Keutamaan Bershalawat – Dala’il-ul-Khairat (3/3)

Dalā’il-ul-Khairāt
Ungkapan Cinta Terindah untuk Allah dan Rasūlullāh

Oleh: Muḥammad ibn Sulaimān al-Jazūlī
(w. 870 H./1465 M.)
 
Diterjemahkan dari Dalā’il-ul-Khairāti wa Syawāriq-ul-Anwār fī Dzikr-ish-Shalāti ‘alan-Nabiyy-il-Mukhtar.
Karya: Muḥammad ibn Sulaimān al-Jazūlī
 
Penerjemah: Tatam Wijaya
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Keutamaan Bershalawat - Dala'il-ul-Khairat

Salah seorang shalih mengisahkan: “Aku mempunyai seorang tetangga penyalin tulisan. Aku memimpikannya setelah dia meninggal. Dalam mimpiku itu, aku bertanya: “Apa yang telah Allah perbuat kepadamu?” Ia menjawab: “Allah telah mengampuniku.” Aku bertanya lagi: “Amal apa yang telah membuatmu diampuni?” Ia menjawab: “Dulu sewaktu aku menlulis nama “Muḥammad” di sebuah buku, aku bershalawat kepadanya. Sebab itulah Allah menganugerahiku dengan sesuatu yang belum pernah terlihat mata, belum pernah terdengar telinga, dan belum pernah terbesit dalam hati siapa pun.”

Anas ibn Mālik meriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. menyatakan:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَ مَالِهِ وَ وَلَدِهِ وَ وَالدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.

Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai aku menjadi orang yang paling dicintai daripada dirinya, hartanya, anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”

Pada suatu ketika, ‘Umar ibn Khaththāb bertanya:

أَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا نَفْسِيْ الَّتِيْ بَيْنَ جَنْبَيَّ فَقَالَ لَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ لَا تَكُوْنُ مُؤْمِنًا حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ عُمَرُ وَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِيْ الَّتِيْ بَيْنَ جَنْبَيَّ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: أَلْآنَ يَا عُمَرُ تَمَّ إِيْمَانُكَ.

Wahai Rasūlullāh, engkau adalah yang paling kucintai dari apa pun kecuali diriku yang ada di antara dua sisiku.” Lalu Nabi s.a.w. bersabda: “Tidaklah engkau jadi seorang mu’min yang sempurna sampai aku menjadi orng yang paling kaucintai daripada dirimu sendiri.” ‘Umar kembali berkata: “Demi Dzāt Yang menurunkan Kitāb (al-Qur’ān) kepadamu, engkau yang paling kucintai ketimbang diriku, yang ada di antara dua sisiku.” Beliau berujar: “Wahai ‘Umar, sekarang imanmu telah sempurna.”

قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَتَى أَكُوْنَ مُؤْمِنًا؟ وَ فِيْ لَفْظٍ آخَرَ مَؤْمِنًا صَادِقًا قَالَ إِذَا أَحْبَبْتَ اللهَ فَقِيْلَ وَ مَتَى أُحِبُّ اللهَ قَالَ إِذَا أَحْبَبْتَ رَسُوْلَهُ فَقِيْلَ وَ مَتَى أُحِبُّ رَسُوْلَهُ قَالَ إِذَا أَحْبَبْتَ رَسُوْلَهُ فَقِيْلَ وَ مَتَى أُحِبُّ رَسُوْلَهُ قَالَ إِذَا اتَّبَعْتَ طَرِيْقَتَهُ وَ اسْتَعْمَلْتَ سُنَّتَهُ وَ أَحْبَبْتَ بِحُبِّهِ وَ أَبْغَضْتَ بِبُغْضِهِ وَ وَالَيْتَ بِوِلَايَتِهِ وَ عَادَيْتَ بِعَدَاوَتِهِ وَ يَتَفَاوَتُ النَّاسُ فِي الْإِيْمَانِ عَلَى قَدْرِ تَفَاوُتِهِمْ فِيْ مَحَبَّتِيْ وَ يَتَفَاوَتُوْنَ فِي الْكُفْرِ عَلَى قَدْرِ تَفَاوُتِهِمْ فِيْ بُغْضِيْ أَلَا لَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا مَحَبَّةَ لَهُ أَلَا لَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا مَحَبَّةَ لَهُ أَلَا لَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا مَحَبَّةَ لَهُ.

Suatu ketika ada sahabat bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Kapan aku jadi seorang mu’min?” Dalam redaksi lain dikatakan: “Kapan aku menjadi seorang mu’min sejati?”
Ketika engkau mencintai Allah,” jawab Rasūlullāh s.a.w.
Sahabat itu kembali bertanya: “Kapan aku mencintai Allah?”
Ketika engkau mencintai Rasūl-Nya.” jawabnya s.a.w. lagi.
Ia kembali bertanya: “Kapan aku mencintai Rasūl-Nya?”
Ketika engkau mengikuti perjalanannya dan menjalankan sunnahnya. Engkau cinta karena kecintaannya, engkau murka karena murkanya. Engkau patuh karena ia memerintahkannya, dan engkau memusuhi karena ia memusuhinya. Sesungguhnya derajat keimanan seseorang itu berbeda-beda karena perbedaan derajat kecintaannya kepadaku. Begitu pula derajat kekufuran mereka berbeda karena perbedaan derajat kecintaannya kepadaku. Ingatlah, tidak ada iman bagi orang yang tak memiliki cinta. Tidak ada iman bagi orang yang tak memiliki cinta. Tidak ada iman bagi orang yang tak memiliki cinta,” kata Rasūlullāh.

Dalam kesempatan lain, Rasūlullāh juga pernah ditanya para sahabat:

نَرَى نُؤْمِنًا يَخْشَعُ وَ مُؤْمِنًا لَا يَخْشَعُ مَا السَّبَبُ فِيْ ذلِكَ فَقَالَ: مَنْ وَجَدَ لِإِيْمَانِهِ حَلَاوَةً خَشَعَ وَ مَنْ لَمْ يَجِدْهَا لَا يَخْشَعُ فَقِيْلَ: بِمَ تُوْجَدُ أَوْ بِمَا تُنَالُ وَ تُكْتَسَبُ قَالَ: بِصِدْقِ الْحُبِّ فِي اللهِ فَقِيْلَ: وَ بِمَ يُوْجَدُ حُبُّ اللهِ أَوْ بِمَ يُكْتَسَبُ فَقَالَ: بِحُبِّ رَسُوْلِهِ فَالْتَمِسُوْا رِضَاءَ اللهِ وَ رِضَاءِ رَسُوْلِهِ فِيْ حُبِّهِمَا وَ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ: مَنْ آلُ مُحَمَّدٍ الَّذِيْنَ أُمِرْنَا بِحُبِّهِمْ وَ إِكْرَامِهِمْ وَ الْبُرُوْرِ بِهِمْ فَقَالَ: أَهْلُ الصَّفَاء وَ الْوَفَاءِ مَنْ آمَنَ بِيْ وَ أَخْلَصَ فَقِيْلَ: وَ مَا عَلَامَتُهُمْ فَقَالَ: إِيْثَارُ مَحَبَّتِيْ عَلَى كُلِّ مَحْبُوْبٍ وَ اشْتِغَالِ الْبَاطِنِ بِذِكْرِيْ بَعْدَ ذِكْرِ اللهِ وَ فِيْ أُخْرَى: عَلَامَتُهُمْ إِدْمَانِ ذِكْرِيْ وَ الْإيْثَارُ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ.

Kami melihat ada mu’min yang khusyu‘ dan ada yang tidak khusyu‘. Apa sebabnya?” Beliau menjawab: “Siapa saja yang telah menemukan manisnya iman, dia akan khusyu‘. Namun, jika dia belum menemukannya maka dia takkan khusyu‘.” Lalu, Nabi s.a.w. ditanya lagi: “Dengan apa dan bagaimana manisnya iman itu dapat diraih?” Beliau menjawab: “Dengan cinta kepada Allah.
“Dengan apa dan bagaimana cinta kepada Allah di bisa diraih?”
Dengan mencintai Rasūl-Nya. Karena itu, carilah ridha Allah dan ridha Rasūl-Nya dengan mencintai keduanya,” jelas Rasūlullāh.
Rasūlullāh kemudian ditanya kembali: “Siapa saja keluarga Muḥammad yang kami diperintah untuk mencintai dan memuliakannya?” Beliau menjawab: “Orang yang bersih dan selamat itu yang beriman kepadaku dan tulus keimanannya.”
Beliau ditanya lagi: “Bagaimana ciri-ciri mereka?”
Mereka begitu mencintaiku dan selain mengingat Allah hatinya sibuk mengingatku.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Ciri-ciri mereka adalah ketagihan mengingatku dan memperbanyak shalawat kepadaku,” kata Rasūlullāh.

Dalam kesempatan lain, Rasūlullāh juga pernah ditanya:

مَنِ الْقَوِيُّ فِي الْإِيْمَانِ بِكَ فَقَالَ: مَنْ آمَنَ بِيْ وَ لَمْ يَرَنِيْ فَإِنَّهُ مُؤْمِنٌ بِيْ عَلَى شَوْقٍ مِنْ صِدْقٍ فِيْ مَحَبَّتِيْ وَ عَلَامَةُ ذلِكَ مِنْهُ أَنَّهُ يَوَدُّ رُؤْيَتِيْ بِجَمِيْعِ مَا يَمْلِكُ وَ فِيْ أُخْرَى: بِمِلْءِ الْأَرْضِ ذَهَبًا ذلِكَ الْمُؤْمِنُ بِيْ حَقًّا وَ الْمُخْلِصُ فِيْ مَحَبَّتِيْ صِدْقًا.

Siapa yang kuat keimanannya kepadamu?” Beliau menjawab: “Yang kuat keimanannya adalah orang yang beriman kepadaku meski ia belum pernah melihatku. Sebab dia beriman kepadaku karena benar-benar merindukan dan mencintaiku. Di antara tanda-tandanya adalah ia ingin sekali melihatku dengan segenap yang ia miliki.” Dalam riwayat lain dikatakan: “dengan bumi yang penuh dengan emas.” Beliau melanjutkan: “Dialah orang yang benar-benar mengimani dan mencintaiku.”

Rasūlullāh s.a.w. juga pernah ditanya:

أَرَأَيْتَ صَلَاةَ الْمُصَلِّيْنَ عَلَيْكَ مِمَّنْ غَابَ عَنْكَ وَ مَنْ يَأْتِيْ بَعْدَكَ مَا حَالُهُمْ عِنْدَكَ فَقَالَ أَسْمَعُ صَلَاةَ أَهْلِ مَحَبَّتِيْ وَ أَعْرِفُهُمْ وَ تُعْرَضُ عَلَيَّ صَلَاةُ غَيْرِهِمْ عَرْضًا.

Apakah engkau melihat shalawat orang yang tidak ada di hadapanmu dan shalawat orang yang datang setelahmu? Bagaimana keadaan mereka di sisimu?” Beliau menjawab: “Aku tetap mendengar shalawat orang-orang yang mencintaiku. Aku mengenali mereka karena shalawat mereka ditunjukkan kepadaku.”