Isra’ dan Mi’raj Menurut Riwayat Bukhari & Muslim – Mutiara Isra’ Mi’raj

MUTIARA ISRĀ’ DAN MI‘RĀJ
Penulis: Drs. Abu Ahmadi
 
Diterbitkan oleh: AMZAH

6. ISRĀ’ DAN MI‘RĀJ MENURUT RIWAYAT BUKHĀRĪ DAN MUSLIM.

 

Menurut Imām az-Zurqany, di dalam Ḥāsyiyat(Syarḥ)-ul-Mawāhib-il-Ladunniyyah, VI: 14 bahwa kisah Isrā’ dan Mi‘rāj Nabi Muḥammad s.a.w. adalah telah diijma‘kan sekalian sahabat, dan hanya orang-orang Zindiq yang tidak mempercayainya, dengan maksud hendak memadamkan cahaya Allah, yang tidak akan mungkin mereka padamkan, walaupun dengan jalan dan cara apa saja.

Pada umumnya, kisah Mi‘rāj yang diterima dari sahabat-sahabat Rasūl adalah seperti yang terdapat di dalam al-Bukhārī, Bāb-ul-Mi‘rāj, ditambah dengan apa yang telah disebutkan Syaikh-ul-Islām al-Asqallāny di dalam Fatḥ-ul-Bāry, yaitu seperti tersebut di bawah ini:

Menurut riwayat Imām al-Bukhārī:

“Telah mengabarkan kepada kami Hadabah bin Khālid, telah mengabarkan kepada kami Hammān bin Yaḥyā, telah mengabarkan kepada kami Qatādah dari Anas bin Mālik, dari Mālik bin Sha‘sha‘ah r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah mengabarkan kepadanya mengenai malam Isrā’ itu seperti berikut:

Sewaktu saya berada di al-Ḥāthim (Ḥajar), berbaring miring tiba-tiba ada yang datang kepadaku. Saya dengar ia berkata: “Belahlah antara ini sampai di sini.

Maka bertanya Sha‘sha‘ah kepada al-Jārūd: “Apakah yang dimaksud Rasūl dengan perkataannya di atas itu?” Jawab al-Jārūd: “Mulai dari cekuk lehernya sampai kepada bulu arinya.”

Kemudian ia (yang datang itu) mengeluarkan hatiku. Setelah itu dibawa orang sebuah pasu emas yang penuh dengan keimanan. Setelah hatiku dibasuhnya, kemudian dituangkanlah air itu ke dalamnya dan dikembalikan seperti tadinya.”

Kemudian saya dibawa kepada seekor hewan yang putih, kecil dari baghal, tetapi lebih besar dari keledai”. Al-Jārūd berkata: “Apakah itu Burāq, hai Pak Ḥamzah?” “Ya”, jawabnya. Hewan itu meletakkan kakinya sejauh yang dapat ditangkap pemandangannya. Aku pun dinaikkan ke atasnya. Jibrīl pun berangkat denganku hingga sampailah kami kepada langit dunia.”

Maka Jibrīl pun meminta langit itu dibukakan.

Kata orang: “Siapa ini?” Jawab Jibrīl: “Aku Jibrīl”. “Siapa beserta tuan?” tanya orang dari dalam “Muḥammad”, jawab Jibrīl, “Apakah beliau telah dirasulkan malam ini?” tanya yang di dalam. “Ya”, jawab Jibrīl. “Selamat datang bagi orang yang paling baik kedatangannya”, sahut penjaga dalam itu.

Setelah dibukakan, Nabi Muḥammad pun bertemulah dengan Ādam. “Siapa ini?” tanya Nabi. “Orang tua tuan, Ādam a.s., berilah salam kepadanya”. Maka Nabi pun memberi salam kepadanya. Ia pun membalas salam Nabi seraya menambah: “Selamat datang anak yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Kemudian Jibrīl membawa aku naik ke langit yang kedua. Lalu ia meminta buka pintu: “Siapa ini?” tanya penjaganya. “Aku Jibrīl”, sahut Jibrīl. “Siapa bersama tuan?” tanya, penjaga dari dalam. “Muḥammad!” kata Jibrīl. “Apakah beliau dirasulkan malam ini?” tanya penjaga dalam. “Ya”, jawab Jibrīl. “Selamat datang orang yang paling baik kedatangannya”, kata penjaga dalam, lalu membukanya.

Maka Rasūl pun bertemulah dengan Nabi Yaḥyā dan ‘Īsā, yaitu dua orang yang bersaudara ibunya. “Ini Yaḥyā dan ‘Īsā”, kata Jibrīl: “berilah salam kepada keduanya”. Setelah Nabi memberi salam, keduanya pun segera menjawab serta menambah: “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Setelah itu, mereka naik ke langit yang ketiga. Mula-mula Jibrīl minta dibukakan pintu. Penjaganya bertanya: “Siapa ini?” Jibrīl menjawab: “Aku Jibrīl” “Siapa bersama tuan?” tanya penjaga. “Muḥammad!” jawab Jibrīl” “Apakah beliau dirasulkan malam ini?” tanya penjaga itu lagi. “Ya, beliau dirasulkan malam ini”, kata Jibrīl. Setelah masuk, maka Nabi pun bertemulah dengan Yūsuf a.s. Jibrīl berkata: “Ini Yūsuf, berilah salam kepadanya.” Setelah Nabi memberi salam, Yūsuf menjawab salam tersebut seraya menambah pula: “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Setelah itu mereka naik lagi menuju langit yang keempat. Setelah Jibrīl minta dibukakan pintu, penjaganya bertanya: “Siapa ini?” Jibrīl menjawab: “Aku Jibrīl” “Siapa bersama tuan?” tanya penjaga. “Muḥammad!” jawab Jibrīl. “Apakah beliau dirasulkan malam ini?” tanyanya lagi. “Ya” kata Jibrīl. “Selamat datang!” kata penjaga tersebut seraya membuka pintu. Maka Nabi pun bertemulah dengan Nabi Idrīs a.s. “Ini Idrīs a.s., berilah salam kepadanya!” kata Jibrīl. Setelah Nabi memberi salam, lalu dijawabnya dengan menambah: “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Setelah itu Nabi dibawa naik ke langit yang kelima. Di sana Jibrīl meminta dibukakan pintu. Penjaga dalam bertanya: “Siapa ini?” “Aku Jibrīl” kata Jibrīl”. “Siapa bersama tuan?” tanya penjaga itu. “Muḥammad!” jawab Jibrīl” “Apakah beliau dirasulkan malam ini?” tanyanya. “Ya”, jawab Jibrīl. “Selamat datang orang yang paling baik kedatangannya”, jawab penjaga tersebut lalu membukakan pintu. Maka bertemulah Nabi dengan Hārūn a.s. Kata Jibrīl: “Ini Hārūn, berilah salam kepadanya”. Setelah Nabi memberi salam kepadanya, ia pun membalasnya dengan tambahan “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Setelah itu mereka dibawa menuju langit keenam. Setelah pintu dibuka, penjaga langit tersebut bertanya: “Siapa ini?” Jibrīl” kata Jibrīl. “Siapa bersama tuan?” tanya penjaga dari dalam. “Muḥammad!” jawab Jibrīl” “Apakah beliau dirasulkan malam ini?” tanya penjaga tersebut. “Ya, benar”, jawab Jibrīl. “Selamat datang orang yang paling baik kedatangannya”, sahut penjaga tersebut, seraya membukakan pintunya, dan Nabi pun bertemulah dengan Mūsā a.s. “Ini Mūsā, berilah salam kepadanya”, kata Jibrīl kepada Nabi. Setelah (Nabi) memberi salam, maka Mūsā pun menjawab salam Nabi serta menambah lagi sebagai berikut “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Setelah Nabi berlalu meninggalkannya, Mūsā pun menangis. “Apa sebab tuan menangis?”, tanya seseorang kepadanya. Jawabnya: “Karena seorang anak di belakangku, lebih banyak umatnya yang masuk surga daripada umatku.”

Setelah itu mereka pun menuju langit yang ketujuh. Mula pertama Jibrīl minta dibukakan pintu: “Siapa ini?” tanya penjaga dari dalam. “Aku Jibrīl”, kata Jibrīl. “Siapa bersama tuan?” tanya penjaga tersebut. “Muḥammad” kata Jibrīl. “Apakah beliau dirasulkan malam ini?” kata penjaga itu. “Ya”, kata Jibrīl. “Selamat datang orang yang paling baik kedatangannya”, kata penjaga seraya membukakan pintu, dan Nabi pun bertemulah dengan Ibrāhīm a.s. “Ini orang tua tuan. Ibrāhīm, berilah salam kepadanya” kata Jibrīl. Setelah Nabi memberi salam kepadanya, lalu dijawabnya dengan menambah: “Selamat datang anak yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Kemudian mereka pun dibawa naik ke Sidrat-ul-Muntahā, yang buahnya besar-besar seperti Qullah Ḥajar, daunnya seperti kuping gajah, “Ini pohon al-Muntahā (Penghabisan)”, kata Jibrīl.

Di sana terdapat empat buah sungai. Dua yang batin dan dua yang lahir. Yang batin yaitu dua buah sungai Surga dan yang lahir yaitu sungai Nil dan Furat.

Setelah itu Nabi dibawa naik ke Bait-ul-Ma‘mūr. Di sana kepada Nabi dibawa minuman dalam bejana berisi arak, susu, dan manisan lebah. Oleh Nabi dipilih yang berisi susu. Kata Jibrīl: “Tuan telah memilih yang fitrah (buatan Tuhan yang masih asli), yang tuan pegang beserta umat tuan.”

Kemudian diwajibkan atas Nabi shalat lima puluh kali setiap hari dan setiap malam.

Kemudian Nabi pun kembali. Dalam kembali itu ia bertemu pula dengan Mūsā a.s. Nabi ini bertanya kepada Rasūl: “Apakah yang telah diperintahkan kepada tuan dan umat tuan?” Jawab Nabi: “Lima puluh shalat sehari-semalam.” Mūsā menerangkan: “Umat tuan tidak akan menyanggupi melakukan shalat 50 kali sehari semalam. Demi Allah, aku telah mencobai manusia sebelum tuan, aku telah melatih Bani Isrā’īl dengan sekeras-kerasnya. Pergilah kembali menghadap Tuhan, mintalah keringanan bagi umat tuan.”

Nabi pun kembali menghadap Tuhan meminta keringanan, lalu dikurangi 10 shalat. Demikianlah, Nabi kembali menuju pulang dan bertemu juga dengan Mūsā. Beliau menyuruh Nabi menghadap Tuhan meminta keringanan bagi umatnya, beberapa kali, sampai tinggal 5 shalat saja sehari semalam. Ketika Rasūl menuju kembali, ia bertemu juga dengan Mūsā, yang menganjurkan Nabi memintakan keringanan lagi, akan tetapi Nabi menyatakan telah berkali-kali menghadap Allah dan telah malu meminta dikurangi lagi. Oleh sebab itu, aku rela dan menyerah kepada Tuhan, kata Rasūl. Kemudian Nabi bergerak meninggalkan Mūsā, dan ketika itu juga terdengarlah suatu suara yang mengatakan: “Fardhu itu telah Aku tetapkan, hamba-hambaKu telah Saya ringankan.”

Demikian kisah Isrā’ dan Mi‘rāj yang diriwayatkan Imām Bukhārī di dalam Shaḥīḥ-nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *