Ikhlash Adalah Jiwa ‘Amal ‘Ibadah Lahiriyyah – Hakikat Hikmah Tauhid & Tashawwuf

Hakikat Hikmah Tauhid dan Tashawwuf
(al-Hikam)

Karya: Dr. Muhibbuddin Waly

Penerbit: Gunung Jati – Jakarta.

10. IKHLASH ADALAH JIWA ‘AMAL ‘IBĀDAH LAHIRIYYAH.

 

Tentang hal al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī telah merumuskan dalam Kalam Hikmahnya yang ke-10 sebagai berikut:

  1. اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَ أَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيْهَا.

Sekalian ‘amal lahiriyyah merupakan gambar-gambar (bentuk-bentuk) yang berdiri (tanpa nyawa), sedangkan arwahnya ialah keikhlasan yang terdapat dengan tersembunyi di dalam ‘amalan-‘amalan itu.

Pengertian Kalam Hikmah ini dapat kita lihat sebagai berikut:

  1. Bahwa sekalian ‘amal kebajikan apapun saja adalah laksana patung-patung atau gambar-gambar bertubuh yang kosong dari roh (jiwa), karena itu maka tidak ada artinya bahkan tidak ada manfa‘atnya sama sekali, sebagaimana juga kebalikannya ya‘ni ada roh tetapi tidak ada wadahnya. Oleh karena itu, ‘amal ‘ibādah yang diterima oleh Allah s.w.t. buat menjadi persiapan kita di akhirat nanti, ialah ‘amal ‘ibādah-‘amal ‘ibādah yang mengandung ke-ikhlāsh-an di dalamnya.
  2. “IKHLASH” yang telah tersebut di dalam Kalam Hikmah tadi sifatnya adalah umum atau muthlaq, mencapai pada macam-macam ikhlāsh yang sesuai dengan tingkatan macam-macam manusia selaku hamba Allah s.w.t.:

إِخْلَاصُ الْعِبَادِ

  1. IKHLĀSH-UL-‘IBĀDI.

Maksudnya ke-ikhlāsh-an yang terdapat pada sebagian hamba Allah yang melaksanakan ‘amal-‘amal kebajikan di mana bersih dari dalam hatinya penyakit riyā’, ya‘ni ia ber‘amal itu tidaklah maksudnya sebagai Show (memperlihatkan kepada orang bahwa ia ber‘amal, baik secara langsung atau secara tidak langsung). Juga tidak ada dalam hatinya maksud-maksud duniawi seperti supaya dihormati orang dan lain-lain sebagainya. Dia ber‘amal itu meskipun tujuannya karena Allah s.w.t., tetapi adalah mengharapkan pahala dari Allah dan dijauhkan oleh Allah baik di dunia atau di akhirat dari sekalian ‘adzāb siksa-Nya dan cobaan-cobaanNya. Di samping hatinya mengandung maksud dan tujuan tadi juga perasaannya berpegang bahwa dengan ‘amal ‘ibādah yang dikerjakan olehnya, dapat mencapai maksudnya tadi. Karena itu maka hatinya tidak dapat dipisahkan dari ‘amal ‘ibādah selaku perbuatannya. Ini adalah tingkatan ke-ikhlāsh-an yang terendah dari semua tingkatan-tingkatan ikhlāsh dan ke-ikhlāsh-an.

إِخْلَاصُ الْمُحِبِّيْنَ

  1. IKHLĀSH-UL-MUḤIBBĪN.

Ke-ikhlāsh-an dalam tingkat ini adalah di atas nilai ke-ikhlāsh-an AL-‘IBĀD.

Yang dimaksud dengan ke-ikhlāsh-an MUḤIBBĪN ialah bahwa ber‘amal ibādah itu bukanlah maksudnya karena maksud mendapat pahala dari Allah dan juga bukan maksud menjauhkan diri dari ‘iqāb dan siksaan Allah (apabila tidak menjalankan larangan-laranganNya). Tetapi maksud ber‘amal itu ialah semata-mata tujuan membesarkan Allah dan meng-agungkan-Nya. Oleh karena itu maka seorang waliyyah Allah yang terkenal dengan nama: RĀBI‘AH AL-‘ADAWIYYAH berkata:

مَا عَبَدْتُكَ خَوْفًا مِنْ نَارِكَ وَ لَا طَمْعًا فِيْ جَنَّتِكَ.

Aku tidak menyembah Engkau (Ya Allah) karena takut dari neraka-Mu dan pula tidak menyembah Engkau karena loba pada surga-Mu.”

Demikian kata Rābi‘ah al-‘Adawiyyah.

Dengan ini teranglah bagi kita bahwa ke-ikhlāsh-an dalam tingkat ini sudah tidak dipengaruhi oleh nafsu atau maksud-maksud yang berbau nafsu dan dunia. Karena apabila masih ada maksud ber‘ibādah kepada Allah karena mengharapkan kesenangan dan kebahagiaan di hari kemudian, berarti ke-ikhlāsh-an kita belum sampai ke tingkat IKHLĀSH-UL-MUḤIBBĪN. Bagaimana tingginya nilai ke-ikhlāsh-an dan tingkatan ini maka RĀBI‘AH telah melukiskan ketinggiannya dalam syair-syairnya sebagai berikut:

كُلُّهُمْ يَعْبُدُوْكَ مِنْ خَوْفِ نَارٍ وَ يَرَوْنَ النَّجَاةَ حَظًّا جَزِيْلًا.

