Mengenai hal ini, maka al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī telah merumuskan dalam Kalam Hikmah yang ke-6 sebagai berikut:
6. لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ الْعَطَاءِ مَعَ الْإِلْحَاحِ فِي الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأْسِكَ فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الْإِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَ فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ يُرِيْدُ لَا فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ تُرِيْدُ.
“Janganlah ada kiranya lambat waktu karunia (Allah s.w.t.) di samping bersungguh-sungguh dalam berdoa, mewajibkan putus harapanmu (kepada Allah). Karena itu Allah s.w.t. telah menjamin kepada engkau pada memperkenankan doamu, pada apa yang dipilih oleh Tuhan untuk engkau, tidak pada apa yang engkau pilih sendiri untukmu.”
Keterangan Kalam Hikmah ini adalah sebagai berikut:
وَ قَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
“Dan Tuhan kamu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, nanti Ku perkenankan (permintaan) kamu itu. Sesungguhnya orang yang menyombongkan dirinya dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahannam dengan kehinaan.”
Kita harus berdoa kepada Allah s.w.t. dan Allah akan memperkenankan doa kita. Kita boleh memohon sesuatu kepada-Nya tetapi Tuhanlah yang berhak menentukan pada apa yang kita pilih. Sebab kita tidak mengetahui apakah sesuatu yang kita mohon itu baikkah di sisi Allah atau tidak. Kita boleh dalam berdoa memohon kepada-Nya supaya diperkenankan-Nya harapan kita dalam waktu yang kita tentukan. Tetapi Allah berhak dan berkuasa memperkenankan doa kita pada waktu yang dikehendaki-Nya, dan bukan pada waktu yang kita kehendaki. Sebagaimana telah kita sebutkan tadi bahwa kita tidak mengetahui apakah yang kita mohonkan itu, akibatnya baik buat kita ataukah tidak.
Mungkin apa yang kita mohon itu menurut pendapat kita baik, tetapi menurut Allah ada yang lebih baik lagi, atau yang tadi tidak baik sama sekali. Demikian juga kebalikannya, ya‘ni anggapan kita tidak baik, tetapi sebenarnya itulah yang baik.
Karena itulah Allah berfirman dalam surat al-Baqarah juz 2 ayat 216 sebagai berikut:
وَ عَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَ عَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَ هُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَ اللهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“…. dan boleh jadi kamu kurang menyukai sesuatu sedang ia amat baik untukmu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Tuhan mengetahui, kamu tidak tahu.”
Apabila doanya lambat diperkenankan oleh Allah, maka ia menganggap hal keadaan itu disebabkan tidak betul-betul ia melaksanakan doanya itu, atau mungkin karena syarat-syarat yang diperlukan dalam berdoa, seperti tidak memakan harta yang haram, mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mungkin sebagian syarat-syarat ini tidak ada padanya. Dari itu, maka kadang-kadang harapannya timbul lagi, agar Allah memperkenankan doanya. Dan apabila Allah telah menyampaikan maksudnya, maka hatinya gembira dan bersyukur kepada Allah.
وَ عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا إِثْمٌ وَ لَا قَطِيْعَةُ رَحْمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ وَ إِمَّا أَنْ يُدَخِّرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ. وَ إِمَّا أَنْ يُصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا. قَالَ: إِذَنْ نُكْثِرُ، قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ.
“Diterima dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a., bahwa telah bersabda Nabi Muḥammad s.a.w.: Tidak ada orang Muslim yang membaca doa di mana tidak ada pada doanya itu hal-hal yang menimbulkan dosa dan memutuskan hubungan silaturrahmi, melainkan Allah pasti memberikan kepada orang itu dengan doanya, salah satu dari 3 macam:
1. Adakala Allah segera memperkenankan doanya.
2. Adakala doanya itu dijadikan oleh Allah sebagai simpanan orang tersebut, untuk pahalanya di akhirat.
3. Adakala Allah memalingkan daripada orang tersebut berupa kejahatan (bala dan malapetaka) sesuai dengan umpama doanya.
Bertanya para sahabat: Kalau begitu kitakah yang membanyakkan faedah doa? Berkata Nabi: Allah s.w.t.-lah yang membanyakkannya (dan bukan kita).”
Hadits riwayat Imām Aḥmad dengan rawi-rawinya yang bagus, dan riwayat al-Ḥākim. Berkata beliau (al-Ḥākim): “Bahwa segala perawi Hadits ini Shaḥīḥ.
Dari Hadits ini, dapat kita ambil kesimpulan, bahwa apabila doa kita baik dan bagus, tidak ada tujuan-tujuan yang jelek padanya, maka Allah akan memperkenankannya. Cuma perlu kita mengetahui, bahwa kita sebaik-baiknya jangan ada maksud cepat-cepat pada doa kita untuk diperkenankan oleh Allah.
Tetapi serahkanlah saja kepada Allah, dan Allah lebih tahu kapan waktunya doa kita diperkenankan oleh-Nya. Karena itu maka Nabi Muḥammad s.a.w. telah bersabda:
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يُعَجِّلْ يَقُوْلُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ.
“Doa salah satu dari kamu akan diperkenankan oleh Allah asal saja seseorang itu tidak buru-buru (untuk sampai kepada maksudnya).
Kemudian Nabi menyambung perkataannya: saya sendiri kadang-kadang berdoa kepada Allah, tetapi Allah belum memperkenankan (sebagian) doaku.”
(Hadits riwayat Imām Bukhārī dan Muslim dan ahli-ahli Hadits lainnya).
Ketahuilah oleh kita sekalian, bahwa Nabi Mūsā dan Nabi Hārūn pernah berdoa kepada Allah, supaya Allah mencabut segala nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada Fir‘aun dan pengikut-pengikutnya, sebab Fir‘aun dan pengikutnya mempergunakan pemberian-pemberian Allah itu untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar yaitu jalan Īmān dan Islām. Firman Allah dalam surat Yūnus juz 11 ayat 88 sebagai berikut:
وَ قَالَ مُوْسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَ مَلَأَهُ زِيْنَةً وَ أَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوْا عَن سَبِيْلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَ اشْدُدْ عَلَى قُلُوْبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيْمَ
“Dan berkata Mūsā: Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau telah berikan kepada Fir‘aun dan pembesar-pembesarnya berupa perhiasan kekayaan, dan kehidupan duniawi. Wahai Tuhan kami! Dengan kekayaan itu mereka sesatkan ummat! Binasakanlah harta mereka dan tutuplah hati mereka. Karena mereka tidak akan beriman sebelum mereka melihat siksaan yang pedih.”
Demikian doa Mūsā dan Hārūn, tetapi doa kedua Nabi ini baru diperkenankan oleh Allah setelah 40 tahun kemudian. Setelah itulah maka Allah memperkenankan doa tadi sebagaimana firman-Nya dalam surat Yūnus juz 11 ayat 89:
قَالَ قَدْ أُجِيْبَتْ دَّعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيْمَا وَ لَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ.
“Tuhan mengatakan: Sesungguhnya telah diperkenankan kamu berdua, sebab itu tetaplah berjalan lurus (dalam mengembangkan seruan kebenaran) dan jangan diturut jalan orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
“Mudah-mudahan Allah menyembuhkan tuan”. Beliau diam dan tidak menjawab apa-apa, kemudian si laki-laki tadi berkata lagi: “Semoga Allah menyembuhkan tuan.”
Maka menjawab Syaikh Abū-l-‘Abbās: Aku tidak memohon kepada Allah kesehatan, sebab aku sudah lama memohon kepada Allah tentang kesehatan saya, dan apa yang aku rasakan sekarang dari penyakitku adalah kesehatan dan keselamatan. Lihatlah Rasūlullāh s.a.w. sesungguhnya beliau telah memohon kepada Allah agar beliau diberikan kesehatan dan keselamatan, tetapi di samping itu Nabi bersabda: “Senantiasa makanan Khaibar (makanan yang mengandung racun yang telah termakan oleh beliau), selalu mengganggu kesehatan saya, dan sekarang sungguh telah hilang lenyap kebingungan saya.”
Demikian juga Sayyidinā Abū Bakar Shiddīq r.a. beliau telah memohon kesehatan dan keselamatan kepada Allah, tetapi kemudian Abū Bakar Shiddīq meninggal dunia disebabkan keracunan. Juga Sayyidinā ‘Umar bin Khaththāb r.a. permohonan beliau adalah sama dengan Nabi dan Abū Bakar, tetapi beliau meninggal dunia dengan jalan aniaya pada waktu beliau sedang sembahyang dan manusia sedang berma’mum pada beliau. Maka demikian pula Sayyidinā ‘Utsmān r.a. telah meninggal dunia dengan jalan terbunuh. Demikian juga nasib dan keadaan Sayyidinā ‘Alī r.a.
Kemudian Abū-l-‘Abbās al-Mursī melanjutkan perkataannya: … Apabila engkau memohon kepada Allah s.w.t. kesehatan dan keselamatan, mohonlah kepada-Nya di mana Ia lebih mengetahui, bahwa sesuatu itu adalah kesehatan dan keselamatan untukmu. Karena itu, maka wajiblah kita selaku hamba Allah, menyerahkan diri kepada-Nya, bahwa sesuatu yang baik itu adalah pada apa yang Ia kehendaki dan pilihkan buat kita, meskipun itu bertentangan dengan maksud kita.
Kita jangan sampai putus asa dengan sebab Allah lambat memperkenankan doa kita, cuma kita hendaklah selalu memohon dan berdoa kepada-Nya. Dalam satu Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Mālik, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
قَالَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَا رَبِّ عَبْدُكَ فُلَانٌ؟ اِقْضِ لَهُ حَاجَتَهُ دُعُوْا عَبْدِيْ فَإِنِّيْ أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَ صَوْتَهُ. (رواه أنس بن مالك)
“Telah berkata Malaikat Jibrīl a.s.: “Hai Tuhan Engkau sampaikan maksud dan hajat hambamu si pulan……. Maka Tuhan menjawab: Biarkan hamba-Ku itu, karena Aku cinta/suka mendengar suaranya (yang selalu bermohon kepada-Ku).”
Maka dari ini semua, dapat kita ambil kesimpulan, bahwa doa kita baru dikatakan mustajab, apabila Tuhan memperkenankan doa kita itu dengan ridhā-Nya dalam pilihan-Nya, bukan pilihan kita, dan pada waktu yang Ia kehendaki, bukan pada waktu yang kita kehendaki, sebab ‘amal ‘ibādah apapun saja, kebagusannya adalah melihat kepada penghabisannya (khātimahnya).
Apakah ḥusn-ul-khātimah (diakhiri dengan baik menurut Allah) ataukah sū’ul-khātimah (tidak baik pada akhirnya).
Dan kita berlindung kepada Allah dari doa yang mengakibatkan kepada kita tidak baik pada penghabisannya.
Mudah-mudahan Allah s.w.t. memperkenankan segala doa-doa kita, demi kebaikan kita sekalian, dunia akhirat.