Disebutkan dalam suatu khabar: “Tidaklah seorang hamba istiqamah sampai qalbunya istiqāmah, dan tidaklah qalbunya istiqāmah sampai lisannya istiqāmah.” Diriwayatkan dari Nabi s.a.w. tentang firman Allah:
الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ لَمْ يَلْبِسُوْا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَ هُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An‘ām [6]: 82), siapakah mereka itu? Beliau bersabda: “Orang yang benar dalam berikrar, jujur dalam bertutur, istiqāmah qalbunya, serta memelihara kemaluan dan perutnya.”
Hendaklah orang yang berkeliling untuk mencari nafkah berniat menghindarkan dirinya dari masalah, tidak bergantung kepada orang lain, menghilangkan ketamakan, dan sikap mengagung-agungkan orang. Itu adalah ibadah jika ia meniatkan itu semua. Dan hendaklah orang yang berusaha mengintrospeksi diri dan makanan keluarganya, sehingga itu menjadi sedekah baginya. Ia wajib jujur dalam bertutur kata, bersih dalam bermuamalah dengan sesama muslim, tidak mengancam keselamatan orang lain, dan selalu memprioritaskan agama dan ketaqwaan dalam setiap hal. Jika urusan dunianya tertata baik, ia memuji Allah, dan itulah yang menjadi keuntungan sebenarnya baginya. Tetapi, jika urusan dunianya tidak berjalan lancar, ia pun benar-benar menjaga agama dan modal ketaqwaannya, dan inilah yang menjadi pemasukan sebenarnya baginya. Sebab, siapa mendapat laba dunia tapi merugi dalam agama, maka perniagaannya sebenarnya tidaklah sukses dan ia di sisi Allah termasuk orang yang merugi.
Seorang ulama salaf berkata: “Hal terpenting bagi orang yang berakal adalah yang paling ia butuhkan di kehidupan dunia ini, dan yang paling ia butuhkan di kehidupan dunia ini adalah yang paling besar balasannya di kehidupan akhirat nanti. Karena itu, Mu‘ādz ibn Jabal berpesan: “Engkau harus memperhatikan urusan dunia, tetapi engkau lebih membutuhkan urusan akhirat, maka selalu dahulukanlah urusan akhirat, karena itu akan membuat urusan duniamu teratur dengan baik.”
Allah ta‘ālā berfirman:
وَ لَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“… dan janganlah kamu lupakan bagianmu dalam hal dunia….” (al-Qashash [28]: 77). Janganlah kamu meninggalkan bagianmu di dunia dalam hal dunia demi akhirat. Karena, bila engkau mencari penghidupan yang baik, engkau termasuk orang yang berbuat baik. Ini tersirat dari lanjutan ayat itu:
وَ أَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَ لَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ
“….dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (al-Qashash [28]: 77).
Ada ulama yang berkata: “Siapa masuk pasar untuk berjual beli, tapi dirhamnya lebih ia sukai ketimbang kalau dirham itu menjadi milik orang lain, ia belum percaya kepada kaum muslim.” Ulama lain berkata: “Siapa membeli sesuatu dari orang lain yang dijual dengan harga sedirham tapi ia hanya mau membelinya dengan harga lima daniq [1 daniq – 1/6 dirham], ia masih belum bisa menyukai sesuatu untuk saudaranya seperti halnya kalau ia suka bila sesuatu itu menjadi miliknya, hatta ia mau membeli dengan harga sedirham. Sepatutnya sikap kalbunya terhadap dirhamnya itu sama dengan kalau dirham itu menjadi milik saudaranya, sehingga ia adil, baik dalam membeli ataupun menjual, dan menjaga syariat Allah dalam masalah jual-beli, dan menjaga kehalalan dari dirham itu dan apa yang dibeli dengan dirham itu. Dengan begitu, hartanya itu bukan merupakan hasil pengkhianatan, pencurian, korupsi, perampasan, pembunuhan, atau tipu muslihat. Ini adalah hal-hal terlarang yang membuat mata pencaharian yang halal pun menjadi haram. Namun, kalau ia menjauhi hal-hal ini, tidak menyaksikan salah satu hal terlarang itu dengan matanya sendiri, atau tidak ada yang memberi tahunya (bahwa itu memang haram), maka pekerjaannya ini menjadi syubhat, tetapi juga tidak halal lantaran hal itu, karena memungkinkannya unsur-unsur terlarang itu masuk di dalamnya, dan karena ia tidak yakin betul dengan kehalalan asalnya, dan kehalalan asal dari asalnya, karena sedikitnya orang yang bertaqwa dan hilangnya orang-orang yang warak. Namun, ini termasuk sesuatu yang mendekati halal.
