Nabi Muḥammad s.a.w. melarang umat beliau untuk mendatangi dukun dan ahli sihir. Hal in merupakan mencegah kesyirikan berdasarkan hadits shaḥīḥ yang diriwayatkan oleh Imām Muslim bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
(مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً) (رواه مسلم و أحمد)
“Barang siapa datang kepada dukun dan ia bertanya sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari darinya atau empat puluh malam.” (HR. Muslim dan Aḥmad).
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
(مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا نَزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ) (رواه أحمد و الحاكم)
“Barang siapa datang kepada dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia benar-benar telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Muḥammad.” (HR. Aḥmad dan al-Ḥākim).
Jika hati anda telah diterangi oleh Allah dengan cahaya tauhid dan petunjuk yang jelas dengan pancaran ilmu-Nya, maka jangan anda kotori dengan mendatangi para dukun, kecuali untuk mengetahui keadaan mereka dan mendebat mereka dengan argumentasi yang benar. Hal itu karena akidah keimanan atas hal-hal yang ghaib bisa saja melemah atau menghilang sama sekali dari hati orang yang lemah agama dan iman. Hal itu dapat disebabkan karena bisikan-bisikan dan fitnah syaithan ketika mereka mendengarkan para dukun dan ahli sihir yang sedang memberi tahu mereka dengan apa yang ada di hati mereka atau memberi tahu mereka nama-nama bapak-ibu mereka. Akibatnya, orang-orang yang bodoh itu berkeyakinan bahwa mereka datang untuk hal itu, kemudian menyangka bahwa mereka mengetahui hal-hal yang ghaib. Allah s.w.t. berfirman:
“…..Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (al-Kahfi: 5).
Para dukun itu mengandalkan jinn untuk memindah dan mengetahui berita. Ada kalanya mencuri pendengaran dan ada kalanya berasal dari qarin seseorang karena di antara keduanya terdapat integritas dan persaudaraan.
Al-‘Allāmah Syekh Muḥammad Ḥāmid al-Faqīy mengatakan bahwa sebenarnya hal itu merupakan persaudaraan dari roh syaithan yang mendampingi orang (qarin) dengan roh temannya dari manusia yang jahat. Mereka saling memanggil dan syaithan berkata dengan qarin tadi mengenai berita yang ia senangi yang ia terima dari qarin manusia yang lain, begitu seterusnya.
Hal itu dapat pula terjadi karena mereka berpedoman kepada ilmu perbintangan, misalnya dengan melihat ke langit dan berdialog dengan bintang. Ilmu perbintangan termasuk salah satu cara yang dijadikan dasar oleh para sihir dan dukun dalam mengklaim bahwa mereka mengetahui hal-hal yang ghaib. Mereka berkeyakinan bahwa bintang-bintang dapat melakukan sesuatu yang ia kehendaki yang dapat mempengaruhi dunia yang ada di bawahnya.
Dalam hal ini, mereka memiliki hitungan-hitungan dan dialog-dialog yang dijadikan sebagai berita. Semua itu tidak memiliki satu hakikat pun yang dapat diperhitungkan dan tidak juga suatu syariat pun. Semua itu adalah kebohongan dan rekayasa belaka.
Berdasarkan semua itu, maka keterikatan dengan bintang-bintang dan membaca nasib yang terjadi pada banyak orang, baik di koran-koran, majalah-majalah, dan sebagainya, seperti bertanya kepada orang-orang ahli rohani serta ahli falak, ahli sihir dan Dajjāl adalah kebohongan terhadap Allah dan kekufuran terhadap apa yang diturunkan kepada Muḥammad s.a.w.
Imām Qatādah berkata: “Allah menciptakan bintang-bintang untuk tiga sasaran, yaitu menghias langit, sebagai tanda waktu dan arah, serta untuk melempar syaithan yang mencoba naik ke langit untuk mencuri berita langit. Oleh karena itu, siapa yang mencari-cari selain itu, maka ia telah mengatakan sesuatu berdasarkan pendapatnya, berbuat salah terhadap bagiannya, menyia-nyiakan nasibnya, dan berupaya dengan sesuatu yang ia tidak memiliki ilmu tentangnya. Ada orang-orang yang bodoh mengenai perintah Allah yang telah menciptakan perdukunan dalam bintang-bintang ini, misalnya mengaitkan masalah pernikahan dengan bintang tertentu. Misalnya barang siapa yang menikah pada bintang atau bulan ini, maka ia akan mendapatkan ini dan itu. Masalah bepergian dengan bintang ini, siapa yang bepergian pada bulan ini dan itu, maka ia akan begini dan begitu. Demi hidup saya, tidak ada satu bintang pun kecuali tetap dilahirkan orang, baik itu berkulit merah dan hitam, berpostur tinggi dan pendek, juga yang bersifat baik dan buruk. Bintang-bintang ini, hewan-hewan ini, dan burung-burung ini tidak mengerti sesuatu pun mengenai hal-hal yang ghaib. Andai seseorang mengetahui yang ghaib, niscaya Ādam mengetahui hal itu yang mana ia telah dijadikan oleh Allah dengan tangan-Nya dan memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadanya dan mengajarkan kepada nama-nama segala sesuatu.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
(مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُوْمِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ) (رواه أَحمد و أبو داود)
“Barang siapa yang mengambil suatu ilmu dari bintang-bintang, maka ia telah mengambil bagian dari sihir, semakin banyak mengambilnya, maka semakin banyak pula bagian sihir yang ia ambil.” (HR. Aḥmad dan Abū Dāwūd).
Maksud dari mengambil bagian dari sihir adalah sihir yang diharamkan untuk mempelajari dan mengajarkannya.
Adapun zāda mā zāda bermakna semakin seseorang menambah aktivitas untuk mempelajari ilmu perbintangan, maka dosa yang akan ia terima pun semakin bertambah karena apa yang ia yakini bahwa bintang-bintang itu memiliki pengaruh adalah batal, sebagaimana berkeyakinan bahwa sihir memiliki pengaruh adalah batal.
Ibnu Taimiyyah berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah mengatakan bahwa ilmu bintang merupakan sebagian dari sihir, sebagaimana firman Allah s.w.t.:
“….. Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (Thāhā: 69).
Ibnu Rajab mengatakan bahwa hal-hal yang boleh dipelajari adalah ilmu taisīr “mempermudah” dan bukan ilmu ta’tsīr (11) “mempengaruhi” karena ilmu ta’tsīr merupakan suatu kebatilan yang diharamkan, baik sedikit maupun banyak. Adapun ilmu taisīr adalah kita mempelajari apa yang dibutuhkan sebagai petunjuk. Mengetahui qiblat dan jalan menurut mayoritas ulama adalah boleh.
Para dukun juga memiliki cara lain untuk membohongi seseorang, yaitu dengan hal-hal ghaib yang nisbi berupa sangkaan dan perkiraan serta hal-hal yang tecermin pada pengalaman-pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan orang yang meminta diramal.
Para dukun sering bersandar kepada hal-hal ini karena hal itu cocok dengan pikiran-pikiran mereka yang tajam dan jiwa-jiwa mereka yang jahat.
Imām al-Khithābī mengatakan bahwa para dukun itu adalah sekelompok kaum yang memiliki pikiran yang tajam, jiwa yang jelek, dan tabiat-tabiat yang jahat (panas). Adapun sesuatu yang datang dari kabar-kabar dengan firasat dan pandangan yang jujur, jika hal itu berasal dari orang-orang yang saleh, maka hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan hal di atas.