Hakikat Tasawwuf: Keutamaan Dzikir Dalam Perspektif Para Ulama

Dari Buku:
Hakikat Tasawwuf
(Judul Asli: Haqa’iq-ut-Tasawwuf)
Oleh: Syaikh ‘Abdul-Qadir ‘Isa
Penerjemah: Khairul Amru Harahap, Lc., MHI dan Afrizal Lubis, Lc.
Penerbit: Qisthi Press

Rangkaian Pos: Hakikat Tasawwuf - Bab Tentang Dzikir | Syaikh 'Abdul Qadir 'Isa

Bab II Bagian ke 4.
Dzikir

Keutamaan Dzikir Dalam Perspektif Para Ulama.

a. ‘Abdullah ibn ‘Abbas a.s.

‘Abdullah ibn ‘Abbas r.a. berkata: “Allah tidak membebankan sesuatu kewajiban pun kepada hamba-hambaNya melainkan Dia menetapkan batasan tertentu baginya dan memaafkan mereka apabila mereka memiliki uzur, kecuali dzikir. Sesungguhnya Allah tidak menetapkan batas akhir bagi dzikir dan tidak memaafkan orang yang meninggalkannya, kecuali orang yang kehilangan akalnya. Allah memerintahkan mereka untuk berdzikir kepada-Nya dalam semua keadaan. Allah berfirman: “Berdzikirlah kalian kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring.” (an-Nisa’: 103). Dia juga berfirman: “Hai orang-orang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak.” (al-Ahzab: 41). Artinya, berdzikir kepada-Nya pada siang dan malam hari, di darat dan di laut, di dalam negeri dan di luar negeri, pada saat kaya dan miskin, di waktu sehat dan sakit, dengan sembunyi dan terang-terangan, dan di segala keadaan.” (1021).

b. Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari

Ibnu ‘Atha’illah berkata: “Dzikir adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus-menerus bersama Allah. Sebagian kalangan mengatakan bahwa dzikir adalah menyebut secara berulang-ulang dengan hati dan lisan nama Allah, salah satu sifat-Nya, salah satu hukum-Nya, atau lainnya, yang dengannya seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah. (1032).

c. Imam Abu Qasim al-Qusyairi

Imam Abu Qasim al-Qusyairi mengatakan: “Dzikir adalah lembaran kekuasaan, cahaya penghubung, pencapaian kehendak, tanda awal perjalanan yang benar dan bukti akhir perjalanan menuju Allah. Tidak ada sesuatu setelah dzikir. Semua perangai yang terpuji merujuk kepada dzikir dan bersumber darinya.”

Dia juga berkata: “Dzikir adalah unsur penting dalam perjalanan menuju al-Haqq. Bahkan, dia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali dia tekun dalam berdzikir.” (1043).

d. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah

Ibnul Qayyim berkata: “Tidak diragukan bahwa hati dapat berkarat seperti halnya besi dan perak. Dan alat pembersih hati adalah dzikir. Dzikir dapat membersihkannya, sehingga dia menjadi seperti cermin bersih. Apabila seseorang meninggalkan dzikir, maka hatinya akan berkarat. Dan apabila dia berdzikir, maka hatinya menjadi bersih. Berkaratnya hati disebabkan dua perkara, yakni lalai dan dosa. Dan yang dapat membersihkannya juga dua perkara, yakni istighfar dan dzikir. Barang siapa lalai dalam kebanyakan waktunya, maka karat di hatinya akan menumpuk sesuai dengan tingkat kelalainya. Apabila hati berkarat, maka segala sesuatu tidak tergambar di dalamnya sesuai dengan faktanya. Dia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran, dan melihat kebenaran dalam bentuk kebatilan. Sebab, ketika karat hati itu bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak tergambar sebagaimana adanya. Apabila karat hati bertumpuk, maka hati menjadi hitam dan pandangannya menjadi rusak, sehingga dia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak dapat mengingkari kebatilan. Inilah siksaan hati yang paling berat. Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan mengikuti hawa nafsu. Keduanya menghilangkan cahaya hati dan membutakannya. Allah berfirman: “Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.” (al-Kahfi: 28)” (1054).

e. Fakhruddin ar-Razi

Ketika menafsirkan firman Allah: “Hanya milik Allah-lah nama-nama yang baik.” (al-A‘raf: 180), Fakhruddin ar-Razi mengatakan: “Sesungguhnya yang menjadi penyebab masuk neraka adalah kelalaian dari berzikir kepada Allah. Dan yang dapat membebaskan dari siksa Jahannam adalah zikir kepada Allah. Orang-orang yang memiliki cita rasa spiritual dan sampai ke tingkat musyahadah menemukan, dari roh-roh mereka, bahwa hal itu benar adanya. Apabila hati lalai dari berzikir kepada Allah, lalu dia berpaling kepada kesenangan-kesenangan dunia, maka dia akan terjatuh ke dalam pintu ketamakan. Dia akan berpindah dari satu kesenangan menuju kesenangan yang lain, dari satu permintaan menuju permintaan yang lain, dari satu kegelapan menuju kegelapan yang lain. Apabila terbuka bagi hati pintu zikir dan makrifat kepada Allah, maka dia akan terbebas dari api bencana, terbebas dari kerugian dan merasakan makrifat kepada Tuhan semesta alam.” (1065).

f. Ahmad Zarruq

Dalam Qawā‘id-ut-Tashawwuf, Ahmad Zarruq mengatakan: “Keistimewaan itu terdapat dalam ucapan, perbuatan dan benda-benda. Dan keistimewaan yang paling agung adalah keistimewaan zikir. Sebab, tidak ada amal anak Adam yang paling dapat menyelamatkannya dari siksa Allah selain zikir kepada-Nya. Allah telah menjadikan segala sesuatu seperti minuman. Masing-masing memiliki manfaat khusus. Degnan demikian, setiap yang umum dan yang khusus harus diperhatikan sesuai dengan kondisi setiap orang.” (1076).

g. Ahmad ibn ‘Ujaibah/’Ajibah

Ahmad ibn ‘Ujaibah/‘Ajibah berkata: “Tidak akan terbuka pintu maqam ridha bagi seorang hamba melainkan setelah dia mengerjakan tiga perkara pada fase awal perjalanannya, yaitu:

  1. Dia tenggelam dalam nama tunggal (Allah). Zikir dengan nama tunggal ini hanya khusus bagi orang-orang yang telah mendapat izin dari seorang mursyid kamil.

  2. Dia bergaul dengan orang-orang yang berzikir.

  3. Dia konsisten dalam mengerjakan amal saleh tanpa terhubung sama sekali dengan noda. Dengan kata lain, dia berpegang teguh pada syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad. (1087).

Kesimpulannya, para pendidik spiritual dan para mursyid kamil telah menasehati para salik selama dalam perjalanan mereka menuju Allah dan telah menjelaskan kepada mereka bahwa jalan praktis yang dapat mengantarkan mereka untuk sampai kepada Allah dan mencapai ridha-Nya adalah memperbanyak zikir di setiap keadaan dan bergaul dengan orang-orang yang berzikir. Sebab, jiwa orang-orang yang berzikir dapat memutuskan hawa nafsu yang senantiasa mengajak kepada kejahatan.

Catatan:


  1. 102). Hamid Shaqqar, Nūr at-Taḥqīq, hlm. 147. 
  2. 103). Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari, Miftāḥ al-Falāḥ wa Mishbāḥ al-Arwāḥ, hlm. 4 
  3. 104). Abu Qasim al-Qusyairi, ar-Risālah al-Qusyairiyyah, hlm. 110. 
  4. 105). Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751 H), al-Wābil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib, hlm. 52. 
  5. 106). Fakhruddin ar-Razi, Tafsīr Mafātiḥ al-Ghaib (at-Tafsīr al-Kabīr), vol. IV, hlm. 472. 
  6. 107). Abu ‘Abbas Ahmad Zarruq al-Fasi, Qawu‘id at-Tashawwuf, hlm. 37. 
  7. 108). Ahmad ibn ‘Ajibah/‘Ujaibah, Tajrīd Syarḥ Matan al-Ajrūmiyyah, hlm. 29. 

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *