Jalan-jalan Terbuka Mata Hati Menuju Hadhirat Allah s.w.t. – Hakikat Hikmah Tauhid & Tashawwuf

Hakikat Hikmah Tauhid dan Tashawwuf
(al-Hikam)

Karya: Dr. Muhibbuddin Waly

Penerbit: Gunung Jati – Jakarta.

13. JALAN-JALAN TERBUKA MATA HATI ‌MENUJU HADHIRAT ALLAH S.W.T.

 

  1. كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مِنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَ هُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَ هُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَ هُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ.

Bagaimana hati akan dapat disinari sedangkan gambar-gambar alam maya pada ini tercap dalam kaca hatinya. Atau bagaimanakah seseorang bisa berjalan kepada Allah, sedangkan ia terikat dengan syahwat-syahwatnya. Atau bagaimana seseorang berkeinginan kuat untuk masuk ke hadhirat Allah, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya. Atau bagaimana seseorang mengharapkan agar dapat memahami rahasia-rahasia yang halus sedangkan ia belum taubat dari dosa-dosanya.

Kalam Hikmah yang ke-13 (tiga belas) dari yang Mulia al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī adalah merupakan rumusan-rumusan hikmah yang bersifat pertanyaan-pertanyaan. Tetapi mengandung pengertian-pengertian yang mendalam yang bertalian dengan Kalam Hikmah sebelumnya tentang ‘Uzlah.

Kalam Hikmah ini mengandung 4 (empat) pertanyaan di mana antara pertanyaan dan jawaban menimbulkan kontradiksi yang mustahil pada akal berkumpul antara keduanya.

Marilah hal keadaan ini kita perhatikan sebagai berikut:

كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مِنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ

Bagaimana hati akan bersinar apabila sesuatu di dalam alam ini melengket sedemikian rupa dalam mata hatinya.”

Maksudnya ialah apabila seorang hamba Allah telah menjauhkan dirinya dari makhluq tetapi hatinya masih terikat kepada hartanya, kekayaannya, kedudukannya dan lain-lain, maka pastilah tujuan yang dimaksud supaya hati bersih menghadap dengan sempurna kepada Allah dalam arti yang luas pasti tidak akan berhasil.

Alam dunia ini apabila telah begitu terpaut dalam hati kita maka hati kita akan menemui kegelapan, sehingga menimbulkan kesulitan dalam hati untuk dapat menerima selain dari dunia. Sama seperti kaca apabila debu begitu banyak telah melengket kuat atasnya, maka kaca itu tidak ada cahayanya untuk kita berkaca padanya, kaca tersebut tidak akan menerima bayangan sesuatu di dalamnya karena debu telah berkarat atasnya.

Demikianlah hati manusia apabila telah begitu kuat terpaut pada dunia yang fanā’ ini, akan sulitlah hati kita mengarah kepada tujuan menghadap Allah dengan syuhūd dan tajallī seperti yang dimaksud dengan pengertian iḥsān dalam Hadits Rasūlullāh s.a.w. yaitu:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

Bahwa engkau sembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka jika engkau belum dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah s.w.t. melihat engkau.”

Jadi, apabila hati kita telah gelap sedemikian rupa maka sinar ma‘rifat akan jauh daripadanya, sebab hati mukanya hanya satu saja apabila muka yang satu itu tertuju kepada dunia, maka jauhlah ia dari Allah. Dan apabila tertuju kepada Allah, maka jauhlah ia dari dunia, tegasnya meskipun ia hidup di dunia dan secara lahiriyyah tidak terpisa dari dunia, tetapi hatinya tidak terikat dan terpaut kepada dunianya.

Kesimpulannya:

Mustaḥīl pada akal berkumpul di dalam hati antara cahaya iman dan yakin dengan gelap-gulita keduniaan yang telah berkarat di dalam hati sedemikian rupa.

 

أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَ هُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ

Atau betapakah seseorang hamba Allah berjalan kepada Allah, padahal ia diikat dengan syahwat-syahwatnya.

Kita dalam mengerjakan ajaran-ajaran agama pada hakikatnya bukanlah sekedar patuh dan taat kepada Allah s.w.t. saja, tetapi juga pada hakekatnya kita berjalan kepada Allah dengan arti hubungan kita dengan Allah akan semakin dekat baik dalam ‘ilmu kita, keyakinan kita, dan seluruh perasaan kita. Ini akan dapat kita capai apabila kita memutuskan hubungan dengan kehendak-kehendak hawa nafsu dan syahwat yang dapat menjerumuskan kita jauh dari Allah s.w.t. Tetapi apabila kita berada dalam tawanan hawa nafsu dan syahwat maka sulitlah bagi kita mencapai maksud tersebut tadi. Setiap kali kita bangun berdiri untuk melangkah, setiap kali kita jatuh tersungkur. Meskipun kita sanggup berjalan tetapi perjalanan kita lambat sekali dan akhirnya kita tertinggal berceceran. Meskipun kita sanggup berjalan cepat tetapi di dalam perjalanan kita, kita sering ditahan-tahan oleh perampok-perampok dan musuh-musuh di dalam perjalanan. Setiap kali di waktu pagi berkumpul di dalam hati kita keinginan yang kuat untuk berjalan kepada Allah, tetapi pada waktu sorenya tentara-tentara syahwat menyerang pertahanan, sehingga benteng hati yang telah dibangun sedemikian rupa akhrinya porak-poranda.

Demikianlah gambarannya bagaimana sulitnya kita menuju Allah s.w.t., apabila kita masih terikat dengan ikatan-ikatan syahwat dan nafsu.

Berkata ahli Tashawwuf:

لَذْغُ الزَّنَابِيْر عَلَى الْأَجْسَامِ الْمُقْرَحَةِ أَيْسَرُ مِنْ لَذْغِ الشَّهَوَاتِ عَلَى الْقُلُوْبِ الْمُتَوَجَّهَةِ.

Sengatan beberapa ekor kala (jengking) atau tubuh-tubuh yang luka lebih enteng dari sengatan syahwat-syahwat atas hati yang menghadap (kepada Allah)!

Ingatlah bahwa Allah s.w.t. telah mewahyukan kepada Nabiyyullāh Dāūd a.s.:

أَنْ حَذِّرْ قَوْمَكَ كُلَّ الشَّهَوَاتِ فَإِنَّ الْقُلُوْبَ الْمُتَعَلِّقَةَ بِشَهَوَاتِ الدُّنْيَا عُقُوْلَهَا مَحْجُوْبَةٌ عَنِّيْ.

Hendaklah engkau berikan peringatan kepada kaum engkau (tentang bahaya) seluruh syahwat, karena segala hati (hamba Allah) yang bergantung dengan segala syahwat keduaniaan (berarti) ‘aqal (akal) orang-orangnya terdinding lagi jauh daripada-Ku (Allah).

Maksudnya bahwa syahwat apapun saja bentuknya apabila telah terikat dalam hati, maka ia mempengaruhi pada ‘aqal seseorang. Berarti ‘aqalnya mengikuti kehendak hatinya yang telah terbalut dengan ikatan-ikatan syahwat. Pada waktu itu terdindinglah antara ‘aqal dan Allah sehingga ‘aqal tidak dapat meningkatkan ma‘rifatnya kepada Allah s.w.t.

 

3.

أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَ هُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلَاتِهِ

Atau betapakah seseorang (hamba Allah) berambisi masuk dalam daerah khusus Allah padahal ia belum suci dari junub kelalaian-kelalaiannya.”

Maksudnya, apabila seorang hamba Allah telah bersusah-payah mengharungi perjalanan yang mempunyai banyak cobaan-cobaan menuju Allah s.w.t. dan berkat ketabahannya akhirnya ia sampai pada satu perbatasan antara daerah kebanyakan manusia dengan daerah khusus hamba-hamba Allah yang baik-baik.

Pada waktu itu, si hamba Allah tadi secara kasarnya loba dan tamak atau ambisius untuk dapat masuk dalam daerah khusus yang telah dikhususkan Allah bagi para rasūl-Nya, nabi-nabiNya dan para auliyā’-Nya, tetapi hatinya belum begitu bersih dari bermacam-macam kelalaian, tentu saja tidak mungkin baginya masuk ke daerah tersebut. Sebagai contoh orang yang masih dalam keadaan junub, ya‘ni belum menunaikan mandi wajib setelah junub, tentu saja terlarang baginya masuk masjid apalagi buat mengerjakan ‘amal ‘ibādah yang memerlukan kepada kesucian jasmāniyyah. Apabila ‘ibādah lahiriyyah memerlukan kepada kesucian jasmāniyyah, maka demikian pulalah ‘ibādah ma‘nawiyyah, ya‘ni hubungan ma‘rifat antara manusia dengan Allah s.w.t. Junub lahiriyyah memerlukan kepada kesucian ma‘nawiyyah (bāthiniyyah).

Junub ma‘nawiyyah ialah kelalaian-kelalaian hati sehingga dalam banyak hal kita lupa kepada Allah s.w.t. Karena itu maka perlu kepada kesucian ma‘nawiyyah yaitu mengingat Allah dengan berdzikir dengan lidah dan hati dan seluruh perasaan sekalian anggota atau dengan hati saja kepada Allah s.w.t. Di samping itu kita harus berfikir mencari jalan bagaimana supaya kita jangan sampai jatuh ke dalam jurang-jurang kelalaian. Tentang berfikir ini telah kita terangkan dalam Kalam Hikmah yang ke-12.

 

4.

أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَ هُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ.

Atau betapakah seseorang berharap untuk dapat memahami rahasia-rahasia yang halus, sedangkan ia belum tobat dari maksiat-maksiatnya (yang dikerjakannya tanpa sengaja).

Apabila seorang hamba Allah telah sampai kedaerah khusus buat para hamba-hambaNya yang shalih, maka pada waktu itu ia berharap supaya ia dapat memahami ‘ilmu-‘ilmu pengetahuan Ketuhanan Yang halus-halus di mana telah dikurniakan oleh Allah pada segala hati hamba-hambaNya yang ‘Ārifīn, ya‘ni hamba-hamba Allah yang telah terbuka dinding dan hijab antara mereka dengan Allah s.w.t.

Harapannya baru sampai apabila dirinya dan hatinya sudah terpelihara daripada dosa-dosa yang diperbuatnya dengan sengaja, karena yang kedua ini sudah jelas hukumnya yaitu kita wajib tobat kepada Allah daripadanya.

Harapan yang tadi tidak akan mungkin pada adat apabila kita sering khilaf dalam mengerjakan dosa-dosa, karena dosa-dosa yang begini sifatnya adalah mengikut hati dan membawa karat pada hati, sebagaimana Firman Allah s.w.t. dalam surat al-Muthaffifīn juz 30, ayat 14:

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Jangan berfikir begitu! Bahkan apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hati mereka.”

Karena inilah maka siapa pun saja dari hamba Allah yang menginginkan agar Allah memberikan kepadanya ‘ilmu-‘ilmu yang halus dalam keagamaan dan Ketuhanan, di samping ikhtiar pada menuntutnya, juga wajib taqwā kepada Allah hingga sampai tidak mengerjakan dosa tanpa disengaja. Sebagaimana Firman Allah s.w.t. dalam surat al-Baqarah juz 3, ayat 282:

وَ اتَّقُوا اللهَ وَ يُعَلِّكُمُ اللهَ.

Dan bertaqwālah kepada Allah, dan Allah akan memberikan ‘ilmu pengetahuan kepada kamu.”

Jadi apabila kita bertaqwa kepada Allah, bersih dari segala dosa baik yang disengaja atau yang tidak disengaja. Dan meng‘amalkan apa yang telah diketahui dari ajaran-ajaran agama, maka Allah s.w.t. akan memberikan ‘ilmu ladunni kepada kita ya‘ni ‘ilmu yang belum kita ketahui sama sekali. Berkata Imam Aḥmad bin Ḥanbal dari Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Nu‘aim dari Hadits Anas sebagai berikut:

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

Barang siapa yang ber‘amal dengan ‘ilmunya maka Allah s.w.t. akan memberikan kepadanya ‘ilmu yang belum diketahuinya.”

Ketahuilah bahwa ‘ilmu Allah s.w.t. adalah nūr (cahaya) Allah karena itu kita wajib memelihara nūr itu. Imām Mālik telah berwasiat kepada muridnya, Imām Syāfi‘ī r.h.:

اِتَّقِ اللهَ وَ لَا تُطْفِئْ هذَا النُّوْرَ الَّذِيْ أَتَاكَ اللهُ بِالْمَعَاصِيْ.

Taqwalah kepada Allah. Dan janganlah engkau padamkan ini cahaya yang telah dikurniai Allah s.w.t. kepadamu, dengan mengerjakan dosa-dosa.”

Kesimpulannya:

Segala tuntunan kita dalam mengerjakan ajaran agama adalah 4:

  1. Agar hati kita terang dan bersinar. Karena itu maka hendaklah kita jauhkan segala sesuatu di dalam alam dunia ini yang telah begitu melengket pada mata hati kita di mana menjauhkan kita pada jalan Allah s.w.t.
  2. Berjalan ke hadhirat Allah. Karena itu jauhkanlah segala syahwat yang menawan hati nurani kita.
  3. Dapat masuk kehadiran Allah s.w.t. Karena itu jangan kita biarkan diri dan hati kita berlumpur dengan kelalaian-kelalaian.
  4. Dapat melihat bahkan memahami segala ‘ilmu Ketuhanan yang demikian halusnya.

Karena itu maka kita harus bertobat dari segala dosa yang dikerjakan, tanpa disengaja.

Mudah-mudahan segala maksud kita sebagai yang telah dijalani oleh hamba-hamba yang shāliḥ, in syā’ Allāh, diperkenankan oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *