Latar Belakang Terjadinya Isra’ dan Mi’raj – Mutiara Isra’ Mi’raj

MUTIARA ISRĀ’ DAN MI‘RĀJ
Penulis: Drs. Abu Ahmadi
 
Diterbitkan oleh: AMZAH

3. LATAR BELAKANG TERJADINYA ISRĀ’ DAN MI‘RĀJ.

 

Menurut sejarah Islam peristiwa Isrā’ dan Mi‘rāj Nabi Muḥammad s.a.w., terjadi pada tahun ke-12 dari kerasulannya, tepatnya pada tahun 622 M.

Tentang pelbagai pendapat mengenai waktu terjadinya Isrā’ Mi‘rāj ini, marilah kita perhatikan pendapat di bawah ini:

Menurut keterangan az-Zuhriy, Isrā’ terjadi pada tahun ke-8 dari kenabian, jadi 5 tahun sebelum hijrah, yaitu waktu Rasūl masih dalam kepungan orang Quraisy. Yang menguatkan pendapat ini terdapat antaranya al-Qādhī ‘Iyādh, pengarang asy-Syifā’ yang dikuatkan oleh al-Qurthuby dan oleh Imām an-Nawawī di dalam kitab Syaraḥ Muslimnya. Alasan mereka, karena Khadījah telah turut melakukan shalat fardhu yang lima waktu sehari semalam itu, dan Khadījah wafat pada bulan Ramadhān tahun 10 kenabian.

Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa Isrā’ dan Mi‘rāj itu terjadi pada waktu 1 tahun 5 bulan sebelum Rasūl berhijrah ke Madīnah. Yang mempunyai pendapat ini adalah as-Suddy, yang bersumberkan pendapat Imām Ahli Tārīkh Besar, yaitu Ibnu Jarīr ath-Thabarī, dan dari pendapat al-Baihaqī, seorang ahli Hadits yang besar juga. Menurut pendapat ini, maka peristiwa Isrā’ terjadi pada bulan Syawwāl tahun 11 kenabian. Ibnu ‘Abd-il-Barr, al-Ḥāfizh yang terkenal mengatakan peristiwa Isrā’ terjadi pada bulan Rajab (lahir 338 H, dan wafat 463 H) beberapa belas bulan sebelum Rasūl berhijrah. Pendapatnya ini diteriman oleh Ibnu Qutaibah dan ditetapkan secara jazam oleh Imām Nawawī di dalam kitabnya ar-Raudhah. Yang lain mengatakan Isrā’ terjadi pada waktu satu tahun sebelum hijrah, antaranya yang berpendapat demikian Ibnu Ḥazm al-Andalusī. Kemudian di antara pelbagai pendapat yang lain tersebut pula bahwa Isrā’ itu terjadi pada tanggal 27 Rajab. Pendapat ini dipilih oleh al-Ḥāfizh ‘Abd-ul-Ghany bin Surūr al-Muqaddasy al-Ḥanbaly. Harinya, yaitu hari Jum‘at dan ada yang mengatakan hari Sabtu. (Demikianlah yang tersebut di dalam Ḥāsyiyah-ul-Mawāhib-il-Ladunniyah oleh Imām az-Zurqany: I. 307-308).

Dalam sejarah Nabi disebutkan bahwa selama 12 tahun dari kerasulan adalah merupakan detik-detik berbahaya. Sejak turunnya wahyu pertama yaitu Surat-ul-‘Alaq, Nabi telah menghadapi masyarakatnya dengan penuh keberanian dan tanpa pamrih. Nabi melaksanakan tugas kenabian dengan jujur, ikhlas dan tanggung-jawab. Namun masih banyak juga yang acuh tak acuh, mendustakan agama bahkan menyerang terang-terangan.

Di antara kesepian, kepahitan dan derita Nabi, ada setitik madu segar yang dapat menyegarkan hati Nabi, ialah masuknya Islam seorang suku Quraisy ‘Umar bin Khaththāb pada tahun ketujuh dari kerasulan. Nabi mempunyai perhitungan, mengislamkan seorang tokoh di padang pasir lebih baik daripada mendapat seribu pengikut yang tanpa nama.

Akan tetapi dengan masuknya singa di padang pasir dari suku Quraisy itu, kaum Quraisy pada umumnya menjadi marah, sebab mereka merasa tokoh mereka terjebak. Mereka kemudian mengadakan rencana untuk menangkap Nabi. Segala tipu daya dicobanya, namun usaha mereka sia-sia. Sebab Abū Thālib paman Nabi adalah satu-satunya bangsawan dari Bani Hāsyim yang cukup berwibawa itu mereka hormati dan mereka takuti. Sehingga makar mereka senantiasa tiada berhasil.

Pepatah mengatakan: berjalan sampai ke batas, mendayung sampai ke pulau. Peristiwa penderitaan Nabi yang bertubi-tubi itu merupakan tempaan bagi keyakinan beliau. Dan selama itu juga tidak mampu menggoyahkan iman dan pribadi beliau.

Lalu halnya dengan peristiwa tahun ke-12 dari kerasulan ini. Istri Nabi yaitu Siti Khadījah binti Khuwailid sebagai pendamping dalam perjuangan dan Abū Thālib paman Nabi sebagai tulang punggungnya secara beruntun dipanggil ke hadirat Allah s.w.t. Kerusakan yang mencekam diri beliau ini cukup membuat kemelut dalam perjuangan dan mengganggu kestabilan posisi. Perencanaan yang sudah masak dapat kalut karena guncangan pribadinya itu. Wafatnya Siti Khadījah dengan Abū Thālib benar-benar merupakan mendung yang kelam dengan petir yang ganas yang hampir memecahkan telinga serta menghancurkan perasaan Nabi. Sehingga perisitwa ini benar-benar membuat kondisi Nabi menjadi kritis. Kritis dalam perbuatan sebab bendaharawan juang telah hilang. Kritis dalam berperang karena pelindungannya telah berpulang. Kritis ketiga adalah psikologis karena kematian pamannya ini belum membawa iman yang diharapkan. Kritis yang ketiga inilah yang banyak membuat air mata Nabi berjatuhan. Kenangan demi kenangan, renungan demi renungan selalu muncul di angan-angan Nabi tentang mutiara-mutiara kebaikan pamannya. Akan tetapi mengapa beliau meninggalkan dunia tanpa iman? Inilah penderas hujan, pembanter air mata berderas, pencekam kesedihan yang tiada terkendalikan.

Berangkat dari fakta sejarah ini, cukup beralasan bagi para ‘ulamā’ yang berpendapat, bahwa peristiwa kematian istri dan pamannya merupakan latar belakang dan kausalitas pada proses terjadinya Isrā’ Mi‘rāj. Benarkah demikian? Wallāhu a‘lam bish-shawāb. Namun bagi penganut ahli sejarah tetap berpendoman keras tentang kebenaran kesimpulan di atas. Ternyata dengan kesusahan yang mencapai puncaknya itu, Allah berkenan menghibur beliau dengan diisrā’kan dan dimi‘rājkan.