Ketika orang-orang Bashrah dilanda kelaparan, Syaikh Ḥabīb al-‘Ajamī membeli makanan. Lalu, membagikannya kepada orang-orang miskin. Pada mulanya beliau menjahit pakaiannya. Kemudian, beliau meletakkan pakaian itu di bawah kepalanya. Setelah itu, beliau berdoa kepada Allah s.w.t. Beberapa saat kemudian datanglah pembawa makanan menghampiri beliau. Setelah itu, beliau mengeluarkan pakaian itu. Tiba-tiba pakaian itu penuh berisi dengan uang dirham. Beliau menghitung jumlah uang tersebut. Ketika dihitung, ternyata uang itu sesuai dengan jumlah harga yang harus dibayarkan. Kisah ini diceritakan oleh Imām al-Yāfi‘ī.
Imām al-Minawī juga menceritakan: “Syaikh Ḥabīb al-‘Ajamī adalah seorang wali yang doanya selalu terkabul. Suatu hari, ibunya membuat adonan roti. Kemudian dia pergi untuk mencari bahan bakar guna memasak adonan itu. Saat dia pergi, datanglah seorang pengemis ke rumahnya. Kemudian, Syaikh Ḥabīb memberikan adonan itu kepada pengemis itu. Setelah kembali, ibunya bertanya: “Di mana adonannya?” Beliau menjawab: “Mereka telah pergi untuk memasaknya.” Ibunya bertanya-tanya seolah tidak percaya. Beliau pun menjawabnya dengan tenang. Beberapa saat kemudian ibunya mengatakan: “Sekarang kita harus mencari makanan apa saja.” Tiba-tiba ada seorang lelaki tak dikenal datang. Dia membawa segenggam roti sekaligus daging di kedua tangannya. Kemudian, sang ibu merasa heran. Dia mengatakan: “Sungguh cepat sekali mereka memasak roti ini. Mereka juga cepat sekali mendapatkan daging itu. Bahkan, mereka sangat cepat mengirimkannya kembali untukmu.”
Kisah lain menyebutkan bahwa ada seorang lelaki mengadu kepada Syaikh Ḥabīb saat akan meminjam uang kepada kreditur. Kemudian, Syaikh Ḥabīb mengatakan kepada kreditur itu: “Pinjamilah dia, saya yang akan menjamin utangnya.” Setelah itu, sang kreditur meminjamkan lima ratus dirham untuk orang yang mengadu kepada Syaikh Ḥabīb tersebut. Beliau pun menjadi penjamin atas pinjaman yang diberikan. Menjelang pelunasan utang beliau dicari sang kreditur. Beliau mengatakan: “Atas idzin Allah, besok in sya’ Allah uang itu akan sampai kepadamu.” Kemudian, beliau berwudhu’, lalu masuk ke dalam masjid. Lalu, datanglah sang kreditur. Beliau mengatakan kepadanya: “Pergilah kamu besok. Jika kamu menemukan sesuatu di masjid ini ambillah.” Keesokan harinya, sang kreditur itu pergi ke masjid. Benar apa yang dikatakan Syaikh. Di dalam masjid itu, sang kerditur menemukan bungkusan berisi uang sekitar lima ratus dirham. Sang kreditur menghitung kembali uang yang ada dalam bungkusan itu. Ternyata uang di lebih dari lima ratus dirham. Setelah itu, dia pergi ke Syaikh Ḥabīb untuk mengembalikan kelebihan yang ada. Namun, oleh beliau dikatakan: “Pergilah, semua kelebihan itu untuk kamu.”
Telah dikisahkan lagi bahwa Syaikh Ḥabīb sering mendapatkan untung yang melimpah dari berdagang. Untung itu biasa digunakan beliau untuk bersedekah. Suatu ketika, dagangan yang dibawa oleh beliau tidak laku. Dengan demikian beliau tidak mendapatkan keuntungan. Kemudian, beliau berdoa: “Ya Allah, orang-orang selalu berprasangka baik terhadapku. Sementara Engkau juga selalu memberikan banyak kelebihan kepadaku yang mana mereka tidak mengetahuinya. Untuk itu, janganlah Engkau memalingkan prasangka mereka terhadapku, sehingga saya juga memalingkan wajahku dari mereka.” Setelah itu, beliau masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba di sana ditemukan banyak karung yang dipenuhi dengan uang mulai dari lantai hingga atap rumah. Beliau berkata: “Ya Allah, saya tidak menginginkan semuanya ini.” Kemudian, beliau mengambil secukupnya dan meninggalkan sisanya.
Di antara karāmahnya adalah seperti yang dikisahkan bahwa suatu hari beliau berjalan hingga merasa sangat lapar dan lemas. Kemudian, beliau mendatangi dataran di atas sumber mata air, lantas duduk dan berdoa. Tiba-tiba, datang seorang budak perempuan kulit hitam tepat di depan matanya. Budak itu berkata: “Tuanku mengantarkan hadiah untukmu dan ia berkata, jika engkau menerimanya, saya merdeka.” Hamdawaih berkata: “Letakkan hadiah itu.” Setelah dibuka, ternyata hadiah itu adalah dua buah roti beserta telur yang diiris. Tapi, beliau justru tidak memakannya karena ta‘jub doanya begitu cepat dikabulkan.
Karamahnya yang lain adalah ia mampu menahan haus. Tapi, suatu ketika beliau membutuhkan air untuk bersuci dan setelah berusaha mencarinya beliau tak mendapatkan air itu. Beliau pun menangis dan berdoa: “Wahai Tuanku, Engkau telah mengetahui hajatku untuk bersuci dan berat bagiku untuk meninggalkannya.” Tiba-tiba muncullah tangan dari dinding menyodorkan bejana berisi air dan terdengar suara berkata:
“Ambil dan minumlah.”
“Bersuci itu lebih penting bagiku,” jawabnya.
Kemudian beliau ambil bejana itu, lalu berwudhu’, shalat dan minum. Setelah itu, beliau selama 80 hari tidak pernah minum.
Beliau adalah pembesar ‘ulama’ ‘arifin, imamnya ‘ulama’ ahli ibadah dan guru dari al-Harits al-Muhasibi. Di antara karamahnya, beliau pernah berkata: “Dahulu, aku pernah meninggalkan Syam untuk menyelamatkan diri melalui jalur gurun pasir, tapi aku tersesat dan tinggal di tengah-tengah gurun pasir selama berhari-hari, hingga aku hampir mati. Tiba-tiba ada dua orang rahib yang berjalan seakan keluar dari tempat yang dekat dan menuju rumah yang dekat. Aku bertanya:
“Hendak ke manakah kalian?”
“Kami tidak tahu,” jawab kedua rahib itu.
“Lalu, dari mana kalian datang?”
“Kami juga tidak tahu.”
“Apakah kalian tahu di mana kalian sekarang?”
“Iya, kami sekarang berada di dalam kerajaan-Nya, dalam kekuasaan-Nya dan di hadapan-Nya.”
Maka, aku cela seketika diriku sendiri dan berkata dalam hati: “Kedua rahib ini sudah mencapai tawakkal yang sempurna, kenapa aku tidak bisa!” Lalu, aku bertanya:
“Bolehkah aku mengikuti kalian?”
“Terserah engkau,” jawab mereka.
Aku pun mengikuti mereka dan ketika malam telah gelap, merekapun melaksanakan sembahyang dengan cara mereka dan aku pun menunaikan shalat. Aku menunaikan shalat Maghrib dengan tayammum, tapi mereka menertawakanku. Selesai shalat, salah satu dari mereka menggali pasir dengan tangan, dan tiba-tiba keluarlah air lalu tersedia makanan. Aku pun heran. Kemudian, mereka memanggilku: “Kemarilah dan mari makan bersama!” Kami pun makan dan minum. Setelah itu, aku bersiap-siap untuk menunaikan shalat, dan kulihat air yang tadinya mengenang meresap ke dalam pasir dan tak kelihatan lagi. Mereka sembahyang lagi dengan cara mereka bersama temannya, dan aku shalat munfarid.
Pagi pun tiba dan kami berjalan lagi hingga malam. Ketika malam telah gelap, mereka sembahyang lalu membaca beberapa doa dengan bahasa mereka. Setelah itu, sebagaimana biasa, mereka menggali pasir dengan tangan, lalu keluarlah air dan makanan tersedia seketika. Pada malam ketiga, mereka berkata: “Wahai orang Muslim malam ini adalah giliranmu.” (Kedua rahib itu seolah menantang kehebatan Muḥammad bin Ya‘qūb al-‘Arajī untuk ditunjukkan).
Ketika itu, aku merasa sangat malu dan bingung, lalu berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa dosa-dosaku tak menyisakan kedudukan bagiku di sisi-Mu, tapi aku mohon kepada-Mu agar jangan Engkau rendahkan aku dan jangan sampai dua orang rahib ini meremehkan Nabi kami Muḥammad s.a.w., dan umatnya.” Tiba-tiba, air pun gemericik dan datanglah banyak makanan. Melihat itu, mereka keheranan dan bertanya doa apa yang dibaca. Beliau pun memberitahunya dan makan bersama. Kemudian, mereka berikrar masuk Islam.