Bab II Bagian ke 4.
Dzikir
Zikir kepada Allah disyariatkan baik secara diam-diam maupun dengan bersuara. Rasulullah telah menganjurkan zikir dengan kedua macamnya ini. Akan tetapi, para ulama syariat menetapkan bahwa zikir bersuara lebih utama, jika terbebas dari hasrat pamer dan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, sedang membaca al-Qur’an atau sedang tidur. Mereka mendasarkan pendapat mereka ini pada dalil-dalil yang mereka ambil dari hadis-hadis Nabi. Di antaranya:
“Allah berfirman: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku tentang Aku. Dan Aku bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam hati. Jika dia mengingat-Ku di hadapan para makhluk, maka Aku akan mengingatnya di hadapan para makhluk yang lebih baik dari mereka.” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dan zikir kepada Allah di hadapan para makhluk tidak mungkin dilakukan kecuali dengan zikir bersuara.
“Pada suatu malam, aku pergi bersama Rasulullah s.a.w. Lalu beliau melewati seorang laki-laki di dalam masjid yang sedang berzikir dengan mengeraskan suaranya. Aku berkata kepada beliau: “Ya Rasulullah, apakah itu bukan pamer?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tapi dia sedang merintih.” (H.R. Baihaqi).
“Mengangkat suara dalam zikir ketika orang-orang sudah selesai menunaikan shalat wajib telah ada pada zaman Nabi.” Ibnu ‘Abbas melanjutkan: “Apabila mereka telah keluar dari masjid, aku mendengarnya (zikir dengan bersuara).” (H.R. Bukhari).
جَاءَنِيْ جبْرَائِيْلُ فَقَالَ: مُرْ أَصْحَابَكَ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيْرِ
“Malaikat Jibril pernah datang kepadaku sambil berkata: “Suruhlah para sahabatmu agar mengangkat suara ketika bertakbir.” (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).
“Pada suatu hari kami bersama Rasulullah s.a.w. Beliau berkata: “Angkatlah tangan kalian dan bacalah: La ilaha illallah “Tiada tuhan selain Allah”. Kami pun melakukannya. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini. Engkau menyuruhku untuk mengamalkannya. Dan Engkau menjanjikan surga kepadaku dengannya. Sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji.” Lalu beliau bersabda: “Ketahuilah bahwa aku membawa kabar gembira untuk kalian. Sesungguhnya Allah telah memberi ampunan kepada kalian.” (H.R. Hakim).
Masih banyak lagi hadis yang menerangkan keutamaan zikir bersuara. Jalaluddin as-Suyuthi telah mengumpulkan sebanyak dua puluh lima hadis dalam sebuah risalahnya, Natījat-ul-fikri fil-jahri bidz-dzikri. Dia berkata: “Segala puji hanya bagi Allah. Keselamatan semoga tercurahkan kepada hamba-hambaNya yang terpilih. Engkau telah bertanya – mudah-mudahan Allah memuliakanmu dengan apa-apa yang biasa dilakukan oleh para sufi – tentang menyelenggarakan halaqah-halaqah zikir, berzikir dengan bersuara di masjid-masjid dan mengangkat suara dalam tahlil, apakah hukum perbuatan itu makruh atau tidak.
Jawabannya, sesungguhnya perbuatan itu tidak makruh. Banyak sekali hadis yang menerangkan bahwa zikir bersuara dianjurkan, sebagaimana banyaknya hadis yang menerangkan bahwa zikir lirih dianjurkan. Penggabungan keduanya adalah dengan mengatakan bahwa hal itu berbeda sesuai dengan perbedaan kondisi dan individu.”
(Kemudian Jalaluddin as-Suyuthi menyebutkan hadis-hadis tersebut secara keseluruhan).
Jika engkau perhatikan hadis-hadis yang telah aku sebutkan tadi, maka engkau dapat mengetahui bahwa zikir jahar sama sekali bukan hal yang makruh. Bahkan, di dalam hadis-hadis tersebut terdapat indikasi bahwa zikir jahar adalah sesuatu dianjurkan. Sedangkan pertentangannya dengan hadis:
خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ
“Sebaik-baik zikir adalah zikir khafī (rahasia)”
hal itu sama dengan pertentangan antara hadis yang menganjurkan membaca al-Qur’an dengan suara keras dengan hadis:
“Orang yang membaca al-Qu’ran secara rahasia adalah seperti orang yang bersedekah secara rahasia.”
Nawawi telah mengkompromikan antara keduanya dengan mengatakan bahwa zikir secara rahasia lebih utama apabila seseorang takut akan hasrat pamer, atau takut mengganggu orang-orang yang sedang shalat atau sedang tidur. Dan zikir bersuara lebih utama dalam kondisi selain itu. Sebab, amal zikir bersuara lebih baik: faedahnya dapat menular kepada orang-orang yang mendengarkannya, dapat menghilangkan ngantuk dan dapat menambah semangat. Sebagian kalangan mengatakan: “Suara keras disunnahkan dalam sebagian yang lain. Sebab, kadang orang yang membaca al-Qur’an secara lirih merasa jenuh, sehingga dia ingin membacanya secara keras. Sebaliknya, kadang orang yang membaca al-Qur’an secara keras merasa lelah, sehingga dia ingin membacanya dengan lirih.” Begitu juga halnya dengan zikir. Dengan demikian, kita telah mengompromikan hadis-hadis tersebut.
Apabila dikatakan bahwa Allah berfirman:
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suarat, di waktu pagi dan petang.” (al-A‘rāf: 205)
hal ini dapat dijawab dari tiga alasan:
“Dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya.” (al-Isrā’: 110).
Ayat ini turun ketika Nabi mengeraskan suaranya dalam membaca al-Qur’an sampai terdengar oleh orang-orang musyrik, kemudian mereka mencaci maki al-Qur’an dan yang telah menurunkannya (Allah). Kemudian Rasulullah s.a.w. diperintahkan agar tidak membaca al-Qur’an dengan suara keras, sebagaimana beliau juga dilarang mencaci maki berhala-berhala orang-orang musyrik dalam firman Allah:
“Dan janganlah kalian memaki orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal itu akan menyebabkan mereka memaki Allah dengan permusuhan dan sembarangan.” (al-Isrā’: 108).
“Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah dengan tenang, agar kalian mendapat rahmat.” (al-A‘rāf: 204).
Ketika orang diperintahkan untuk diam (inshāt), ditakutkan hal itu akan membuatnya lalai. Sehingga, meskipun telah diperintahkan diam secara lisan, tapi keharusan untuk berzikir dengan hati tetap berlaku agar tidak sampai lalai dari zikir kepada Allah. Oleh sebab itu, ayat tersebut diakhiri dengan:
“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang lalai.” (al-A‘rāf: 205).
Ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bazzar dari Mu‘adz ibn Jabal bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barang siapa di antara kalian shalat di malam hari, hendaklah dia mengeraskan bacaannya. Sesungguhnya malaikat ikut shalat bersamanya dan mendengarkan bacaannya. Demikian juga para jin mukmin yang ada di udara dan para tetangga di dekat tempat tinggalnya melakukan shalat yang sama. Dan bacaan keras itu dapat mengusir para jin yang fasik dan setan dari sekeliling rumahnya.” (H.R. Bazzar).
Apabila engkau mengatakan bahwa Allah telah berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-A‘raf: 55).
Dan “melampaui batas” dalam ayat tersebut telah ditafsirkan dengan membaca doa dengan suara keras.
Aku akan menjawabnya dari dua sisi:
Pertama, tafsir yang lebih kuat dari ayat ini adalah melampaui batas yang diperintahkan atau membuat doa yang tidak ada sumbernya dalam syariat. Hal ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Nu‘amah bahwa ‘Abdullah ibn Mughaffal pernah mendengar anak berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu istana putih di bagian kanan surga.” Kemudian Abu Nu‘amah berkata: aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
سَيَكُوْنُ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الدُّعَاءِ
“Akan ada para umat ini suatu kaum yang berlebihan-lebihan di kala mereka berdoa.” (H.R. Ibnu Majah dan Hakim).
Ini adalah penafsiran seorang sahabat. Dan dia lebih mengetahui tentang maksud dari ayat tersebut.
Kedua, jika tafsir di atas diterima, ayat di atas sejatinya berbicara tentang doa, bukan zikir. Secara khusua, doa lebih baik dilakukan dengan lirih, sebab itu lebih dekat untuk dikabulkan. Allah berfirman:
“Yaitu ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lirih.” (Maryam: 3).
Oleh sebab itu, dianjurkan agar isti‘ādzah (mengucapkan a‘udzu billāhi min-asy-syaithān-ir-rajīm) dalam shalat dibaca dengan lirih, berdasarkan kesepakatan ulama. Sebab, isti‘ādzah adalah doa.
Apabila engkau mengatakan: “Ketika menyaksikan sekelompok orang yang membaca tahlil dengan suara keras dalam masjid, Ibnu Mas‘ud berkata: “Aku menganggap bahwa kalian telah melakukan bid‘ah.” Lalu beliau mengusir mereka dari dalam masjid.”
Menurutku, atsar dari Ibnu Mas‘ud ini membutuhkan penjelasan tentang sanadnya dan apakah ada di antara para ahli hadis yang meriwayatkannya dalam kitab-kitab mereka. Jika atsar ini memang ada, maka dia bertentangan dengan hadis-hadis yang telah aku kemukakan sebelumnya. Dan hadis-hadis tersebut lebih diutamakan ketika terjadi pertentangan.
Aku berpendapat bahwa atsar tersebut tidak mungkin bersumber dari Ibnu Mas‘ud. Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan dari Husein ibn Muhammad dari al-Mas‘udi dari ‘Amir ibn Syafiq dari Abu Wail, dia berkata: “Mereka mengklaim bahwa ‘Abdullah (Ibnu Mas‘ud) melarang zikir. Padahal, aku tidak pernah menyertai ‘Abdullah dalam suatu majlis pun, melainkan dia berzikir kepada Allah.”
Ahmad meriwayatkan dari Tsabit al-Banani, dia berkata: “Sesungguhnya ahli zikir kepada Allah akan bersimpuh di hadapan Allah dengan membawa dosa-dosa sebesar gunung. Dan mereka akan tetap berzikir kepada Allah, meskipun mereka tidak mempunyai dosa sedikit pun.” (1091).
Ketika dia menafsirkan firman Allah:
“Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui yang lirih dan yang lebih tersembunyi.” (Thaha: 7).
Mahmud al-Alusi mengatakan: “Sebagian kalangan berpendapat bahwa berzikir dan berdoa dengan suara keras dilarang, karena Allah berfirman:
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan hati dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (al-A‘raf: 205).
Engkau mengetahui bahwa larangan mengeraskan suara dalam berzikir dan berdoa tidaklah mutlak. Dalam Fatāwā-nya, Nawawi menegaskan bahwa mengeraskan suara dalam zikir tidak dilarang dalam syariat, tapi justru disyariatkan dan hukumnya sunnah. Menurut mazhab Syafi‘i, mengeraskan suara dalam zikir lebih utama daripada melirihkan. Begitu juga halnya dalam mazhab Ahmad dan salah satu dari dua riwayat dari Malik yang dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fatḥ-ul-Bārī. Dan itu adalah pendapat Qadhi Khan dalam fatwa-fatwanya ketika dia menerangkan tentang qiraat. Dalam masalah memandikan mayat. Qadhi Khan memang mengatakan bahwa hukum berzikir dengan mengeraskan suara adalah makruh. Tapi yang tampak, larangan ini berlaku bagi orang yang sedang mengantarkan jenazah bukan secara mutlak, sebagaimana menurut mazhab syafi‘i.
Sebagian kalangan memilih bahwa yang dilarang adalah mengeraskan suara secara berlebihan atau melampaui kebutuhan. Sementara berzikir dengan mengeraskan suara secara seimbang dan sesuai dengan kebutuhan termasuk yang diperintahkan. Terdapat lebih dari dua puluh hadis sahih yang menerangkan bahwa Rasulullah pernah berzikir dengan suara keras. Diriwayatkan dari Abu Zubair bahwa dia mendengar ‘Abdullah ibn Zubair berkata: “Apabila Rasulullah mengucapkan salam seusai shalat, beliau mengucapkan dengan suara keras kalimat (yang artinya):
“Tiada tuhan selain Allah Yang Tunggal. Tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan segala puji. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Kami tidak menyembah selain Dia. Dia memiliki nikmat dan karunia.”
Ibrahim al-Kaurani telah menulis dua kitab yang berkaitan dengan masalah ini. Yang pertama, kitab Natsr-uz-Zahri fidz-Dzikri bil-Jahr, dan yang kedua, kitab Ittihāf-ul-Munīb-il-Awwāhi bi Fadhl-il-Jahri bidz-Dzikr. (1102).
Keutamaan Zikir Dengan Suara Keras.
Ath-Thahthawi berkata: “Terdapat perbedaan pendapat, apakah zikir secara lirih lebih diutamakan? Sebagian kalangan mengatakan bahwa zikir dengan suara lirih lebih utama, berdasarkan hadis-hadis yang mengindikasikan hal tersebut. Di antaranya adalah sabda Nabi:
خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ وَ خَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِيْ
“Sebaik-baik zikir adalah yang tersembunyi (khafi), dan sebaik-baik rezeki itu adalah yang mencukupi.”
Juga, karna zikir degnan suara lirih lebih dapat membangkitkan keikhlasan dan lebih dekat untuk dikabulkan.”
Sementara sebagian kalangan mengatakan bahwa zikir dengan suara keras lebih utama, berdasarkan hadis-hadis yang menjelaskannya. Di antaranya, adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Zubair, di berkata: “Apabila Rasulullah mengucapkan salam seusai shalat, beliau mengucapkan dengan suara keras kalimat (yang artinya):
“Tiada tuhan selain Allah Yang Tunggal. Tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah segala kerajaan dan segala puji. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Kami tidak menyembah selain Dia. Dia memiliki nikmat dan karunia.” (H.R. Muslim dan Tirmidzi).
Rasulullah s.a.w. juga pernah menyuruh orang-orang yang membaca al-Qur’an di masjid agar membacanya dengan suara keras dengan maksud agar bacaan mereka dapat didengarkan. Ibnu ‘Umar dan para sahabatnya juga menyuruh orang membaca al-Qur’an di hadapan mereka dengan suara keras, sehingga mereka dapat mendengarkannya. Sebab, membaca dengan suara keras lebih banyak amalnya, lebih membantu perenungan dan lebih bermanfaat untuk membangkitkan hati orang-orang yang lalai.
Hadis-hadis yang berbicara tentang permasalahan ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa hal tersebut berbeda sesuai perbedaan individu dan keadaan. Barang siapa takut akan hasarat pamer, atau takut bacaannya dapat mengganggu orang lain, maka yang lebih utama baginya adalah berzikir dengan lirih. Akan tetapi, jika dia tidak takut akan ahsarat pamer dan bacaannya tidak akan mengganggu orang lain, maka yang lebih utama baginya adalah berzikir dengan suara keras. Dalam al-Fatāwā dikatakan: “Berzikir dengan suara keras di dalam masjid tidak dilarang, agar kita tidak termasuk ke dalam firman Allah:
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid?” (al-Baqarah: 114).
Asy-Sya‘rani menyatakan: “Para ulama salaf dan khalaf telah sepakat bahwa zikir kepada Allah yang diselenggarakan secara berkelompok di dalam masjid adalah dianjurkan. Kecuali jika suara zikir mereka mengganggu ketenangan orang yang sedang tidur, sedang shalat atau sedang membaca al-Qur’an, sebagaimana tertera dalam kitab-kitab fikih.” (1113).
Dalam Hāsyiyah-nya, Ibnu ‘Abidin mengatakan: “Terdapat hadis yang menjelaskan perintah untuk berzikir dengan suara keras, seperti hadis:
“Jika dia mengingat-Ku di hadapan para makhluk, maka Aku akan mengingatnya di hadapan para makhluk yang lebih baik dari mereka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Di samping itu, ada juga hadis yang menjelaskan perintah untuk berzikir secara lirih. Apabila keduanya digabungkan, maka dapat disimpulkan bahwa hal tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan individu dan kondisi. Ini sama dengan penggabungan antara hadis-hadis yang memerintahkan untuk membaca al-Qur’an secara lirih dan keras. Dan penggabungan ini tidak bertentangan dengan hadis:
“Sebaik-baik zikir adalah yang tersembunyi (khafī).”
Sebab, ini berlaku bagi orang yang takut akan hasrat pamer, atau takut mengganggu orang-orang yang sedang shalat atau sedang tidur. Apabila hal itu tidak terjadi, maka sebagian ulama mengatakan bahwa zikir dengan suara keras itu lebih utama. Sebab, amalnya lebih banyak dan manfaatnya akan menular kepada orang-orang yang mendengarnya, sehingga dapat membangkitkan hati yang sedang lalai.”
Dalam Ḥāsyiyah-nya, al-Manawi mengutip perkataan asy-Sya‘rani: “Para ulama salaf dan khalaf telah bersepakat bahwa zikir yang diselenggarakan secara berkelompok di dalam masjid atau lainnya adalah dianjurkan. Kecuali apabila zikir mereka itu mengganggu orang yang sedang tidur, sedang shalat atau sedang membaca al-Qur’an.” (1124).
Catatan: