Ihya Ulumiddin: Rahasia Ibadah – Bagian Tentang Dzikir dan Do’a 2

Dari Buku:
Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama
(Judul Asli: Ihyā’u ‘Ulūm-id-Dīn)
Oleh: Imam al-Ghazali
Penerjemah: Ibnu Ibrahim Ba‘adillah
Penerbit: Republika Penerbit

Rangkaian Pos: Ihya Ulumiddin: Rahasia Ibadah – Bagian Tentang Dzikir dan Do‘a

Buku ke-2
Rahasia Ibadah
Bagian Kesembilan
Dzikir dan Do‘a

 

Di dalam hadis, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

ذَاكِرُ اللهَ فِي الْغَافِلِيْنَ كَشَجَرَةٍ خَضَرَاءَ فِيْ وَسْطِ الْهَشِيْمِ

Orang yang senantiasa mengingat Allah di tengah orang-orang yang lalai itu seperti pohon yang hijau di tengah rerumputan yang kering. (3861).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: Orang yang sibuk berdzikir kepada Allah di antara orang-orang yang tidak peduli, seperti panglima yang berperang di antara para prajuritnya yang lari dari medan peperangan.Dalam redaksi yang berbeda disebutkan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Allah s.w.t. telah berfirman: Sesungguhnya Aku akan tetap bersama hamba-Ku selama ia mengingat Aku, dan menggerakkan lidahnya untuk menyebut nama-Ku. (3872).

Dalam hadis yang lain, beliau s.a.w. juga pernah bersabda: Tidak ada amal yang akan menyelamatkan seorang hamba kecuali berdzikir kepada Allah ta‘ala.” Orang-orang bertanya kepada beliau: Ya Rasulullah, apakah termasuk juga dengan berjihad fi sabilillah?” Beliau menjawab: “Ya, termasuk dengan jihad fi sabilillah; kecuali ketika tubuh musuhmu terpotong-potong menjadi beberapa bagian di medan juang, dan kemudian sekali lagi tubuh musuhmu terpotong-potong karena pukulan pedangmu. (3883).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda: Jika seseorang ingin masuk surga, hendaklah ia berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla sebanyak-banyak. (3894).

Pada suatu ketika Nabi s.a.w. ditanya oleh para sahabat: Ya Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Ketika maut menjemput kalian, lisan kalian tengah basah dengan berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla. (3905).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda dalam sebuah hadis lainnya: Hiasilah lisan kalian dengan dzikir kepada Allah pada pagi dan petang, niscaya kalian akan terhindar dari dosa pada pagi maupun petang hari. (3916).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: Dzikir kepada Allah pada pagi dan petang hari lebih utama nilainya daripada berjihad di jalan Allah maupun bersedekah dengan harta. (3927).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: Allah ‘azza wa jalla telah berfirman: “Apabila hamba-Ku ingat kepada-Ku dalam posisi berdirinya (dengan diam-diam), maka Aku akan ingat kepadanya dalam posisi berdiri-Ku (secara diam-diam) pula. Apabila ia ingat kepada-Ku di tengah-tengah keramaian manusia, maka Aku akan mengingatnya pula di tengah-tengah keramaian yang lebih baik daripada posisinya. Apabila ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Dan jika ia mendekati-Ku sehast, maka Aku akan mendekatinya seukuran tombak. Apabila ia mendekati-Ku dengan berjalan kaki, maka Aku mendekatinya dengan berlari. (3938).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda: Suatu hari, di mana tidak ada lagi naungan kecuali naungan Allah ‘azza wa jalla, Allah akan memberikan naungan-Nya kepada tujuh kelompok manusia. Salah satu di antaranya adalah orang yang berdzikir kepada Allah dengan ikhlas di tempat yang sepi, dan basah pipinya oleh air mata karena perasaan takut kepada-Nya. (3949).

Rasulullah s.a.w. juga pernah bertanya: Maukah kalian aku beritahukan tentang amalan yang paling dicintai oleh Allah, yang paling besar nilainya dalam pandangan-Nya, yang paling mulia derajat keagungannya, lebih baik daripada menyedekahkan emas atau perak, serta dari berjihad dengan memenggal leher musuh-musuh Allah atau leher kalian yang terpenggal oleh pedang mereka?” Serentak para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, amalan apakah itu?” Beliau menjawab: “Terus-menerus menginggat (berdzikir kepada) Allah. (39510).

Pada riwayat lainnya, Nabi s.a.w. juga pernah bersabda: “Allah ta‘ala telah berfirman: Siapa saja yang menghabiskan waktunya untuk menyebut nama-Ku (berdzikir kepada-Ku) tanpa meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikan pahala yang lebih baik daripada apa yang Aku berikan kepada orang yang meminta (berdo‘a) kepada-Ku. (39611).

Berdasarkan atsar dari para sahabat dan tabi‘in, al-Fudhail r.h. pernah mengatakan: “Telah sampai kepada kami riwayat, bahwa Allah ‘azza wa jalla telah berfirman:

“Siapa saja yang berdzikir kepada-Ku satu jam setelah shalat Shubuh, dan satu jam setelah shalat Ashar, niscaya Aku cukupkan kepadanya apa yang diperlukan di antara kedua waktu tersebut.”

Sebagian ulama di kalangan sahabat dan tabi‘in ada mengatakan: Allah ‘azza wa jalla telah berfirman:

“Apabila Aku melihat seorang hamba yang qalbunya terus-menerus ingat kepada-Ku, Aku akan mengurusi (mencukupi) segala kebutuhannya, dan Aku menjadi sahabat, penasihat, sekaligus kawan dekatnya.”

Al-Hasan al-Bashri r.h. juga pernah mengatakan: “Ada dua jenis dzikir. Yang pertama, dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla yang dilakukan di dalam qalbu. Dan yang kedua, yang lebih baik, yaitu ingat kepada Allah ‘azza wa jalla saat terdorong hendak melakukan maksiat, sehingga tidak jadi melakukannya.”

Sebagian ulama lainnya ada yang mengatakan, bahwa setiap jiwa akan keluar dari dunia ini dengan rasa dahaga yang luar biasa, kecuali orang yang selalu ingat kepada Allah ‘azza wa jalla.

Sahabat Mu‘adz bin Jabal r.a. juga pernah mengatakan:

“Para penghuni surga nanti tidak akan bersedih oleh apa pun, kecuali disebabkan oleh waktu yang terbuang ketika berada di alam dunia tanpa diisi dengan berdzikir kepada Allah s.w.t.”

Berkaitan dengan keutamaan majelis dzikir, diriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ فِيْهِ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ الْمَلَائِكَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

Setiap kaum yang duduk di suatu majelis sambil mengingat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, niscaya para malaikat rahmat mengelilingi serta meliputi mereka. Dan Allah menyebut mereka di tengah-tengah para malaikat yang berada di sisi-Nya. (39712).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

Tidaklah sekelompok manusia berkumpul untuk berdzikir kepada Allah dengan mengharapkan keridhaan-Nya, melainkan akan terdengar (ada) seruan yang menyeru dari langit: “Dosa kalian telah diampuni, dan kalian diberi pahala sebagai pengganti dari terhapusnya dosa kalian. (39813).

Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:

مَا قَعَدَ قَوْمٌ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ وَ لَمْ يُصَلُّوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ (ص) إِلَّا كَانَ حَسْرَةً عَلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Setiap kaum yang duduk di sebuah tempat, berkumpul, tanpa mau menyebut nama Allah (berdzikir) dan tidak pula membacakan shalawat untuk Rasulullah s.a.w., niscaya pada Hari Berbangkit kelak mereka akan diliputi oleh penyesalan yang mendalam. (39914).

Nabi Allah Daud a.s. pernah berdo‘a: “Ya Rabbku, apabila Engkau melihat aku bersama orang-orang yang lalai setelah meninggalkan majelis dzikir, maka potonglah kakiku, supaya aku tidak sampai ke tempat-tempat mereka. Sebab, kakiku ini adalah bagian dari nikmat yang Engkau anugerahkan kepadaku.”

Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: Satu majelis dzikir yang diadakan oleh kaum Mu’min akan menghapus dosa dua ribu majelis dosa – yang pernah terjadi di antara mereka. (40015).