Semua mereka manusia menyembah Engkau (Ya Allah) karena takut pada neraka, dan mereka melihat keuntungan yang besar pada terlepas dari siksaan-siksaan.”

أَوْ بِأَنْ يَسْكُنُوا الْجِنَانَ فَيْحْظُوْا بِقصُوْرٍ وَ يَشْرَبُوْا سَلْسَبِيْلًا

Atau mereka bermaksud supaya dapat mendiami surga-surga loka, maka mereka beruntung mendiami istananya dan dapat minum salsabīl air bening dari sungai surga.”

لَيْسَ بِالْجِنَانِ وَ النَّارِ حَظٌّ أَنَا لَا أَبْتَنِيْ بِحُبِّيْ بَدِيْلًا.

Tidak adalah artinya keuntungan bagiku dengan mendapatkan surga dan jauh dari neraka, karena akan tidak menghendaki ganti (dengan apapun saja) selain dengan cintaku (kepada Allah s.w.t.).

إِخْلَاصُ الْعَارِفِيْنَ
إِخْلَاصُ الْمُقَرَّبِيْنَ

  1. IKHLĀSH-UL-‘ĀRIFĪN
    atau dapat juga disebut dengan
    IKHLĀSH-UL-MUQARRABĪN.

Ini adalah tingkat ke-ikhlāsh-an yang tertinggi dari segala-galanya. Barang siapa di antara kita yang dikurniai Allah dengan ke-ikhlāsh-an ini berarti orang itu telah betul-betul mendapatkan ke-ikhlāsh-an yang sejati dan tertinggi.

Hamba Allah yang telah sampai kepada ke-ikhlāsh-an ini, mereka dalam ber‘amal sudah tidak lagi melihat kepada diri mereka, tetapi tertuju kepada Allah Yang Maha Esa, baik dalam geraknya atau pun dalam diamnya. Mereka betul-betul telah merasakan pengertian hakiki dari Kalimat LĀ ḤAULA WA LĀ QUWWATA ILLĀ BILLĀH-IL-‘ALIYY-IL-‘AZHĪM. “Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Yang Maha Agung.”

Tenggelam mereka dalam perasaan yang betul-betul dan tidak dibuat-buat menurut pengertian hakiki kalimat tadi. Tujuan ber‘amal dalam tingkatan ini ialah semata-mata menghampirkan diri kepada Allah s.w.t. Apabila ke-ikhlāsh-an sebelumnya bertujuan mencari “TASHḤĪḤ-UL-IRĀDAH”, ya‘ni memperbaiki tujuan hati untuk lempang licin jalan ‘ibādah menjurus kepada Allah. Apabila ke-ikhlāsh-an sebelumnya sifatnya LILLĀHI TA‘ĀLĀ dan ini adalah sifat setiap orang ‘ibādah, tetapi sifat ‘ibādah pada tingkatan ini BILLĀHI TA‘ĀLĀ, dan ini adalah sifat setiap orang menuju kepada Allah.

Ber‘amal Lillāhi Ta‘ālā ialah mendirikan dengan baik hukum-hukum lahiriyyah, sedangkan ber‘amal Billāhi Ta‘ālā ialah, mendirikan kebaikan yang terkandung dalm hati yang bersih demi untuk tujuan berhampir kepada Allah. Inilah yang dimaksud oleh sebagian ‘ulamā’ Shūfī dengan perkataannya:

صَحِّحْ عَمَلَكَ بِالْإِخْلَاصِ وَ صَحِّحْ إِخْلَاصَكَ بِالتَّبَرِّيْ مِنَ الْحَوْلِ وَ الْقُوَّةِ.

Betulkanlah ‘amalan engkau dengan ikhlāsh dan betulkanlah ke-ikhlāsh-an engkau dengan melepaskan diri dari daya dan kekuatan (makhlūq).”

Kesimpulannya, apabila kita ingin supaya ‘amal ‘ibādah kita diterima oleh Allah, maka ikhlāsh adalah roh dan jiwa dari ‘amal-‘amal kebajikan, Allah akan menilai ‘amal ‘ibadah kita dengan penilaian yang rendah, tinggi, dan tertinggi adalah sesuai dengan dangkal dan mendalamnya ke-ikhlāsh-an kita dalam ‘amal ‘ibādah kita.

Ber‘amallah dengan ikhlāsh. Itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada seluruh hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya di dalam surat al-Bayyinah juz 30 ayat 5 sebagai berikut:

وَ مَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَ يُقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَ ذلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ

Dan mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Allah dengan tulus-ikhlāsh beragama untuk Allah semata-matanya, berdiri lurus menegakkan sembahyang dan membayar zakat, itulah agama yang sebenarnya.”

Mudah-mudahan kita selalu dikurniai oleh Allah dalam melaksanakan ‘amal ‘ibādah apa saja dengan ke-ikhlāsh-an yang betul-betul menurut perintah Allah. Āmīn!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *