“Sebagian yang menunjukkan pada engkau atas ada keperkasaan-Nya (Allah s.w.t.) Yang Maha Suci ialah bahwasanya Ia mendinding engkau daripada-Nya dengan sesuatu (yang pada hakikatnya tidak ada wujudnya serta-Nya Allah s.w.t.”
Penjelasan Kalam Hikmah yang ke-15 ini sebagai berikut:
Atas inilah Firman Allah ta‘ālā dalam surat al-Qashash juz 20, ayat 88:
وَ لَا تَدْعُ مَعَ اللهِ إِلهًا آخَرَ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Dan janganlah kamu seru Tuhan yang lain di sampingg Allah! Tiada Tuhan selain daripada-Nya. Segala sesuatu akan binasa selain dzāt-Nya Allah s.w.t. Hukum kekuasaan itu kepunyaan Allah dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan.”
Teranglah dengan ayat ini bahwa yang besifat ada pada hakekatnya dan sebenarnya adalah Allah s.w.t. Selain daripada Allah meskipun kita lihat adanya tetapi adalah menurut pandangan lahiriyyah semata-mata. Karena segala-galanya yang terjadi pada selain Allah adalah dengan kehendak-Nya menurut ‘ilmu-Nya dan dengan kekuasaan-Nya. Dan pada satu waktu semua selain Allah akan tiada dan akan binasa.
Berkata Penyair:
أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللهُ بَاطِلٌ
وَ كُلُّ نَعِيْمٍ لَا مُحَالَةَ زَائِلٌ.
“Ketahuilah! Segala sesuatu selain Allah adalah bāthil (tidak ada pada hakekatnya).
Dan sesuatu nikmat tidak mustaḥīl pada akan hilang (pada waktunya).”
Berkata Syaikh Abū-l-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. Bahwasanya kita melihat Allah s.w.t. adalah dengan penglihatan iman dan yakin. Oleh sebab itulah, maka tidak perlu lagi bagi kita dalīl dan burhān yang menunjukkan kepada Allah. Bahkan Allah yang kita lihat adalah dalīl atas makhlūq-makhlūqNya. Adakah (pada hakekatnya) sesuatu yang maujūd di dalam ‘alam ini selain dari Allah Yang Maha Esa lagi Maha Benar? Andainya, jikalau ada maka tak dapat tidak kita akan melihat semuanya itu (selain Allah) laksana debu yang beterbangan di udara, sekali pun jika engkau cari semuanya itu pada hakekatnya engkau tidak memperolehnya.
Inilah maksud perkataan dari sebagian ‘ulamā’ Muwaḥḥidīn Mutashawwifīn:
لَوْ كُلِّفْتُ أَنْ أَرَى غَيْرَهُ لَمْ اَسْتَطِعْ فَإِنَّهُ لَا غَيْرَ مَعَهُ حَتَّى أَشْهَدَهُ مَعَهُ.
“Jikalau aku dipaksa melihat selain Allah niscaya aku tidak sanggup karena tidak ada sesuatu yang lain beserta Allah sehingga aku melihatnya serta Allah.”
Maksudnya, demikianlah apabila ‘aqīdah Tauḥīd telah begitu mendalam maka meskipun mata kita melihat segala sesuatu dalam ‘alam ini, tetapi Allah yang selalu terlihat oleh kita dan tidak lain.
Demikian juga pahala-pahala akhirat dan kemuliaan-kemuliaan yang datang dari ‘amal ‘ibādah, ini pun pada hakekatnya juga dapat mendinding kita dengan Allah s.w.t. Sebab ini menurut hamba-hamba Allah yang ‘Ārifīn merupakan debu-debu yang nihil dan tiada. Tetapi yang Maha Agung dan Perkasa adalah Allah s.w.t. Oleh sebab itu, apabila segala hijab-hijab ini sudah terangkat dari kita, maka kita pasti akan lupa pada dunia dan akhirat, bahkan juga, kepada hal-hal, derajat-derajat dalam tingkatan-tingkatan ‘aqīdah kita dan dzikir-dzikir kita. Pada waktu itu kita fanā’ pada segala-segalanya dan terbukalah bagi kita dalam perasaan, penglihatan kita sendiri atas kebesaran dan ke-Agung-an Allah s.w.t. Kita karam dalam pengagungan dan ta‘zhīm kepada Allah, sehingga akal perasaan kita tertumpah pada-Nya.
Berkata Muḥyiddīn Ibn-ul-‘Arabī:
مَنْ شَهِدَ الْخَلْقَ لَا فِعْلَ لَهُمْ فَقَدْ فَازَ، وَ مَنْ شَهِدَهُمْ لَا حَيَاةَ لَهُمْ فَقَدْ فَازَ، وَ مَنْ شَهِدَهُمْ عَيْنَ الْعَدَمِ فَقَدْ وَصَلَ.
“Barang siapa yang melihat makhlūq di mana tidak ada kekuasaan pada mereka maka sungguh menang ia (fāza = sukses, berjaya, berhasil), dan barang siapa melihat makhlūq tiada hidup pada mereka, maka sungguh telah meliputi ia (meningkat naik pada tingkatan-tingkatan ‘aqīdah ilāhiyyah), dan barang siapa yang melihat makhlūq adalah nihil, maka sungguh ia telah sampai (ke titik yang dituju).”
Berkata penyair:
مَنْ أَبْصَرَ الْخَلْقَ كَالسَّرَابِ | فَقَدْ تَرَقَّ عَنِ الْحجَابِ |
إِلَى وُجُوْدٍ يَرَاهُ رَتْقًا | بِلَا ابْتِعَادٍ وَ لَا اقْتَرَابِ |
وَ لَمْ يُشَاهِدْ بِهِ سِوَاهُ | هُنَاكَ يُهْدِيْ إِلَى الصَّوَاب. |
“Barang siapa yang melihat makhlūq (keseluruhannya sebagai fatamorgana) penglihatan yang lain dari kenyataan, maka sungguh ia telah naik jauh dari hijab-hijab yang mendindingnya.
Ia telah naik menuju wujud yang dilihatnya dengan sesungguhnya (yakin) tidak jauh dan tidak hampir.
Ia tidak melihat dengan penglihatannya terkecuali wujud yang hakiki (Allah s.w.t.) di sanalah ia dapat petunjuk kepada jalan yang betul.”
Kesimpulannya, marilah kita angkat semua hijab dan dinding yang membatasi kita dengan Allah s.w.t. Segala hijab-hijab itu ialah segala syahwat duniawi dan ambisi mencapai pahala ukhrawi dan tingkatan-tingkatan dalam ukuran ‘ibādah yang terlintas dalam hati. Semuanya ini harus diangkat dari hati kita dan perasaan kita demi supaya betul-betul terarah kepada Allah s.w.t. dengan keridhaan-Nya yang kita cari dan yang kita kehendaki apabila semua hijab-hijab ini telah terangkat, maka barulah kita mencapai tawakkal yang sebenarnya kepada Allah s.w.t.
Dia adalah Maha Agung pada dzāt-Nya, pada segala perbuatan-Nya dan pada segala sifat-Nya.
In syā’ Allāh kita akan terus dipimpin oleh-Nya kepada jalan yang betul, kita mendapat keridhaan-Nya dengan nikmat ma‘rifat yang sempurna terhadap-Nya. Āmīn!