Jinn Tidak Mengetahui Hal-Hal Ghaib – Bagaimana Menolak Sihir dan Kesurupan Jinn

Bagaimana Menolak Sihir dan Kesurupan Jinn
Judul Asli: (Al-Mu‘aliju bil-Qur’ani baina Sihr-il-Kihani wa Mass-il-Jinni)
Penulis: Ali Murtadha as-Sayyid
 
Penerjemah: Abd. Rohim Mukti, LC.M.M
Penerbit: Maktabah al-Qur’an

Jinn Tidak Mengetahui Hal-Hal Ghaib.

 

Ghaib adalah segala sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah, misalnya masalah ajal, rezeki, celaka dan bahagia, serta menurunkan hujan dan hari Kiamat. Masalah-masalah ghaib itu – beserta cabang-cabangnya – merupakan masalah-masalah ghaib yang khusus bagi Allah. Tidak seorang pun nabi yang diutus, malaikat yang dekat dengan Allah, dan wali yang mengetahuinya, kecuali para rasūl yang telah mendapat ridha dari Allah, maka Dia memberi tahu mereka melalui wahyu. Adapun selain wahyu, maka hal itu tidak dapat terima.

Allah s.w.t. berfirman:

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia Sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauḥ Maḥfūzh).” (al-An‘ām: 59).

Imām Bukhārī meriwayatkan dari Sālim dari ‘Abdullāh dari bapaknya bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

(مَفَاتِيْحُ الْغَيْبِ خَمْسَةٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللهُ إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَ يَنَزِّلُ الْغَيْثَ وَ يَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَ مَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَ مَا تَدْرِيْ نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ، إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ) (لقمان: 34).

Kunci-kunci masalah ghaib itu ada lima dan tidak seorang pun mengetahuinya kecuali Allah, “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya pengetahuan mengenai hari Kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan dapat mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqmān: 34).

Imām al-Alūsī mengatakan bahwa rahmat Allah itu luas. Berkenaan dengan hal ini, Rasūlullāh s.a.w. mengatakannya dalam ayat:

“… dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu…..” (al-Aḥqāf: 9).

Hal-hal ghaib yang dikabarkan kepada beliau adalah melalui wahyu yang datang dari Allah sebagaimana firman-Nya:

Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’ān) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3-4).

Demikian pula halnya dengan para nabi dan rasūl. Nabi Nūḥ a.s. misalnya, ketika membuat perahu atas perintah Allah, ia tidak mengetahui alasan pembuatannya. Begitu pula dengan Nabi Mūsā a.s. yang tidak mengerti apa yang akan menimpanya sebelum ia bertemu dengan Fir‘aun, sehingga ia mengatakan:

Dan aku berdoa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.” (asy-Syu‘arā’: 14).

Nabi Ibrāhīm a.s. diberi tahu oleh Allah dan diwahyukan agar menyembelih putranya, Ismā‘īl a.s., sehingga beliau pun bergegas melaksanakan hal itu. Nabi Ibrāhīm dan Ismā‘īl mengerti apakah Allah akan menghapus hukum itu. Nabi Ya‘qūb a.s. senantiasa menangisi putranya, Yūsuf, hingga matanya memutih. Begitu pula Nabi Dāwūd a.s. yang tidak mengerti hakikat orang-orang yang beperkara ketika mereka memanjat pagar.

Ketika mereka masuk (menemui) Dāwūd lalui ia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang beperkara yang salah seorang dari kami berbuat zhalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus”.” (Shād: 22).

Begitu pula dengan hukum yang akan diputuskannya mengenai masalah tanaman yang dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya, juga pemberian pengertian kepada Sulaimān mengenai hukum yang tepat. Juga tentang tamu Lūth dan kaumnya ketika beliau tidak mengerti hakikat mereka hingga ia berkata:

Lūth berkata: “Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku).” (al-Ḥijr: 68).

Apa yang terjadi pada kisah Nabi Yūnus a.s. ketika pergi dalam keadaan marah? Seandainya ia mengetahui akibat yang akan menimpanya dan menetahui hakikat yang sebenarnya, pasti Nabi Yūnus tidak pergi hingga melemparkan dirinya ke laut, di mana ia ikut berundi lalu termasuk orang-orang yang kalah undian.

Jika kita kaji secara mendalam, tentu pembahasan mengenai hal ini akan menjadi panjang. Lihat bagaimana al-Qur’ān-ul-Karīm dengan berita-berita yang dibawanya mengenai para nabi dan rasūl, niscaya Allah akan mendapati persoalan ini dengan sangat jelas. Allah s.w.t. berfirman:

Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi idzin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam ke‘udzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta.” (at-Taubah: 43).

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taḥrīm: 1).

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi……” (al-Anfāl: 67).

Begitu pula ayat-ayat lain yang mencatat ketidaktahuan para nabi terhadap hal-hal yang tidak diajarkan Allah kepada mereka.

Ketika jinn sanggup dan mampu mendengarkan para malaikat dari langit mengenai sesuatu yang menyebabkan mereka menjadi tertuduh karena berbohong terhadap Allah tanpa ilmu dan mengaku-aku bahwa memiliki ilmu ghaib, maka Allah memfokuskan untuk lebih sering menyebutkan kebodohan mereka itu di dalam al-Qur’ān daripada makhluk yang lain.

Allah telah menyembunyikan dari mereka sebab yang menjadikan Dia menjaga langit dengan meteor, sebagaimana perkataan mereka:

Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (al-Jinn: 10).

Ketika mereka mencari sebab penjagaan itu di bumi sebelah timur dan barat, mereka menemukan Nabi Muḥammad sedang melaksanakan shalat bersama kaum muslimin di bawah pohon kurma yang terletak di antara Makkah dan Thā’if. Mereka pun kini mengerti mengapa Allah menjaga langit dengan lemparan meteor kepada jinn-jinn yang mencuri berita langit. Mereka akhirnya mengetahui sebab yang dahulu mereka tidak tahu, yaitu kedatangan Nabi Muḥammad.

Allah juga membutakan jinn mengenai wafatnya Nabi Sulaimān a.s. padahal mereka sedang bekerja di hadapan Nabi Sulaimān. Saat itu Nabi Sulaimān sedang bersandar pada tongkatnya, tetapi ketika rayap telah memakan tongkatnya dan Nabi Sulaimān jatuh ke tanah, maka jelas bagi jinn bahwa Nabi Sulaimān telah wafat beberapa waktu yang lalu. Mereka tidak mengerti mengenai kematian Nabi Sulaimān itu padahal hal itu merupakan sesuatu yang ghaib. Allah s.w.t. berfirman:

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaimān, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jinn itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba’: 14).

Jika mengetahui yang ghaib yang sedang terjadi dan yang sudah terjadi itu merupakan suatu hal yang nisbi – yang dapat diketahui oleh beberapa orang dan tidak dimengerti beberapa orang yang lain – maka – ketika Allah membutakan jinn mengenai kematian Nabi Sulaimān, berarti kebodohan jinn terhadap masalah yang ghaib yang akan terjadi akan semakin kuat. Allah s.w.t. berfirman:

Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah….”.” (an-Naml: 65).

Dalam hal ini, tidak sulit untuk menjawab perkataan sebagian orang yang menyatakan bahwa perkataan para dukun itu terkadang benar, meskipun sebagian besar perkataannya adalah kebohongan terhadap Allah. Para sahabat bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. mengenai hal itu?

Diriwayatkan dari ‘Urwah ibn-uz-Zubair dari ‘Ā’isyah r.a.: “Orang-orang bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. mengenai para dukun, maka beliau bersabda:

(لَيْسُوْا بِشَيْءٍ. فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّهُمْ يُحَدِّثُوْنَنَا أَحْيَانًا بِشَيْءٍ فَيَكُوْنُ حَقًّا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهُ (ص): “لَا…. تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطِفُهَا الْحِنِّيُّ فَيُقِرُّهَا فِيْ أُذُنِ وَلِيِّهِ، فَيَخْلِطُوْنَ مَعَهَا مِئَةَ كَذِبَةٍ) (رواه البخاري).

Mereka itu tidak ada apa-apanya.” Lalu mereka bertanya: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya mereka kadang-kadang berkata kepada kita mengenai sesuatu hal, maka apakah yang dikatakannya tadi itu menjadi benar?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tidak, kalimat itu dari kebenaran yang dicuri oleh jinn kemudian ia membisikkan walinya mengenai kalimat itu, tetapi mereka mencampurinya dengan seratus kebohongan.” (HR. Bukhārī).

Sabda Rasūlullāh s.a.w. mengenai dukun – yang menyatakan bahwa mereka tidak ada apa-apanya – adalah dalil qath‘i atau pasti yang menunjukkan kepada anda bahwa golongan jinn itu – meskipun telah sampai kepada mereka kalimat yang benar melalui pencurian – tetapi mereka tidak dapat melihat yang ghaib. Hal itu disebabkan oleh tiga hal berikut:

  1. Bahwa masalah ghaib merupakan mutlak milik Allah. Tidak Dia tampakkan kecuali kepada orang yang Dia ridhai dari para rasūl. Adapun para dukun, ahli ramal, dan ahli sihir, maka mereka tidak termasuk orang yang diridhai Allah untuk mengetahui masalah yang ghaib.
  2. Bahwa kalimat yang benar tidak dianggap sebagai masalah yang ghaib bagi pencuri pendengaran, tidak juga bagi para malaikat, dan tidak pula bagi tempat-tempat jinn suka mencuri hal yang ghaib itu, yaitu awan atau angkasa.
  3. Bahwa satu kalimat saja yang terputus oleh adanya perkiraan dan kebohongan yang dikandungnya, sama sekali tidak berguna bagi kebenaran, tidak juga dapat menolak wahyu yang isinya tidak mengandung kebatilan, dan tidak juga dapat menutupi mereka dengan pengetahuan yang hanya dimiliki oleh Allah.