[menu name=”menghidupkan-kembali-ilmu-ilmu-agama” class=”modern-menu-widget”]

Catatan:


  1. 386). Diriwayatkan oleh Imam Abu Nu‘aim dalam al-Hilyah. Juga oleh Imam al-Baihaqi dalam asy-Syu‘ab dari hadis Ibnu ‘Umar r.a., dengan redaksi yang sedikit berbeda, dan statusnya lemah (dha‘īf). (Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam al-Mundziri. Lihat lebih lanjut di dalam kitab. Shaḥīh at-Targhīb wat-Tarhīb, karya Imam al-Mundziri, Jilid 2, hadis nomor 532 – penerj.) 
  2. 387). Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dan Imam Ibnu Hibban dari hadis Abi Hurairah r.a. Diriwayatkan pula oleh Imam al-Hakim dari hadits Abi ad-Darda’ r.a., lalu dikatakan bahwa isnadnya berstatus shaḥīh. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa riwayat ini disampaikan oleh Imam al-Bukhari, Jilid 13, hadis nomor 5084 secara mu‘allaq, dan di-ḥasan-kan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani r.h. 
  3. 388). Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dalam kitab miliknya. Juga oleh Imam ath-Thabrani dari hadits Mu‘adz bin Jabal r.a. dengan isnad ḥasan. 
  4. 389). Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dalam kitab miliknya. Juga oleh Imam ath-Thabrani dari hadits Mu‘adz bin Jabal r.a. dengan dha‘īf (lemah). Diriwayatkan pula oleh Imam ath-Thabrani dalam ad-Du‘ā’ dari hadis Anas bin Malik r.a., dan itu disampaikan juga oleh Imam at-Tirmidzi dengan redaksi miliknya, yang sedikit berbeda, namun maknanya serupa. 
  5. 390). Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam ath-Thabrani dalam ad-Du‘ā’. Diriwayatkan pula oleh Imam al-Baihaqi dalam asy-Syu‘ab dari hadis Mu‘adz bin Jabal r.a. 
  6. 391). Diriwayatkan oleh Imam Abul-Qasim al-Ashbahani dalam at-Targhīb wa at-Tarhīb dari hadis Anas bin Malik r.a. dengan status yang cukup kuat (diketahui banyak pihak), dan sedikit terdapat perbedaan pada redaksinya. 
  7. 392). Kami meriwayatkan dari hadis Anas bin Malik r.a. dengan isnad yang lemah (dha‘īf) pada awal sanadnya. Dan riwayat ini berstatus marfū‘ dari perkataan Ibnu ‘Umar r.a., sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibnu ‘Abdil-Barr dalam at-Tamḥīd. 
  8. 393). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih) dari hadis Abu Hurairah r.a. 
  9. 394). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun ‘alaih) juga dari hadis Abu Hurairah r.a. 
  10. 395). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Imam al-Hakim, Imam Ibnu Majah, dan beliau men-shaḥīh-kan isnadnya dari hadis Abi ad-Darda’ r.a. 
  11. 396). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam at-Tārīkh, juga oleh Imam al-Bazzar dalam al-Musnad, oleh Imam al-Baihaqi dalam asy-Syu‘ab dari hadis ‘Umar Ibnul Khaththab r.a. Di dalam jalur periwayatannya terdapat seorang perawi yang bernama Shafwan bin Abi ash-Shaffa. Imam Ibnu Hibban menyebutkan tentang dirinya dalam adh-Dhu‘afā’, akan tetapi juga di dalam ats-Tsiqah. Saya (muḥaqqiq) berpendapat, bahwa isnadnya berstatus ḥasan disebabkan adanya syawāhid (saksi pendukung) dari riwayat Imam at-Tirmidzi, hadis nomor 2926. Juga oleh Imam ad-Darimi, Jilid 2, hadis nomor 441. Oleh Imam Abu Nu‘aim dalam al-Ḥilyah, Jilid 5, hadis nomor 106, dari hadis keduanya (‘Umar Ibnul Khaththab dan Shafwan bin Abi ash-Shaffa r.a.). Juga oleh Imam al-Baihaqi dalam asy-Syu‘ab. Demikian, Wallāhu a‘lam. 
  12. 397). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadis Abi Hurairah r.a. 
  13. 398). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam AbuYa‘la, dan Imam ath-Thabrani dengan sanad yang lemah (dha‘īf) dari hadis Anas bin Malik r.a. 
  14. 399). Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, dan beliau meng-ḥasan-kan statusnya dari hadis Abi Hurairah r.a. (diriwayatkan pula oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, Jilid 1, hadis nomor 550 – penerj.) 
  15. 400). Diriwayatkan oleh pemilik kitab al-Firdaus dari hadits Ibnu Wadda‘ah, dan statusnya adalah mursal. Sebab, putranya tidak pernah menyampaikan riwayat tersebut dari ayahnya (Ibnu Wadda‘ah), hingga ia tidak terdapat di dalam jajaran perawinya. 

1 Komentar

  1. Siti Jariyah berkata:

    Ilmu yg sangat membekali diri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *