Macam-macam Syafa’at – Mengetuk Pintu Syafa’at

Mengetuk Pintu Syafā‘at
Oleh: Syafiqul Anam al-Jaziriy
 
Penerbit: Pustaka Group

Macam-macam Syafā‘at

 

Menurut Syaikh Muḥammad bin Shāliḥ al-‘Utsaimin syafā‘at itu ada dua macam. Di antaranya:

Pertama, Syafā‘at Tsābitah Shaḥīḥah (yang tetap dan benar), yaitu yang ditetapkan oleh Allah s.w.t. dalam kitab-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasūl-Nya s.a.w. Syafā‘at ini hanya bagi Ahl-ut-Tauḥīd wal-Ikhlāsh, karena Abū Hurairah pernah bertanya kepada Nabi: “Ya Rasūlullāh, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafā‘at baginda?” Beliau menjawab: “Orang yang mengatakan (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) secara ikhlāsh (murni) dari qalbunya.”

Syafā‘at ini bisa diperoleh dengan adanya tiga syarat yaitu:

  • – Keridhāan Allah terhadap yang memberi syafā‘at (syāfi‘).
  • – Keridhaan Allah terhadap yang diberi syafā‘at (masyfū‘ lahu)
  • – Idzin Allah ta‘ālā bagi syāfi‘ untuk memberi syafā‘at .

Syarat-syarat ini secara mujmal terdapat dalam firman Allah s.w.t.:

Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafā‘at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengidzinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhāi-Nya” (an-Najm: 26).

Kemudian diperinci oleh firman-Nya:

Siapakah yang dapat memberi syafā‘at di sisi Allah tanpa idzin-Nya” (al-Baqarah : 255).

Pada hari itu tidak berguna syafā‘at, kecuali (syafā‘at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi idzin kepadanya dan Dia telah meridhāi perkataannya.” (Thāhā: 109).

Mereka tidak bisa memberi syafā‘at kecuali kepada orang yang diridhāi oleh Allah” (al-Anbiyā’: 28).

Ketiga syarat ini harus ada untuk bisa memperoleh suatu syafā‘at. Selanjutnya para ‘ulamā’ “raḥimahullāh” membagi syafā‘at ini menjadi dua.

Pertama: Syafā‘at ‘Ammah (syafā‘at yang bersifat umum). Arti umum di sini bahwa Allah ta‘ālā mengidzinkan siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang shāliḥ untuk memberikan syafā‘at kepada orang yang juga diidzinkan oleh Allah untuk memperoleh syafā‘at. Syafā‘at semacam ini bisa didapatkan dari Nabi Muḥammad s.a.w. dan selain beliau dari para Nabi yang lain, shiddīqīn, syuhadā’ dan shāliḥīn. Yaitu bisa berupa syafā‘at kepada penghuni nār dari kalangan orang beriman yang bermaksiat agar mereka bisa keluar dari neraka.

Kedua, Syafā‘at Khāshshah (syafā‘at yang bersifat khusus). Syafā‘at ini khusus dimiliki oleh Nabi Muḥammad s.a.w. dan merupakan syafā‘at yang paling agung. Syafā‘at yang paling agung ini adalah syafā‘at pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul, kemudian mereka meminta orang yang bisa memohonkan syafā‘at kepada Allah ‘azza wa jalla untuk menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian itu.

Mereka datang kepada Ādam, kemudian kepada Nūḥ, kemudian Ibrāhīm, Mūsā dan ‘Īsā a.s., namun mereka semua tidak bisa memberi syafā‘at, sehingga akhirnya meminta kepada Nabi Muḥammad s.a.w. lalu beliau pun bangkit untuk memohonkan syafā‘at di sisi Allah ‘azza wa jalla untuk menyelamatkan hamba-hambaNya dari keadaan seperti ini. Allah mengabulkan doa beliau dan menerima syafā‘at-nya. Ini merupakan/termasuk al-Maqām-ul-Maḥmūd (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah dan firman-Nya:

Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ‘ibādah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengankat kamu ke tempat yang terpuji.” (al-Isrā’; 79).

Di antara syafā‘at khusus dari Rasūlulāh s.a.w. adalah syafā‘at beliau terhadap ahl-ul-jannah untuk masuk jannah. Karena ahl-ul-jannah itu ketika melewati shirath, mereka diberhentikan di atas jembatan antara jannah dan nār, lalu hati mereka satu sama lain disucikan sehingga menjadi suci, kemudian barulah diidzinkan masuk jannah dan dibukakan untuk mereka pintunya dengan syafā‘at Nabi Muḥammad s.a.w.

Kedua, Syafā‘at Bathilah (syafā‘at yang bāthil). Yaitu syafā‘at yang tidak akan bisa memberi manfaat. Itulah syafā‘at yang jadi anggapan orang-orang musyrik berupa syafā‘at dari ilāh-ilāh mereka yang dianggap bisa menyelamatkan mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla. Syafā‘at ini sama sekali tidak akan memberikan manfaat kepada mereka.

Allah s.w.t. berfirman:

Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafā‘at dari orang-orang yang memberikan syafā‘at.” (al-Muddatstsir: 48).

Itu karena Allah tidak ridhā terhadap kemusyrikan orang-orang musyrik tersebut dan tidak mungkin mengidzinkan kepada siapapun untuk men-syafā‘at-i mereka, karena tiada syafā‘at kecuali bagi orang-orang yang diridhāi oleh Allah ‘azza wa jalla. Allah tidak ridhā akan kekufuran bagi hamba-hambaNya dan tidak menyukai kerusakan. Ketergantungan orang-orang musyrik terhadap ilāh-ilāh mereka yang mereka ‘ibādahi serta mengatakan: “(Mereka adalah para pemberi syafā‘at bagi kami di sisi Allah), adalah ketergantungan yang bāthil yang tidak bermanfaat”. Bahkan hal ini tidak akan menambah mereka di sisi Allah melainkan kejauhan. Orang-orang musyrik mengharap syafā‘at dari berhala-berhala mereka dengan cara yang bāthil, yaitu dengan meng‘ibādahi berhala-berhala ini, yang merupakan kebodohan mereka yang berupa usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dengan sesuatu yang justru malah semakin menjauhkan mereka dari Allah. (11)

Catatan:

  1. 1). Disalin dari kitab Fatwā ‘Anil-Īmān wa Arkānihā yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin ‘Abd-il-Maqshud, edisi Indonesia: Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Pustaka at-Tibyan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *