Tidak patut orang yang bekerja di pasar disibukkan oleh pekerjaan dunianya sampai lupa akhiratnya, dijauhkan oleh perdagangan duniawi dari perdagangan ukhrawi, atau dihalangi oleh pasar dunia dari pasar akhirat, karena ia termasuk orang-orang yang yakin. Rumah-rumah Allah-lah yang merupakan pasar-pasar akhirat. Allah berfirman:
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَ لَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ
“Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual-beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat….” (an-Nūr [24]: 37). Dan Allah berfirman:
فِيْ بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَ يُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَ الْآصَالِ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (an-Nūr [24]: 36). Sehingga, seorang hamba hendaknya menjadikan pagi dan sore untuk berkhidmat kepada Allah, mengingat-Nya, bertasbih kepada-Nya, di rumah-Nya dengan cara sebaik-baiknya.
Pernah ‘Umar memerintah para pedagang: “Jadikanlah awal hari-harimu untuk Allah ‘azza wa jalla, dan selebihnya untuk diri kalian.” Dalam riwayat-riwayat tentang generasi salaf, mereka menjadikan awal hari mereka untuk akhirat, dan akhir hari untuk dunia. Kabarnya, pada musim dingin, hanya anak-anak kecil dan nonmuslim yang menjual manisan karena penjual manisan berada di masjid sampai matahari terbit. Menurut kabar, mereka berkumpul di masjid bakda asar untuk berdzikir, bertasbih, sampai ada orang yang bertanya apakah mereka mau shalat ‘Ashar karena mengira mereka duduk-duduk untuk shalat, padahal mereka duduk untuk bertasbih sampai matahari terbenam.
Seorang ‘ārif berkata: “Manusia itu tiga macam: orang yang disibukkan oleh urusan akhirat sehingga mengabaikan urusan pencahariannya, ini adalah derajat orang-orang yang beruntung; orang yang sibuk untuk urusan pencaharian demi urusan akhiratnya, ini adalah derajat orang-orang yang selamat; dan orang yang disibukkan oleh urusan pencaharian sehingga mengabaikan urusan akhirat, ini adalah keadaan orang-orang celaka.” Orang yang lebih alim lagi berkata: “Siapa mencintai Allah ia hidup, siapa mencintai dunia ia luput, dan orang bodoh makan dan tidur dalam keadaan terpecut.”
Ibnu ‘Umar r.a. kalau masuk pasar, ia berdoa:
اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَ الْفُسُوْقِ وَ مِنْ شَرِّ مَا أَحَاطَتْ بِهِ السُّوْقُ. اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ يَمِيْنٍ فَاجِرَةٍ وَ صَفَقَةٍ خَاسِرَةٍ.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap kufur, fasik, dan kejahatan di sekeliling pasar. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sumpah palsu dan transaksi yang merugikan.”
Ia berdzikir mengingat Allah di pasar, sesuatu yang tak orang lain lakukan. Ia mengandalkan dzikrullāh pada saat orang tenggelam dalam kelalaian, saat manusia berdesakan untuk berjual-beli.
Al-Ḥasan pernah berkata: “Orang yang mengingat Allah di pasar memasuki hari kiamat dalam keadaan bercahaya seperti rembulan, terang-benderang seperti sang surya. Dan siapa beristigfar di pasar, akan diampuni dosanya sebanyak keluarganya.”
Dalam keterangan yang umum disebutkan: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara orang-orang yang lalai seperti pejuang di tengah orang-orang yang lari dari perang, dan seperti orang yang hidup di antara orang-orang yang mati.” Dalam keterangan yang khusus disebutkan: “Siapa masuk pasar lalu mengucap lā ilāha illallāhu waḥdahu lā syarīka lah, lah-ul-mulku wa lah-ul-ḥamd, yuḥyi wa yumītu, wa huwa ḥayyun lā yamūtu, biyadih-il-khair wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr, Allah akan catatkan baginya dua juta kebaikan.”
Ibnu ‘Umar dan Muḥammad ibn Wāsi‘ pernah masuk pasar dengan sengaja untuk berdzikir demi mencari keutamaan. Maka, jika engkau masuk pasar, atau berada di pasar, jangan luput dari tahlil dan dzikir untuk mengisi waktumu, dan jangan duduk di pasar untuk selain mengingat Allah atau bekerja karena hal itu makruh. Dan jika engkau mendengar suara azan, bergegaslah untuk shalat dan jangan menunda-nundanya sehingga ketinggalan shalat jamaah. Kalau tidak demikian, menurut seorang ulama, itu fasik namanya, kecuali bila waktunya masih sangat luang ataupun ia berniat shalat jamaah di masjid lain. Didapatinya takbīrat-ul-iḥrām dalam shalat jamaah masih lebih baik baginya ketimbang seluruh keuntungan duniawi yang ia dapatkan sampai mati. Ketertinggalannya dari shalat berjamaah lebih merugikan ketimbang seluruh kerugian duniawinya. Kalau ia berakal, jelaslah masalah ini baginya.
Orang-orang salaf yang bekerja di pasar, ketika mendengar adzan, mereka bergegas ke mesjid, dan bersembahyang sunnah hingga waktu iqāmah. Pasar-pasar menjadi sepi dari pedagang. Waktu shalat pun menjadi kesempatan meraup pemasukan bagi anak-anak dan nonmuslim. Para pedagang memberi mereka upah dengan uang recehan karena mereka menjaga kedai saat para pedagang itu pergi ke masjid. Ini tradisi lama, siapa yang mempraktikkannya, berarti menghidupkannya kembali.
Dalam suatu tafsir atas ayat:
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَ لَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ
“Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual-beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat....” (an-Nūr [24]: 37), dikatakan: mereka itu adalah para pandai besi dan tukang sol sepatu. Kalau ada seorang dari mereka sedang memalu besi atau menjahit sepatu lalu mendengar adzan, mereka langsung meninggalkan perkakas mereka dan bergegas untuk shalat.
Tentang orang yang berjual-beli setelah adzan Jumat, Imām Mālik dikabarkan berpendapat bahwa jual-beli itu batal. Yang lain mengatakan, ia telah meninggalkan ibadah dengan sengaja. Hendaknya ia meminta ampun kepada Tuhannya. Rābi‘ah berpendapat, orang itu telah zhalim dan berbuat buruk. Menurut Mālik, jual-beli terlarang sampai imam keluar masjid seusai shalat Jumat.
Setiap pekerjaan yang mendekatkan diri pelakunya kepada Allah dan termasuk amal kebajikan ukhrawi, tidak sepatutnya diberlakukan tarif, seperti mengajarkan al-Qur’ān, mengajarkan suatu ilmu agama, memimpin majelis dzikir, menjadi imam shalat di bulan Ramadhān, memandikan jenazah, dan yang sejenisnya. Sebab, ini semua adalah “perniagaan akhirat”. Maka janganlah memungut upahnya selain di akhirat. Siapa memungut upahnya di dunia, sungguh merugilah ia.
Makruh hukumnya bertransaksi dengan koin palsu (yang terlanjur diterima dari orang lain), koin yang sudah tidak jelas nilainya, atau logam mirip koin yang tercampur di antara koin. Banyak ulama salaf malah mengharamkannya – seperti ats-Tsaurī, al-Fudhail ibn ‘Iyādh, Wahb ibn al-Ward, Ibnu al-Mubārak, Bisyr ibn al-Ḥārits dan al-Mu‘āfī ibn ‘Imrān. Dikatakan, untuk setiap koin palsu yang dibelanjakan oleh seseorang, ia akan mendapatinya tertempel di catatan amalnya (di akhirat) dan tertulis di bawahnya seribu keburukan.
Ada ulama mengatakan bahwa membelanjakan satu dirham palsu lebih berat pelanggarannya ketimbang mencuri seratus dirham. Sebab, mencuri seratus dirham hanyalah satu maksiat, sementara menginfakkan uang palsu adalah perbuatan bid‘ah, teladan buruk yang diikuti orang lain, dan merusak harta kaum muslim, sehingga dosanya terus mengalir selama uang itu beredar dan digunakan kaum muslimin – sampai uang itu tak ada atau tak berlaku lagi.
Beruntunglah orang yang mati dan terhenti dosanya seiring dengan kematiannya, dan celakalah orang yang mati tapi terus mengalir dosanya hingga seratus atau dua ratus tahun setelahnya – yang karenanya ia mendapat adzab di kuburnya. Allah berfirman:
وَ نَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَ آثَارَهُمْ
“…. dan Kami catat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan….” (Yāsīn [36]: 12), yakni perbuatan yang diikuti orang-orang sesudah mereka. Allah juga berfirman:
يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَ أَخَّرَ
“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang telah dilalaikannya.” (al-Qiyāmah [75]: 13), yakni berupa perbuatan yang diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Rasūlullāh s.a.w. juga pernah bersabda: “Siapa mempelopori suatu keburukan yang diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka.”
Bagi yang mengetahui, membelanjakan uang yang jelek kualitasnya itu lebih berat dan serius pelanggarannya. Bagi yang tidak mengetahui, pelanggarannya lebih ringan, karena ia tidak menyengaja menggunakannya. Umat muslim perlu mempelajari kualitas uang agar sesama muslim terhindar dari penipuan. Dan bila sudah dipelajari haruslah diamalkan. Kalau tidak, ilmunya bisa menjadi dosa bagi yang mempelajarinya. Siapa menerima uang yang buruk kualitasnya tapi tidak menggunakannya lagi dan berharap balasan dari Allah, maka ia mendapat ganjaran satu kebaikan untuk setiap dzarrah dari uang itu dan mendapat keringanan untuk kekurangan-kekurangannya dalam banyak ibadah seperti puasa dan shalat.