Bab II Bagian ke 4.
Dzikir
مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُوَنَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْ بِهِمُ الْمَلاَئِكَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَ ذَكَرَ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tidak satu kaum pun berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengitari mereka, rahmat akan melingkupi mereka, kedamaian akan turun kepada mereka dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (H.R. Muslim dan Tirmidzi). (1491).
مَنْ شَغَلَهُ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ عَنْ مَسْأَلَتِيْ وَ ذِكْرِيْ أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِيَ السَّائِلِيْنَ
“Barang siapa disibukkan oleh al-Qur’an dan dzikir dari meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikannya sesuatu yang paling utama di antara apa-apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta kepada-Ku.” (H.R. Tirmidzi dan Baihaqi).
“Di hari Kiamat, Allah akan memberi tahu kepada semua orang tentang golongan yang paling mulia.” Seorang sahabat bertanya: “Siapakah golongan yang paling mulia itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mereka adalah golongan yang mengadakan majlis-majlis dzikir dalam masjid.” (H.R. Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Hibban).
“Mengapa kalian duduk di majlis ini?” Para sahabat menjawab: “Kami sedang berdzikir dan bertahmid kepada Allah.” Kemudian beliau bersabda: “Jibril datang kepadaku dan memberitahukan bahwa Allah membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat.” (H.R. Muslim dan Tirmidzi).
“Tidak satu kaum pun berkumpul untuk berdzikir kepada Allah dengan hanya mengharap ridha-Nya, melainkan akan ada yang menyeru dari langit: “Berdirilah! Kalian telah memperoleh ampunan dan keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan.” (H.R. Ahmad).
“Apa yang sedang kalian ucapkan?” Mereka menjawab: “Kami sedang berdzikir kepada Allah.” Beliau bersabda: “Aku melihat rahmat telah turun dan aku sangat senang bergabung dengan kalian dalam kelompok zikir ini.” (H.R. Ahmad dan Hakim).
Ibnu Qayyim al-Jauziah menyatakan bahwa faedah dzikir lebih dari seratus. Di antaranya:
“Ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepada kalian.” (al-Baqarah: 152).
Jika dzikir tidak memiliki keutamaan selain ini, maka ini sudah cukup sebagai keutamaan dan kemuliaan baginya. Nabi s.a.w. meriwayatkan dari Allah:
مَنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ وَ مَنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ
“Barang siapa mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam hati. Dan barang siapa mengingat-Ku di hadapan para makhluk, maka Aku akan mengingatnya di hadapan para makhluk yang lebih baik dari mereka.” (H.R. Bukhari).
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلاً قَطُّ أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَابِ اللهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ
“Tidak ada perbuatan yang dikerjakan oleh anak Adam yang paling menyelamatkan dari azab Allah, selain dzikir kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi).
“Allah berfirman: “Barang siapa disibukkan oleh al-Qur’an, dan dzikir dari meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikannya sesuatu yang paling utama di antara apa-apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta kepada-Ku.” (H.R. Tirmidzi dan Baihaqi).
لَقِيْتُ إِبْرَاهِيْمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّي السَّلاَمَ وَ أَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ عَذْبَةُ الْمَاءِ وَ أَنَّهَا قِيْعَانٌ وَ أَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ وَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ
“Pada malam isra’, aku bertemu dengan Ibrahim al-Khalil a.s. Dia berkata: “Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu. Beritahukanlah kepada mereka bahwa surga itu tanahnya bagus, airnya segar dan luas. Dan tanamannya adalah kalimat: Subḥānallāhi, wal-ḥamdulillāhi, wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar.” (H.R. Tirmidzi).
مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ، وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، فِيْ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلُ عَشْرِ رِقَابٍ وَ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَ مُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَ كَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَومَهُ ذلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَ لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذلِكَ
“Barang siapa mengucapkan kalimat “Lā ilāha illallāhu waḥdahu lā syarīka lah, lah-ul-mulku wa lah-ul-ḥamd, wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr”, seratus kali dalam sehari, maka pahalanya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dicatat baginya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan dan dia akan memiliki tameng dari setan pada hari itu sampai sore hari. Tidak ada yang diganjar lebih baik dari dari apa yang diperolehnya itu kecuali orang yang mengamalkan lebih banyak darinya.” (H.R. Bukhari).
Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ فِيْ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَ إِنْ كَانَتْ مِثْلِ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barang siapa mengucapkan “Subḥānallāhi wa bi ḥamdih”, sehari seratus kali, niscaya akan dihapus dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di laut.” (H.R. Muslim).
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (al-Hasyr: 19).
Dalam sebuah riwayatkan, dikisahkan ada seorang ahli ibadah yang bertamu kepada seseorang. Si ahli ibadah menghabiskan waktu malamnya untuk shalat. Sedangkan si tuan rumah hanya berbaring di ranjangnya. Pada pagi harinya, si ahli ibadah berkata kepada si tuan rumah: “Engkau telah ketinggalan kafilah.” Si tuan rumah menjawab: “Keutamaan bukanlah milik seseorang yagn berjalan sepanjang malam, dan ketika pagi tiba dia masih berada di atas kendaraannya. Tapi keutamaan adalah milik orang yang sepanjang malam berbaring di ranjangnya, dan ketika pagi tiba dia sudah sampai di tujuan.”
Kisah di atas dan semisalnya memiliki dua penafsiran, yang satu benar dan yang lain salah. Barang siapa menafsirkan bahwa orang yang berbaring di atas ranjangnya mengungguli orang yang beribadah sepanjang malam, maka penafsirannya salah. Penafsiran yang benar adalah bahwa ia tuan rumah yang berbaring di atas ranjang itu menambatkan hatinya dengan Tuhannya dan meletakkan isi hatinya dengan ‘Arasy-Nya, sehingga sepanjang malam hatinya berkeliling di sekitar ‘Arasy-Nya bersama para malaikat. Dunia dan isinya telah hilang dari hatinya. Dia terhalang untuk bangun pada malam hari karena sakit. Atau karena dingin, atau karena dia takut atas keselamatan dirinya apabila ada musuh yang sedang mencarinya, atau alasan lainnya, sehingga dia berbaring di atas ranjang. Dan Allah Maha Tahu akan apa yang ada dalam hatinya. Sedangkan si ahli ibadah, dia terjaga, shalat dan membaca al-Qur’an, sementara di dalam hatinya terdapat hasrat pamer, ujub serta keinginan untuk mendapat penghormatan dan pujian dari manusia. Atau hatinya berada di suatu tempat dan raganya di tempat lain. Dengan demikian, tidak ada keraguan bahwa di pagi hari si tuan rumah yang berbaring telah mengungguli si ahli ibadah dalam beberapa tingkatan.
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (an-Nahl: 128).
“Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabut: 69).
“Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Anfal: 66).
“Janganlah engkau berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (at-Taubah: 40).
Kebersamaan ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat banyak bagi orang yang selalu berdzikir, sebagaimana dijelaskan dalam hadis qudsi: “Allah telah berfirman:
أَنَا مَعَ عَبْدِيْ مَا ذَكَرَنِيْ وَ تَحَرَّكَتْ بِيْ شَفَتَاهُ
“Aku bersama hamba-Ku selama dia berdzikir kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku.” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban).
Dalam hadis lain disebutkan:
“Golongan yang selalu berdzikir kepada-Ku adalah golongang yang selalu beserta-Ku di majlis-Ku. Golongan yang bersyukur kepada-Ku adalah golongan yang Aku tambahi nikmat mereka. Golongan yang taat kepadaku adalah golongan yang mulia di sisi-Ku. Dan golongan yang durhaka kepada-Ku adalah golongan yang Aku tidak menghalangi mereka dari rahmat-Ku. Jika mereka bertobat kepada-Ku, niscaya Aku akan mengasihi mereka. sesungguhnya Aku mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang mensucikan diri. Jika mereka tidak bertobat, maka Aku adalah ibarat tabib bagi mereka. Aku akan menguji mereka dengan beragam musibah, sehingga Aku mensucikan mereka dari kesalahan-kesalahan mereka.” (H.R. Ahmad).
Kebersamaan yang diperoleh oleh orang yang senantiasa berdzikir adalah kebersamaan yang tidak serupa dengan kebersamaan apa pun. Kebersamaan itu lebih khusus dari kebersamaan yang diperoleh oleh orang yang berbuat baik dan bertakwa. Kebersamaan itu tidak bisa diungkap dengan kata-kata dan tidak bisa dikatakan. Dia hanya dapat diketahui dengan perasaan atau intuisi.
Hamad ibn Zaid menyebutkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Hasan: “Wahai Abu Sa‘id (Hasan), aku mengadu kepadamu tentang kekerasan yang ada dalam hatiku.” Hasan berkata: “Cairkanlah dia dengan dzikir.”
Jika hati semakin lalai, maka kekerasannya akan semakin bertambah. Dan dzikir kepada Allah akan dapat mencairkan kekerasan hati tersebut, sebagaimana cairnya timah dalam api. Barang siapa ingi kekerasan hatinya cair, maka hendaklah dia melakukan dzikir kepada Allah.
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14) (152).
Barang siapa ingin mengetahui lebih mendalam tentang faedah dzikir, sebaiknya dai merujuk kitab-kitab yang mengkaji tentang dzikir, seperti kitab al-Adzkār karya Nawawi, kitab Miftāḥ-ul-Falāḥ karya Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari, kitab ‘Amal-ul-Yaum wal-Lailah karya Jalaluddin as-Suyuthi dan kitab-kitab lainnya.
Kalangan sufi mengerjakan dzikir kepada Allah secara berkesinambungan di setiap saat, sehingga mereka dapat meraih beragam faedahnya. Dengan demikian, mereka berbicara tentang faedah-faedah dzikir berdasarkan pengalaman yang mereka alami secara yakin. Dan mereka menasehati orang lain untuk banyak-banyak berdzikir kepada Tuhan, sebagai pengalaman terhadap hadis:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman seorang di antara kalian, sebelum dia mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana dia mencintainya untuk dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Nasa’i dan Tirmidzi).
Hasan Bashri berkata: “Hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling banyak dzikirnya dan paling takwa hatinya.”
Dzun-Nun al-Mishri berkata: “Dunia tidak indah kecuali dengan dzikir kepada Allah. Akhirat tidak indah kecuali dengan ampunan-Nya. Dan surga itu tidak indah kecuali dengan melihat-Nya.”
Abu Sa‘id al-Kharraz berkata: “Sesungguhnya di hari akhir kelak Allah akan mendahulukan roh-roh para kekasih-Nya untuk merasakan kelezatan berdzikir kepada-Nya dan mencapai kedekatan dengan-Nya. Allah akan mendahulukan raga mereka dengan berbagai kenikmatan dan melimpahkan karunia-Nya kepada mereka di atas yang lainnya. Kehidupan raga mereka adalah kehidupan para penghuni surga dan kehidupan roh mereka adalah kehidupan rabbani.” (153).
Dzikir terbagi ke dalam dua golongan dzikir orang awam dan orang khawwāsh. Dzikir orang awam adalah dzikir kepada Allah dengan dzikir yang dia kehendaki, sementara dia tetap berakhlak dengan akhlak tercela, seperti pamer, sombong, ujub, dengki dan sifat lainnya.
Sedangkan dzikir orang khawwāsh adalah dzikir yang disertai kehadiran hati. Yaitu, seorang hamba berdzikir kepada Allah dengan dzikir-dzikir khusus dan dengan cara-cara yang khusus pula untuk memperoleh makrifat kepada Allah, disertai penyucian dirinya dari akhlak-akhlak yang tercela dan menghiasinya dengan semua budi pekerti yang luhur. Dengan itu, dia berharap dapat keluar dari kegelapan raga dan mengetahui rahasia-rahasia rohani. Dianjurkan bagi orang yang berdzikir dengan model ini untuk menggunakan tasbih yang dengannya dia menghitung jumlah dzikir yang dia kehendaki, sehingga dia terbebas dari kesusahan menghitung jumlahnya.” (154).
Dzikir akan menyinari hati para murīd (sufi) dan membuka pintu karunia. Dzikir juga merupakan metode untuk mencapai tajalli dalam hati. Dan dengan dzikir, para murīd akan berakhlak dengan akhlak Nabi.
Catatan: