Ketentuan Allah dan Penghidupan Manusia – Hakikat Hikmah Tauhid & Tashawwuf

Hakikat Hikmah Tauhid dan Tashawwuf
(al-Hikam)

Karya: Dr. Muhibbuddin Waly

Penerbit: Gunung Jati – Jakarta.

2. KETENTUAN ALLAH DAN PENGHIDUPAN MANUSIA.

 

Berkata al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī tentang Kalam Hikmahnya yang kedua sbb.:

2. إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ

Ingin engkau kepada tajrīd di samping Allah s.w.t. mendirikan (meletakkan) engkau di dalam asbāb (causes) adalah merupakan syahwat yang tidak nampak dilihat. Ingin engkau kepada asbāb di samping Allah mendirikan (menempatkan) engkau di dalam tajrīd berarti turun dari himmah (determination) Yang Maha Tinggi.”

Pengertian Kalam Hikmah ini sbb.:

  1. Kita menjumpai perkataan “al-Asbāb” (causes), maksudnya ialah:

(مَا يَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى عَرْضِ مَا يُنَالُ فِي الدُّنْيَا)

Sesuatu yang sampai dengannya kepada maksud yang dicapai di dalam dunia.”

Ya‘ni segala sesuatu di mana dengannya kita bisa sampai untuk maksud-maksud yang diperlukan di dalam kehidupan duniawi, misalnya mencari rezeki yang halal dengan berniaga atau bekerja dalam sifat yang diridhai Allah s.w.t.

Perkataan kedua kita dapati “AT-TAJRĪD” (DIVESTMENT), ialah:

(عَدَمُ تَشَاغُلِهِ بِتِلْكَ الْأَسْبَابِ)

Melepaskan diri dari al-Asbāb (causes).”

  1. Manusia dalam penghidupannya terbagi kepada dua macam:

2.1. Manusia yang ditentukan oleh Allah dalam status al-Asbāb. Manusia dalam status ini untuk menghasilkan penghidupannya dalam dunia adalah dengan jalan bekerja. Apabila tidak bekerja maka tidak bisa hidup. Sebagaimana dimaklumi pekerjaan manusia dalam mengatasi hidup banyak sekali corak-sifatnya adakalanya sebagai pedagang, pegawai, supir, guru, petani dan lain-lain sebagainya.

Apabila hidup kita selamat, tenteram atau dapat diatasi dengan pekerjaan kita yang kita kerjakan itu, maka menurut akhlaq dalam ‘ilmu Tashawwuf tidak diperbolehkan kita meninggalkan pekerjaan atau bekerja untuk kita pindah pada status yang lain, ya‘ni meninggalkan pekerjaan karena tujuan semata-mata melaksanakan ‘ibādah kepada Allah s.w.t.

Apabila pekerjaan kita itu kita tinggalkan, sehingga kita ber‘ibādah saja tanpa menghiraukan penghidupan kita dengan pekerjaan yang menjadi pekerjaan kita itu, maka akhlāq Tashawwuf mengajarkan kepada kita bahwa hal keadaan itu adalah syahwat semata-mata yang tersembunyi di dalam diri kita. Disebutkan dengan “syahwat” oleh karena kita tidak mau menuruti atau tidak mau sejalan dengan kehendak Allah s.w.t. Tuhan berkehendak untuk kemaslahatan kita dalam hidup dan kehidupan kita, agar kita bekerja ber‘amal dan berusaha.

Arti “Tersembunyi” ya‘ni syahwat itu disebut dengan syahwat yang tersembunyi (the closed/hidden desire), ialah ambisi yang besar pada menghampirkan diri semata-mata kepada Allah untuk kebahagian ukhrawi meskipun kehidupan duniawi morat-marit dan menyusahkan. Ambisi yang begini pada lahirnya secara sepintas lalu adalah baiik, tetapi pada hakikatnya sudah menyimpang dari ketentuan Allah disebabkan keinginan kita seperti tersebut di atas. Ambisi begini tidak kelihatan bagi manusia biasa, tetapi dilihat oleh manusia yang meng‘amalkan ajaran akhlāq Tashawwuf atau yang mengetahui ajaran ini.

2.2. Manusia yang ditentukan oleh Allah dalam status Tajrīd. Manusia dalam tingkatan status ini sudah tinggi nilainya pada sisi Allah.

Penghidupannya telah dimudahkan Allah, sehingga ia tidak sulit lagi dalam mengatasi hidup dan kehidupannya. Dia tidak perlu bekarja dan berusaha untuk menghasilkan rezeki, tetapi rezekilah yang datang kepadanya. Manusia dalam status ini dapat kita lihat kepada dua:

2.2.1. Manusia yang meskipun dia bekerja dan berusaha tetapi seolah-olahnya dia bekerja hatinya tertuju selalu bagaimana ia dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya, dan bagaimana ia selalu taqwa kepada Allah s.w.t. Maka manusia yang semacam ini meskipun ia ber‘amal dan bekerja, tetapi tidak memberatkan otaknya, bahkan pula Allah memudahkan rezekinya dan memberikan keberkatan pada usahanya yang tidak dikiranya sama sekali.

Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah dalam surat ath-Thalāq juz 28 ayat 2 dan 3.

……وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّهُ مَخْرَجًا. وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Barang siapa yang taqwā kepada Allah maka Allah akan memberikan jalan keluar (dari kesulitan-kesulitan) untuk orang itu. Dan Allah akan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber-sumber) yang tiada pernah dipikirkannya. Dan barang siapa yang tawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Tuhan itu melaksanakan kehendak-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengqadarkan bagi tiap-tiap sesuatu.”

2.2.2. Ada makhlūq manusia sama sekali tidak bekerja dan berusaha, selain hanya ber‘ibādah saja kepada Allah Yang Maha Esa. ‘Ibādah itu macam-macam sifatnya. Apakah pekerjaannya mengajar saja tanpa memungut upah tetapi menuntut ummat kepada ajaran-ajaran agama, misalnya dapat kita lihat pada sebagian ‘ulamā’-‘ulamā’ kita di pesantren-pesantren. Pekerjaan mereka adalah melulu mengajar, jangankan bekerja seperti bersawah dan lain-lain bahkan kemungkinan pula harta pun tidak ada, tetapi rezeki didatangkan Allah kepadanya. Beras diantarkan orang, ikan dibawakan, musim buah-buahan, maka buah pertama kalinya diniatkan buat sang Kiyai dan lain-lain. Ini terjadi di daerah.

Apabila di kota tentu lain pula sifatnya, sesuai dengan alam kemajuannya. Maka hamba-hamba Allah yang telah sampai dalam tingkatan ini berarti ia telah sampai atau telah diangkat oleh Allah ke maqām tajrīd.

  1. Hamba-hamba Allah yang telah diangkat martabatnya oleh Tuhan ke maqam tajrīd seperti dalam dua bagian di atas, maka akhlāq Tashawwuf menganjurkan kepadanya supaya jangan turun ke maqām al-Asbāb; apabila ia turun ke maqām asbāb berarti ia menurunkan nilai dirinya dari himmah (keinginan) yang bermutu tinggi.

Maksudnya, ia jangan turun untuk bekerja dan berusaha seperti orang-orang biasa, karena apabila ia turun ke tingkat ini, maka ‘ibādahnya akan terganggu, keberkahan yang telah diberikan Allah kepadanya akan dicabut Allah s.w.t.

  1. Walhasil, tiap-tiap status atau tingkatan keadaan yang telah ditentukan oleh Allah kepada setiap kita hendaklah kita menerimanya dengan ridhā dan ikhlāsh. Meskipun maqām-maqām antara kita sama kita berlain-lainan. Kita tidak boleh mencoba-coba memindahkan diri kita dari satu maqām (status) ke maqām yang lain, apakah maqam yang lain itu lebih tinggi dari semula, ataukah lebih rendah, seperti turun dari maqām tajrīd ke maqām Asbāb, terkecuali apabila Allah s.w.t. telah memindahkan kita dengan jalan adakala Tuhan tidak memberkati kita lagi pada satu-satu maqām, sehingga kita harus berpindah daripadanya.

Misalnya saja kita melihat bahwa dalam pekerjaan sehari-hari tidak menguntungkan kita lagi, baik pada dunia maupun pada agama kita, namun begitu kita berkewajiban membereskan duniawi dan ukhrawi kita sebagaimana mestinya.

Dengan demikian berarti sudah ada keinginan Allah kepada kita buat meninggalkan maqām al-asbāb untuk baik ke maqām tajrīd, dan demikian pulalah kebalikannya.

Untuk ini dapat kita fahami Firman Allah dalam surat al-Isrā’ juz 15 ayat 80:

وَ قُلْ رَّبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَ أَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَ اجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطَانًا نَّصِيْرًا

Dan katakanlah (hai Muḥammad): Ya Tuhanku! Masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang dapat memberikan bantuan.”

Apabila kita dalam tiap-tiap keadaan hidup dan kehidupan selalu berpegang kepada Allah, bertawakkal, menyerahkan diri dan tidak melupakan-Nya maka pasti Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu akan menuntun kita kepada jalan yang benar.

Firman Allah dalam surat Āli ‘Imrān juz 4 ayat 101:

وَ مَنْ يَعْتَصِمْ بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya orang itu telah diberikan petunjuk jalan yang lurus (benar).”

Demikianlah pengertian Kalam Hikmah di atas mengenai ketentuan Allah dan kehidupan manusia. Fahamilah artinya dan pengertiannya dan rasakanlah sampai di mana kita menurut pengajian kita ini, karena itu ambillah manfa‘at daripadanya, moga-moga Allah s.w.t. selalu menuntun kita kepada jalan yang benar dan (lurus).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *