Tidak sepatutnya penjual bersumpah, berdusta, atau mengingkari janji. Sumpah palsu menghilangkan keberkahan mata pencarian. Ada perkataan: “Celakalah pedagang yang bersumpah-sumpah demi Allah untuk mengatakan “ya” atau “tidak” (hanya demi terjualnya dagangannya), dan celakalah produsen yang berjanji-janji bisa memenuhi pesanan dalam waktu segera, (hanya demi dipesannya barang produksinya).”
Dari Abū Hurairah diriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah mengatakan: “Tiga macam orang yang tidak dilihat Allah pada hari kiamat: hamba yang sombong, orang yang suka memberi dengan mencaci, dan orang yang menjual barang dengan bersumpah (untuk memuji-muji).”
Produsen atau pedagang tidak semestinya memuji-muji barang produksi atau jualannya, dan konsumen atau pedagang juga tidak semestinya menjelek-jelekkan barang yang dibeli atau dipesannya. Tindakan ini tidak akan menambah rezekinya. Meninggalkan perbuatan ini juga tidak akan mengurangi rezekinya. Ini termasuk tolok ukur keyakinan terhadap rezeki dari Allah. Mengerjakannya bisa menambah dosa dan mengurangi keimanan kita.
Produsen hendaknya memberi tahu para pengguna tentang cara menggunakan dan kegunaan barang produksinya karena dialah yang lebih tahu tentang kualitas barang itu, kelebihan dan kekurangannya, serta daya tahannya. Dia hendaknya memaparkan cara terbaik untuk menggunakan barang itu sehingga bisa awet, dan pengguna yang awam bisa menghindarkan kerusakan sebelum waktu wajarnya. Kalau produsen dan pedagang melakukan itu, maka keduanya sudah mengamalkan ilmunya dan bebas dari tanggung-jawabnya. Pemerintah perlu memastikan setiap produsen dan pedagang melakukan itu, maka keduanya sudah mengamalkan ilmunya dan bebas dari tanggung-jawabnya. Pemerintah perlu memastikan setiap produsen dan pedagang berilmu dan bertanggung-jawab atas barang yang mereka jual kepada konsumen.
Di antara cerita tentang pedagang pasar di kalangan salaf adalah cerita kalau mereka mempunyai dua daftar piutang. Salah satunya memuat daftar nama orang-orang fakir dan du‘afā’ yang tidak mereka kenal. Itu karena orang-orang miskin dan du‘afā’ kalau melihat makanan atau bahan makanan mereka malu untuk meminta yang mereka butuhkan namun juga tak mampu membelinya. Mereka akan bilang kepada penjual: “Saya butuh tiga atau lima kilo ini, tapi saya tak punya uang untuk membelinya.” Si penjual pun mengatakan: “Ambil saja ini. Kalau engkau mendapat rezeki, baru engkau bayar.” Lalu si penjual pun mencatat nama orang tadi dalam daftar piutang khusus.
Yang melakukan demikian adalah orang-orang muslim biasa, bukan yang terbaik dari mereka. Yang lebih baik lagi tidak mau mencatat nama si miskin dalam daftar piutangnya, tidak menganggapnya utang yang wajib dibayar. Muslim yang lebih baik akan mengatakan: “Ambillah apa yang engkau perlukan. Kalau engkau mendapat rezeki, silakan bayar. Tetapi kalau tidak, engkau tak perlu membayar. Jangan risaukan soal ini.”
Ini tradisi yang sudah hilang. Siapa melaksanakannya berarti ia menghidupkannya. Yang seperti mereka-mereka yang disebut di sini sebetulnya lebih banyak lagi – tak cukup untuk disebut dalam sebuah kitab. Mereka yang mengamalkan agama dengan sangat ketat dan begitu murah hati kepada saudaranya, jumlahnya lebih banyak lagi. Kami menyebut mereka di sini hanyalah untuk mengingatkan orang-orang yang sudah lupa dengan amalan mereka dan mengungkap sebagian yang hilang dari tradisi mereka. Mereka para pedagang pasar yang disebut di sini tidak semuanya orang-orang terbaik (banyak yang merupakan orang-orang biasa). Orang-orang terbaik, yang termasuk ahli ibadah, ahli masjid, dan ahli zuhud, bila sudah mendapatkan keuntungan yang cukup dalam setengah hari, mereka akan jadikan setengah hari sisanya sebagai kesempatan bagi sesamanya. Ada yang menutup kedainya setelah shalat zhuhur lalu menjadikan setengah hari yang tersisa untuk beribadah sepenuhnya. Ada yang menutup kedainya ba‘da ‘Ashar lalu menjadikan sisa harinya untuk urusan akhirat semata. Ada juga yang begitu mendapatkan keuntungan sekadarnya, sementara makanan buat keluarganya sudah cukup tersedia, ia akan langsung menutup kedainya (sekalipun masih pagi), lalu pulang ke rumah atau pergi ke masjid untuk beribadah sepenuhnya. Ada juga yang begitu untung barang beberapa receh, menutup kedai karena rasa qanā‘ah dan zuhudnya, atau karena hasratnya akan dunia sedikit. Yang paling mengherankan adalah yang dilakukan Ḥammād ibn Salamah, yang menjual roti dengan menjinjing keranjang, yang bila sudah mendapat untung dua potong roti, ia akan tenteng pulang keranjangnya.
Ibrāhīm ibn Adham pernah menasihati Ibrāhīm ibn Yasār: “Engkau ini mencari dan dicari. Engkau dicari oleh sesuatu yang pasti engkau jumpai, dan engkau juga mencari sesuatu yang pasti menjumpaimu. Tidakkah engkau pernah melihat orang serakah yang terhalang mendapatkan apa yang dia inginkan sementara ada orang lemah yang diberi rezeki berlimpah?”
Banyak para pengrajin bekerja setengah hari saja, atau sepertiga hari saja, kemudian mereka pergi ke masjid. Ada juga yang bekerja sehari atau dua hari saja dalam seminggu lalu di hari-hari lain sibuk beribadah kepada Allah. Mereka menjadikan pagi dan sore waktu untuk perniagaan akhirat, sedang siang untuk perniagaan dunia.
Di sebuah hadits dikatakan: “Bila dalam catatan amal seorang hamba yang dilaporkan oleh malaikat, dia berbuat baik dan mengingat Allah pada pagi dan sore hari, Allah ampuni amal buruk yang dikerjakannya di antara pagi dan sore itu.”
Dalam suatu hadits disebutkan: “Malaikat yang bertugas malam dan malaikat yang bertugas siang bertemu pada waktu fajar, yang bertugas malam bubar sedang yang bertugas siang turun, dan pada waktu asar, saat yang bertugas malam turun sedang yang bertugas siang bubar. Allah bertanya kepada para malaikat yang usai bertugas: “Bagaimana keadaan hamba-hambaKu saat kalian tinggalkan?” Mereka menjawab: “Sewaktu kami tinggalkan, mereka sedang menjalankan shalat, dan sewaktu kami datang pun mereka sedang melakukan shalat.” Allah pun berkata: “Saksikanlah bahwa Aku sudah mengampuni mereka.”
‘Alī ibn Abī Thālib pernah lewat pasar Kūfah sambil membawa susu. Ia berpesan: “Wahai para pedagang, ambillah secara benar dan berikanlah secara benar maka kalian selamat, dan janganlah kalian menolak keuntungan yang sedikit sehingga keuntungan yang lebih banyak pun dijauhkan dari kalian. Bila sesuatu yang benar dijauhkan, maka kebatilanlah yang akan berkembang.”
‘Abd-ur-Raḥmān ibn ‘Auf pernah ditanya apa yang membuatnya mudah dalam berbisnis. Jawabnya: “Ada tiga, aku tidak menolak keuntungan yang sedikit, aku tidak menunda menjual hewan yang sudah diminta dariku, dan aku tidak pernah berjual-beli dengan para perempuan.” Ada yang menceritakan bahwa dia pernah menjual seribu unta betina dengan keuntungan dau ribu dirham. Yang seribu ia ambil, dan yang seribu lagi ia sedekahkan pada hari itu juga.
Orang-orang yang warak tidak menyukai mengarungi lautan demi berniaga. Ada yang mengatakan: “Siapa mengarungi lautan untuk perdagangan, ia telah terlalu jauh dalam mencari rezeki.” Ada riwayat mengatakan: “Janganlah menyeberangi lautan selain untuk berhaji, berjihad dalam perang, atau berumrah.” ‘Umar dikabarkan pernah berpesan agar harta anak yatim yang tak terzakati dijadikan sebagai modal usaha untuk memberi mereka keuntungan, tapi jangan untuk modal berbisnis hewan karena potensi ruginya besar, ataupun untuk berdagang sampai mengarungi lautan.
‘Amr ibn al-‘Āsh pernah mengatakan: “Janganlah engkau menjadi orang pertama yang masuk pasar, ataupun yang paling akhir keluar pasar, karena syaithan akan menetap dan berkembang biak di situ. Diriwayatkan dari Mu‘ādz ibn Jabal dan ‘Abdullāh ibn ‘Umar bahwa Iblīs pertama masuk pasar dan yang paling akhir keluar pasar.
Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbās kabarnya pernah mendengar Rasūlullāh s.a.w. melarang orang masuk pasar pagi-pagi lalu pulang dari pasar paling belakangan. Dalam hadits yang populer dikatakan: “Seburuk-buruk tempat menetap adalah pasar, dan seburuk-buruk penghuninya adalah yang paling awal masuk dan paling akhir keluar.”
Jika pekerjaan untuk mencari nafkah dijalani dengan sifat-sifat yang terpuji ini, maka pelakunya berada di jalan Allah. Setiap sesuatu yang menjadi jalan bagi kebahagiaan akhirat, jugalah termasuk urusan akhirat. Akan tetapi, kalau pekerjaan dilakoni tanpa hiasan taqwa dan hanya demi mengejar keuntungan dunia, tanpa peduli dengan pengamalan agama, tanpa peduli dari mana harta didapatkannya, tanpa peduli bagaimana harta dibelanjakannya, maka ini termasuk maksiat, sesuatu yang dibenci. Meninggalkannya lebih disukai.
“Orang yang bertawakkal berusaha dengan kekuatan mata batin, keyakinan bulat atas janji Allah, kepercayaan penuh terhadap jaminan-Nya. Ia tak menghiraukan manusia yang menakut-nakutinya ataupun setan yang merayunya, sehingga ia sukses dalam usahanya, dan beruntung dalam pencariannya.”Imām al-Ghazālī.