“Sekarang menjadi jelas bahwa sikap pasif dan berdiam diri bukan pilihan yang baik dalam menjemput rezeki. Tapi menghalalkan segala cara bukan pula jalan yang bijak. Orang yang beriman akan berusaha menyeimbangkan antara tuntutan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dengan tuntutan untuk mengisi waktu dengan ritual ibadah. Ada rambu-rambu dan tuntunan dalam bekerja dan berusaha yang perlu diperhatikan oleh mereka yang beriman demi menjaga kehalalan, keberkahan, dan kesyukuran. Karena itu, mari ikuti ujaran Syaikh Abū Thālib al-Makkī dalam bab berikut yang disadur dari salah satu bagian kitab magnum opus-nya, Qūt al-Qulūb.”
8
Abū Thālib al-Makkī (w. 386 H)
Allah ta‘ālā berfirman:
وَ جَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
“Dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan.” (an-Naba’ [78]: 11). Allah menyebutnya tatkala sedang memaparkan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan dan nikmat-Nya. Allah juga berfirman:
وَ جَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ
“… dan di bumi Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (al-A‘rāf [7]: 10). Dengan demikian Allah menjadikan penghidupan sebagai nikmat yang patut disyukuri.
Diriwayatkan dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda: “Ada dosa-dosa yang tak bisa ditebus kecuali dengan kesungguhan dalam mencari penghidupan.” Nabi s.a.w. juga bersabda: “Yang terhalal dari apa yang seseorang makan adalah pendapatan dari usahanya dan setiap pekerjaan yang baik.” Dalam redaksi riwayat lain: “Yang terhalal dari apa yang seorang hamba makan adalah yang berasal dari usaha tangan pengrajin bila ia tulus.” Dan disebutkan dalam suatu riwayat: “Pedagang yang selalu jujur dibangkitkan pada hari kiamat bersama para shadiq (orang-orang yang lurus) dan syuhada’.”
Disebutkan dalam hadits: “SIAPA MENCARI DUNIA SECARA HALAL, DEMI MENJAUHKAN DIRI DARI TERBELIT MASALAH, MENAFKAHI KELUARGANYA, DAN MENARUH IBA PADA TETANGGANYA, AKAN BERTEMU ALLAH ‘AZZA WA JALLA DENGAN WAJAH YANG BERSERI-SERI SEPERTI BULAN PURNAMA.” Diriwayatkan pula bahwa pada suatu pagi Nabi s.a.w. duduk bersama para sahabatnya, dan mereka melihat seorang pemuda berbadan kekar dan gagah yang pagi-pagi sekali sudah bergegas bekerja. Para sahabat berkata: “Duh sayang, andai masa muda dan kekuatan orang itu digunakan di jalan Allah!” Nabi s.a.w. lantas berkata: “Jangan kalian berkata demikian. Kalaulah dia berusaha untuk dirinya agar terbebas dari belitan masalah dan tak bergantung pada orang lain, maka dia berada di jalan Allah. Kalaulah dia berusaha untuk kedua orangtuanya yang lemah atau anak-anaknya yang lemah agar bisa menghidupi dan mencukupi mereka, maka dia berada di jalan Allah. Kalaulah dia berusaha demi menyombongkan diri dan berbanyak-banyak harta, maka dia berada di jalan syaithan.”
Ibnu Mas‘ūd pernah berkata: “Sungguh aku benci orang yang ku lihat menganggur, tak melakukan pekerjaan duniawi ataupun pekerjaan ukhrawi.” Ibrāhīm an-Nakha‘ī pernah berkata: “Pengrajin lebih aku sukai daripada pedagang, dan pedagang lebih aku sukai dari pengangguran.” Lalu beliau ditanya tentang pedagang yang selalu jujur: “Apakah ia lebih anda sukai daripada orang yang hanya beribadah?” Beliau menjawab: “Pedagang yang jujur lebih aku sukai karena ia sedang berjihad. Syaithan membujuknya saat ia menakar, menimbang, mengambil barang, hingga memberikan barang, lalu ia pun memerangi syaithan itu.” Dalam masalah ini, al-Ḥasan al-Bashrī tak sependapat dengan beliau.
Diriwayatkan dari ‘Umar ibn al-Khaththāb r.a.: “Tidaklah tempat di mana maut menjemputku lebih aku sukai ketimbang tempat aku berbelanja untuk keluargaku, aku menjual dan membeli dengan keranjangku.” Dan Ayyūb mengaku pernah mendengar Abū Qalābah berkata: “Biasakanlah ke pasar karena kecukupan itu termasuk kekuatan, yakni kecukupan yang membuat seseorang tak bergantung pada orang lain, wallāhu a‘lam, dan kecukupan yang dengannya seseorang menaati Allah.”
Ada ulama salaf yang berkata: “Berniagalah, menjuallah, dan membelilah walaupun dengan modal, maka engkau akan mendapat keberkahan harta seperti petani.” Ibnu Mahyariz, seorang ahli ibadah dari negeri Syām, pernah berkata: “Tidaklah makanan yang aku masukkan ke perutku dari hasil rampasan perang di jalan Allah, dari harta rampasan kaum musyrik yang diambil sesuai ketentuan Allah, aku sukai ketimbang makanan dari pedagang yang selalu jujur.” Ia berkata: “Ulama menganggap orang yang mencari nafkah untuk keluarganya seperti mujāhid fī sabīlillāh, dan memandang pencari nafkah lebih utama dari yang lain.
Diriwayatkan dalam suatu atsar bahwa Allah ‘azza wa jalla menyukai mukmin yang berprofesi. Dan dalam khabar yang lain disebutkan bahwa Allah menyukai hamba yang berbisnis yang dengannya ia menjadi tak bergantung pada orang lain.
Diceritakan bahwa Abū Ja‘far al-Farghānī pernah berkata: “Suatu hari kami bersama Imām al-Junaid, lalu dibahaslah mengenai orang-orang yang duduk-duduk di masjid yang mengidentikkan diri dengan para sufi, tapi tak mampu menunaikan kewajiban yang semestinya dilakukan oleh orang yang berdiam diri di masjid, dan memandang rendah orang yang pergi ke pasar. Lantas berkatalah Imām al-Junaid: “Berapa banyak orang yang ada di pasar hukumnya sama seperti kalau ia masuk ke masjid dan dengan seidzin orang yang ada di masjid ia menggantikan tempatnya. Sungguh saya tahu orang yang masuk pasar tapi wiridnya setiap hari tiga ratus rakaat dan tiga puluh ribu tasbih.” Begitu ia mengatakan, dan saya menduga yang dimaksud itu adalah Imām al-Junaid sendiri.”
Jika seorang hamba suka ke pasar, maka silakan dan hendaknya ia belajar ilmu jual-beli, transaksi dan muamalah dalam hal jual-beli, dan pengetahuan tentang pintu-pintu riba, agar ia tahu itu sebelum terjadi padanya, sehingga ia bisa menghindarinya dan waspada terhadapnya, dan hendaknya pagi-pagi ia pergi ke mufti (kiai) untuk bertanya tentang yang dialaminya setiap hari dalam bermuamalah kalau ia belum mengerti tentang itu sebelumnya atau belum tahu tentang masalah itu saat mengalaminya. Hendaknya ia pergi lebih dulu ke mufti sebelum beranjak ke pasar pagi-pagi. Sebab, setiap amal ada ilmunya, dan segala sesuatu ada aturannya dari Allah. Tak cukup bagimu mengetahui intinya tanpa mengetahui selainnya. Kalau engkau tak melakukan itu, tentu riba dan jual-beli yang cacat bisa menimpamu.
‘Umar ibn al-Khaththāb pernah berkeliling ke pasar-pasar dan mencambuk seorang pedagang lalu berkata: “Janganlah berjual-beli di pasar kita kecuali orang yang mengerti. Kalau tidak, ia akan memakan riba, entah sengaja atau tak sengaja. Dengan itu ia bisa tahu tentang apa yang diperbolehkan baginya berupa perniagaan atau kerajinan dengan jujur dalam bermuamalah dan berjual-beli, dengan niatan menegakkan sunnah, amar makruf nahi mungkar, dan jihad di jalan Allah, karena siapa bertransaksi dan bermuamalah dengan jujur dan tulus, ia adalah penolong dalam hal kebajikan dan taqwa, dan dalam melawan musuh dan nafsu, lebih-lebih di mana kebatilan merajalela. Sebab, BAGUSNYA AGAMA ADALAH KARENA BAGUSNYA DUNIA, DAN RUSAKNYA AGAMA ADALAH KARENA RUSAKNYA DUNIA. Keduanya saling berkaitan, dan masing-masing bergantung pada pelakunya.