir Muqayyad (Terikat) dan Zikir Muthlaq (Tidak Terikat)
Zikir Muqayyad adalah zikir yang disunnahkan oleh Rasulullah s.a.w. kepada kita dalam bentuk yang terikat dengan waktu atau tempat tertentu. Misalnya, zikir setiap kali selasai menunaikan shalat, yaitu: tasbih, tahmid dan takbir. Demikian juga zikir bagi orang yang sedang bepergian, zikir bagi orang yang sedang makan, zikir bagi orang yang sedang minum, zikir pernikahan, zikir saat tertimpa kesusahan, zikir untuk menolak bencana, zikir saat sakit, zikir saat terjadi kematian, zikir seusai shalat Jumaat dan di malam harinya, zikir ketika melihat bulan sabit, zikir ketika berbuka puasa, zikir ketika melakukan perang di jalan Allah, zikir ketika mendengar ayat berkokok atau keledai meringkik, zikir ketika melihat orang yang tertimpa penyakit dan lain sebagainya.
Demikianlah sekilas tentang zikir-zikir yang terikat dengan waktu dan tempa. Apabila engkau ingin mengetahuinya lebih detail, silakan merujuk kepada kitab-kitab yang mengkaji tentang zikir secara khusus.
Sedangkan zikir mutlak yaitu zikir yang tidak terikat dengan waktu, tempat dan keadaan. Yang dituntut dari setiap mukmin adalah agar dia berzikir kepada Tuhannya di segala keadaan, sehingga lisannya basah dengan zikir kepada Allah. Banyak sekali ayat yang menerangkan tentang zikir jenis ini. di antaranya adalah:
“Ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepada kalian.” (al-Baqarah: 152).
“Mereka selalu bertasbih pada malam dan siang tiada henti-hentinya.” (al-Anbiya’: 20).
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang banyak. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (al-Ahzab: 41-42).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang menyeru untuk memperbanyak zikir kepada Allah secara mutlak, tanpa terikat dengan ruang dan waktu.
Rasulullah s.a.w. juga menganjurkan kita untuk berzikir kepada Allah secara mutlak di segala keadaan dan waktu.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Bisr bahwa seorang laki-laki berkata:
“Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam itu terlalu banyak bagiku. Maka beritahukanlah kepadaku sesuatu yang aku dapat berpegang teguh dengannya.” Beliau menjawab: “Selama lisanmu masih basah menyebut Allah.” (H.R. Tirmidzi).
‘A’isyah mengatakan tentang Rasulullah dengan ungkapannya:
“Dulu Rasulullah berzikir kepada Allah di setiap waktu beliau.” (H.R. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Rasulullah telah menyeru kita dalam banyak hadis untuk membaca berbagai bentuk zikir, seperti tasbih, tahlil, takbir, dan istighfar, tanpa membatasinya dengan waktu atau momen tertentu.
‘Abdullah ibn ‘Abbas r.a. berkata: “Allah tidak membebankan suatu kewajiban pun kepada hamba-hambaNya melainkan Dia menetapkan batasan tertentu baginya dan memaafkan mereka apabila mereka memiliki uzur, kecuali zikir. Sesungguhnya Allah tidak menetapkan batas akhir bagi zikir dan tidak memaafkan orang yang meninggalkannya, kecuali orang yang kehilangan akalnya. Allah memerintahkan mereka untuk berzikir kepada-Nya dalam semua keadaan.
“Berzikirlah kalian kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (an-Nisa’: 103)
“Hai orang-orang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang banyak.” (al-Ahzab: 41).
Artinya, berzikir kepada-Nya pada siang dan malam hari, di darat dan di laut, di dalam negeri dan di luar negeri, pada saat kaya dan miskin, di waktu sehat dan sakit, sendiri dan berjamaah dan di segala keadaan.” (12210)
Kalangan sufi telah mengikuti langkah ini. Mereka berzikir kepada Allah di semua keadaan mereka.
Sebagaimana ada zikir yang terikat dengan waktu dan ada yang tidak terikat dengannya, ada juga zikir yang terikat dengan jumlah dan ada yang tidak terikat dengannya. Zikir yang terikat dengan jumlah tertentu misalnya membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap usai shalat.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ، وَ حَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ، وَ كَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ، فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَ تِسْعُوْنَ. وَ قَالَ: تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ، وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَ إِنْ كَانَ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barang siapa membaca tasbih setiap usai shalat sebanyak 33 kali, membaca tahmid sebanyak 33 kali, dan membaca tahlil sebanyak 33 kali, dan yang demikian itu berjumlah 99, lalu dia menyempurnakan menjadi 100 dengan membaca “Lā ilāha illallāhu waḥdahu lā syarīka lahu, lahul-mulku wa lahul-ḥamd, wa huwa ‘alā kulli sya’in qadīr,” niscaya akan diampuni kesalahan-kesalahannya meskipun sebanyak buih di laut.” (H.R. Muslim).
Diriwayatkan dari Sa‘ad ibn Abi Waqqash, dia berkata: “Ketika kami bersama Rasulullah s.a.w., beliau bersabda:
“Tidak mampukah seseorang di antara kalian memperoleh seribu kebaikan dalam sehari?” Salah seorang di antara yang duduk bersama beliau bertanya: “Bagaimana seorang di antara kami bisa memperoleh seribu kebaikan dalam satu hari?” Beliau menjawab: “Jika dia bertasbih seratus kali, maka akan dicatat baginya seribu kebaikan atau dihapuskan darinya seribu kesalahan.” (H.R. Muslim).
Diriwayatkan dari Aghar ibn Yasar al-Muzani dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:
يَا أَيَّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَ اسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّيْ أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampunan-Nya. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya dalam sehari semalam sebanyak seratus kali.” (H.R. Muslim).
Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., beliau bersabda:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ، وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ فِيْ يَوْمٍ مِائَةَ مِرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلُ عَشْرِ رِقَابٍ وَ كُتِبَ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَ مُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَ كَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَ لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذلِكَ
“Barang siapa mengucapkan kalimat “Lā ilāha illallāhu waḥdahu lā syarīka lah, lah-ul-mulku wa lah-ul-ḥamd, wa huwa ‘alā kulli sya’in qadīr,” seratus kali dalam sehari, maka pahalanya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dicatat baginya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan, dan dia akan memiliki tameng dari setan pada hari itu sampai sore hari. Tidak ada yang diganjar lebih baik dari apa yang diperolehnya itu kecuali orang yang mengamalkan lebih banyak darinya.” (H.R. Bukhari).
Ketika menerangkan hadits ini, Ibnu ‘Allan mengutip ucapan Qadhi ‘Iyadh: “Penyebutan angka seratus dalam hadis ini merupakan dalil bahwa dia adalah batasan bagi pahala-pahala tersebut. Lalu dengan sabda beliau: “Tidak ada yang diganjar lebih baik dari apa yang diperolehnya itu kecuali orang yang mengamalkan lebih banyak darinya,” menunjukkan dibolehkannya menambah lebih dari angka tersebut, sehingga orang yang membacanya mendapat pahala tambahan, agar tidak disangka bahwa angka tersebut adalah batasan yang tidak boleh dilanggar.”
Sebagian kalangan terlalu berlebihan dan mengatakan: “Pahala yang dijanjikan dalam hadis ini tergantung pada angka yang disebutkan.”
Ibnul Jauzi mengatakan: “Pendapat seperti ini adalah salah besar. Yang benar adalah seperti apa yang diungkapkan seorang penyair: “Barang siapa menambah, niscaya Allah akan menambah kebaikannya.” (12311).
Sedangkan zikir yang tidak terikat dengan jumlah adalah zikir yang dianjurkan oleh Allah untuk memperbanyaknya di setiap keadaan dan waktu, tanpa terikat dengan jumlah tertentu. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang banyak.” (al-Ahzab: 41).
Semakin tinggi kemauan seorang mukmin dan semakin bertambah cintanya kepada Allah, maka dia akan memperbanyak zikir kepada-Nya. Sebab, barang siapa mencintai sesuatu, pasti dia akan banyak mengingatnya.
Seorang mursyid dibolehkan untuk menganjurkan muridnya agar membaca zikir dengan jumlah tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk meninggikan dan memperkuat tekadnya, serta menghindarkannya dari kelalaian dan kemalasan. Dengan demikian, dia akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah.
Catatan:
- 113). ‘Abdul Wahhab asy-Sya‘rani, al-Mīzān, vol. 1, hlm. 160. ↩
- 114). Muhammad ibn ‘Allan ash-Shiddiqi, al-Futūḥāt ar-Rabbāniyyah ‘alā al-Adzkār an-Nawawiyyah, vol. 1, hlm. 106-109. ↩
- 115). Ibid.., hlm. 127. ↩
- 116). Abu Hamid al-Ghazali, al-Arba‘īn fī Ushūl ad-Dīn, hlm. 52-55. ↩
- 117). Muhammad ibn ‘Allan ash-Shiddiqi, al-Futūḥāt ar-Rabbāniyyah ‘alā al-Adzkār an-Nawawiyyah, vol. 1, hlm. 94. ↩
- 118). Ibnu ‘Abidin, Ḥāsyiyah Ibn ‘Ābidīn, vol V, hlm. 263. ↩
- 119). Ath-Thahawi, Ḥāsyiyah ath-Thaḥāwī ‘alā Marāqī al-Falāḥ, hlm. 208. ↩
- 120). Ahmad ibn ‘Ajibah/‘Ujaibah, Īqāzh al-Himam fī Syarḥ al-Ḥikam, vol. 1, hlm. 79. ↩
- 121). Hukum Mencium Tangan. ↩
- 122). Hamid Shaqqar, Nūr at-Taḥqīq, hlm. 147. ↩
- 123). Muhammad ibn ‘Allan ash-Shiddiq, al-Futūḥāt ar-Rabbāniyyah ‘alā al-Adzkār an-Nawawiyyah, vol. 1, hlm. 209. ↩