Dalam hadis disebutkan bahwa Nabi s.a.w. disuguhi susu, lalu beliau bertanya dari mana susu itu. Dikatakan kepada beliau, susu itu dari domba jenis tertentu. Beliau pun bertanya lagi, dari mana domba itu. Dikatakan kepada beliau dombanya dari tempat penggembalaan tertentu. Lalu beliau pun meminumnya, kemudian bersabda: “Sesungguhnya para nabi diperintah untuk hanya memakan yang baik-baik, dan hanya berbuat yang baik-baik. Dan Allah memerintahkan kepada orang beriman apa yang Dia perintahkan kepada para rasūl, sehingga Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang beriman, makanlah yang baik-baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kamu.” (al-Baqarah [2]: 172). Di sini Nabi s.a.w. bertanya tentang asal dari sesuatu, dan asal dari asalnya, tetapi Nabi tidak bertanya lagi tentang asal sebelumnya, karena itu bisa memberatkan padahal yang ditanya tidak tahu hakikatnya.
Bisa saja harta pedagang dan pengrajin bercampur dengan harta para tentara, yang memperolehnya secara tidak benar. Dengan transaksi mereka dengan para pedagang, mereka pun membuat harta haram itu beredar ke para pedagang dan pengrajin, yang enggan mengetahui apakah harta itu berasal dari sumber yang haram atau tidak karena sedikit sekali mereka bertaqwa dan tidak pula mereka bersikap warak. Dengan demikian, keharaman pun mengungguli kehalalan. Peduli dengan kehalalan adalah cabang dari ketakwaan. Peduli dengan kehalalan adalah cabang dari ketaqwaan dan sikap warak. Bila banyak orang bertaqwa dan bersikap warak, banyak pulalah harta yang benar-benar halal. Tetapi bila sedikit jumlah mereka, keharaman pun merajalela.
Kehalalan pada zaman dahulu ada karena adanya generasi salaf yang saleh. Orang-orang bersikap warak dan tidak mau mengambil apa yang bukan hak mereka. Mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa dan selalu meninggalkan sebagian hak mereka karena takut adanya unsur syubhat. Karena itu, kehalalan pun melimpah. Diceritakan dari seorang fakih ‘Iraq: “Aku tidak menerima kesaksian orang yang kikir.” Ia ditanya mengapa begitu. Jawabnya: “Sikap kikir membuatnya mengambil apa yang bukan miliknya. Lagi pula ‘Alī ibn Abī Thālib dikabarkan pernah mengatakan: “Orang dermawan tak perlu diinvestigasi.” Ia lalu membaca ayat:
عَرَّفَ بَعْضَهُ وَ أَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ
“… dan memberitahukan sebagiannya dan menyembunyikan sebagian….” (at-Taḥrīm [66]: 3).” Disebutkan dalam suatu riwayat: “Kami (orang salaf) meninggalkan tujuh puluh pintu kehalalan karena khawatir dengan satu pintu keharaman.” al-Ḥasan berkata: “Saya melihat orang yang menolak harta yang halal, dan mengatakan: “Aku tidak butuh. Aku khawatir itu merusak qalbuku.” Para pemimpin bertindak adil dan para tentara membantu mereka dalam ketaqwaan, sehingga mereka hanya mengambil yang menjadi hak mereka.
Seperti tersebut dalam sebuah hadits, seekor kuda milik seorang pendosa yang menambatkannya dengan penuh rasa bangga, riya’, sum‘ah, maka makanannya, minumannya, sampai kotorannya pun akan memberatkan timbangan keburukannya pada hari kiamat. Allah berfirman:
احْشُرُوا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَ أَزْوَاجَهُمْ
“Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman sejawat mereka….” (ash-Shāffāt [37]: 22), yaitu yang membantu mereka. Ats-Tsaurī berkata: “pemimpin yang jahat akan diminta bangkit pada hari kiamat beserta para kroni yang membantunya; siapa yang membawakan barang-barangnya, atau membantunya dalam suatu urusan, mereka termasuk kroninya. Seorang penjahit pernah mendatangi Ibn-ul-Mubārak mengatakan: “Saya sepertinya pernah menjahit suatu pakaian untuk seorang pembantu sultan, apakah saya termasuk orang yang zhalim. Yang membantu adalah yang membeli pakaian-pakaian produksimu.”
Ada seorang ulama yang sedang satu majelis dengan seorang pejabat pemerintahan. Pejabat ini menulis suatu tulisan, lalu ia meminta darinya alat tulis untuk mengakhiri tulisannya. Ulama tadi menolak, tidak mau memberinya sebelum ia melihat sendiri apa yang ditulis si pejabat itu. Karena pejabat itu tidak mau memperlihatkan tulisannya, ulama itu pun tidak mau memberikan alat tulisnya. Sufyān ats-Tsaurī pernah melakukannya terhadap khalifah al-Mahdī. Al-Mahdī sedang menggenggam kertas, dan ats-Tsaurī sedang ada di ruang kerjanya. Al-Mahdī meminta darinya alat tulis, tapi ats-Tsaurī berkata: “Kasih tahu apa yang mau engkau tulis, kalau itu kebenaran, saya akan berikan, tapi kalau tidak, saya tidak mau menjadi pembantu kezhaliman.” Di Makkah, ada penguasa meminta seseorang membantu melaksanakan proyek membuat batas kota, tapi orang ini ragu sehingga berkonsultasi kepada Sufyān tentang masalah ini, Sufyān melarangnya, dan memperingatkannya agar tidak membantu mereka, sedikit ataupun banyak. Ia mengatakan kalau ini juga untuk kepentingan kaum muslimin. Jawab Sufyān: “Memang iya, tapi yang engkau nanti pikirkan pastilah langgengnya kekuasaan mereka agar mereka bisa terus melunasi upahmu, sehingga engkau pun menyenangi orang yang membenci Allah, padahal tersebut dalam suatu khabar: “Siapa mendoakan langgengnya kekuasaan penguasa zhalim, berarti ia senang membangkang kepada Allah.”
Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa sesungguhnya Allah marah bila ada orang fasik yang dipuji. Dalam riwayat lain disebutkan: “Siapa memuliakan orang fasik, seolah-olah ia membantu memusuhi Islam.”
Hendaknya pedagang pasar menjauhi jual-beli yang tidak sah seperti menjual dengan menipu, menjual barang penuh risiko, atau menjual barang yang belum diketahui, seperti melakukan dua akad dalam satu jual-beli seperti lelang, dan hendaknya ia tidak menjual apa yang bukan miliknya, atau menjual sesuatu yang ia beli namun belum ada di tangannya, dan tidak menjual piutang dengan utang (bai‘-ud-daini bid-dain), tidak menjual buah-buahan sampai jelas tingkat kematangannya dan keamanannya dari suatu penyakit, tidak menjual kurma sampai ia memerah atau menguning, dan tidak menjual anggur sampai melunak atau menghitam. Rasūlullāh melarang praktik najsy, yaitu menaikkan harga untuk mengelabui pembeli dengan meminta orang pura-pura menawar dengan harga tinggi atau memuji dagangannya. Hendaknya ia juga tidak menjual barang dari emas atau manik-manik seperti kalung sampai setiap bijinya tertata dengan baik. Demikianlah sunnahnya.
Hendaknya ia juga tidak memperjualbelikan hewan atau buah-buahan yang belum jelas keadaannya, dan menjauhi akad perjanjian tahunan karena dimakruhkan. Hendaknya ia menjaga dari setiap transaksi jual-beli yang batil, yang terkontaminasi riba, atau tidak sesuai aturan. Itu semua mengurangi agama kita, dan membuat buruk pekerjaan kita. Bila sulit memutuskan sesuatu yang tampak samar, hendaklah ia bertanya kepada yang berilmu sehingga memperoleh pandang orang-orang yang warak dan bertakwa. Hendaknya ia menjaga agamanya, mengintrospeksi diri dan tidak lupa dengan perkara akhiratnya. Itu lebih baik baginya. Hendaknya ia juga menjauhi industri/investasi baru yang tidak dikenal, atau mata pencarian yang direkayasa, karena itu menjadi bid‘ah dan makruh bila tidak dikenal oleh generasi salaf. Setiap sarana atau perangkat yang menjadi penyebab maksiat jugalah maksiat, sehingga jangan dibuat ataupun dijual. Ini termasuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Dan setiap harta yang diambil dari suatu pekerjaan yang bid‘ah dan munkar jugalah bid‘ah dan munkar. Setiap yang membantu orang yang bermaksiat. Memperoleh harta dari semua hal itu tergolong memakan harta yang batil. Dan siapa memakan yang haram, ia pada hakikatnya telah membunuh dirinya dan saudaranya yang juga menginginkannya. Allah ta‘ālā berfirman:
وَ لَا تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.…” (al-Baqarah [2]: 188). Allah juga berfirman (setelah sebuah pesan serupa),
وَ لَا تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ
“….dan janganlah kamu membunuh dirimu...” (an-Nisā’ [4]: 29). Itu bukanlah cara orang-orang beriman. Allah telah berfirman:
وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ
“….dan yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam....” (an-Nisā’ [4]: 115).