Bab II Bagian ke 4.
Dzikir
Banyak sekali pertanyaan seputar hukum mencium tangan, khususnya pada zaman sekarang, saat banyak orang mengikuti kehendak hawa nafsunya, dan lemah dalam melakukan penelitian ilmiah. Akan tetapi, orang yang dapat memilah kebenaran dan merujuk kepada hadis-hadis Nabi, atsar-atsar sahabat, dan pendapat para ulama, akan menemukan bahwa hukum mencium tangan para ulama, orang-orang saleh dan orangtua adalah boleh di dalam syariat. Bahkan dia merupakan ekspresi dari etika Islam untuk menghormati orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang memiliki keutamaan. Berikut ini beberapa dalil yang mendasari hal tersebut:
Diriwayatkan dari Shafwan ibn Assal, dia berkata:
“Seorang Yahudi berkata kepada sahabatnya: “Mari kita pergi bersama-sama menghadap Nabi Muhammad.” Lalu mereka berdua menghadap Nabi dan menanyakan sembilan ayat yang jelas kepada beliau…. Lalu kedua orang Yahudi tersebut mencium tangan dan kaki Nabi dan berkata: “Kami bersaksi bahwa engkau adalah Nabi Allah.” (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Abu Daud meriwayatkan dari Zari‘, salah seorang utusan ‘Abdul Qais yang menghadap kepada Nabi, bahwa dia berkata: “Kami bersegera turun dari binatang tunggangan kami, lalu kami mencium tangan dan kaki Rasulullah.”
Baihaqi juga meriwayatkan hadis ini. Di antara penggalan hadis yang diriwayatkannya: “Kemudian datanglah Munzir al-Asyaj, lalu dia meraih tangan Nabi dan menciumnya. Dia adalah kepala utusan tersebut.”
Dalam Fatḥ al-Bārī Syarḥ Shaḥīh al-Bukhārī, Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan: “Abu Lubabah, Ka‘ab ibn Malik, dan sahabat mereka berdua mencium tangan Nabi ketika Allah menerima tobat mereka.” (vol. XI, hlm. 48)
Thabrani, Baihaqi, dan Hakim meriwayatkan dari asy-Sya‘bi, dia berkata: “Suatu ketika Zaid ibn Tsabit mengimami shalat jenazah, lalu orang-orang mendekatkan unta tunggangannya agar dia menungganginya. Lalu ‘Abdullah ibn ‘Abbas datang dan mengemudikan unta tunggangan Zaid. Zaid berkata: “Biarlah aku sendiri yang mengemudikannya, wahai anak paman Nabi.” Ibn ‘Abbas berkata: “Kami diperintahkan agar melakukan yang demikian kepada para ulama dan pembesar.” Lalu Zaid mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas sambil berkata: “Kami diperintahkan agar melakukan yang demikian kepada ahli bait Rasulullah.”
Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdur-Rahman ibn Ruzain, dia berkata: “Salamah ibn Akwa’ memperlihatkan telapak tangannya yang sangat besar seperti telapak kaki unta kepada kami, lalu kami menciumnya.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Shaḥīh al-Bukhārī, vol. XI, hlm. 48)
Diriwayatkan dari Tsabit bahwa dia pernah mencium tangan Anas ibn Malik. Tsabit juga mengatakan bahwa ‘Ali pernah mencium tangan dan kaki ‘Abbas. Tsabit meriwayatkan dari Malik al-Asyja‘i, dia berkata: “Aku mengatakan kepada Ibnu Abu Aufa: “Dekatkanlah kepadaku tanganmu yang telah membait Rasulullah.” Lalu Ibnu Abu Aufa mendekatkan tangannya dan aku menciumnya.”
Dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah, tentang penaklukan BaitulMaqdis di masa ‘Umar, Ibnu Katsir menyatakan: “Tatkala ‘Umar sampai di Syam, beliau disambut oleh Abu ‘Ubaidah dan para amir, seperti Khalid ibn Walid dan Yazid ibn Abu Sufyan. Abu ‘Ubaidah turun dari kendaraannya dan ‘Umar pun turun dari kendaraannya. Lalu Abu ‘Ubaidah memberi isyarat untuk mencium tangan ‘Umar. Dan ‘Umar pun bermaksud mencium kaki Abu ‘Ubaidah. Tapi Abu ‘Ubaidah menghalanginya. Sebaliknya ‘Umar pun menghalangi Abu ‘Ubaidah untuk mencium tangannya. (vol. VII, hlm. 55)
Dalam Ghidzā’ al-Albāb, as-Safarani (wafat 1188 H.) menyatakan: “Berpelukan, mencium tangan, dan mencium kepala adalah termasuk hal yang mubah sebagai wujud dari pemuliaan dan penghormatan, asalkan bebas dari unsur hawa nafsu.” (vol 1, hlm. 287).
Dalam Manāqib Ashḥāb al-Hadīts, Ibnu al-Jauzi menyatakan: “Hendaklah seorang murid bersikap rendah hati kepada orang alim. Dan di antara sikap rendah hati kepada orang alim adalah mencium tangannya. Salah seorang dari Sufyan ibn ‘Uyainah dan Fudhail ibn ‘Iyadh pernah mencium tangan Hasan ibn ‘Ali al-Ja‘fi, dan yang lain mencium kakinya.” (vol 1, hlm. 287).
Dalam Syarḥ al-Hidāyah, Abu Ma‘ali menyatakan: “Dibolehkan mencium tangan orang yang alim dan orang yang mulia sebagai wujud rasa hormat kepadanya. Sedangkan mencium tangan seseorang karena kekayaannya, dalam sebuah riwayat disebutkan: “Barang siapa merendahkan hati kepada orang kaya karena kekayaannya, maka dia telah menghilangkan sepertiga agamanya.” Engkau telah mengetahui bahwa para sahabat mencium tangan Rasulullah, sebagaimana terekam dalam hadits Ibnu ‘Umar ketika mereka kembali dari perang Mu‘unah.”
Dalam Ḥāsyiyah, Ibnu ‘Abidin menyatakan: Boleh mencium tangan orang yang alim dan wara‘ dengan maksud untuk bertabarruk. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Asy-Syarnablali berkata: “Engkau mengetahui bahwa hadis-hadis menganjurkan mencium tangan, sebagaimana dtunjukkan oleh al-‘Aini.” (vol. V, hlm 254).
Dalam Ḥāsyiyahnya, ath-Thahawi mengatakan: “Boleh mencium tangan orang alim dan pemimpin yang adil. Hal ini terdapat dalam hadis-hadis yang disebutkan oleh Badar al-‘Aini…. Dari semua yang telah kita sebutkan, diketahui bahwa hukum mencium tangan adalah mubah.” (hlm. 209)
Imam Malik mengatakan: “Apabila mencium tangan seseorang adalah dengan maksud takabbur dan pengagungan, maka hukumnya makruh. Akan tetapi, apabila maksudnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah karena keberagamaannya, ilmunya, atau kemuliaannya, maka hukumnya boleh.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Shaḥīh al-Bukhārī, vol. XI, hlm. 48)
Imam an-Nawawi mengatakan: “Hukum mencium tangan seseorang karena kezuhudannya, kesalehannya, ilmunya, atau kemuliaannya, tidak makruhnya, tapi mustahab atau sunnah. Akan tetapi, jika itu karena kekayaannya, kekuatannya, atau kedudukannya dalam pandangan orang, maka hukumnya makruh.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Shaḥīh al-Bukhārī, vol. XI, hlm. 48)
Dalam Ghidzā’ al-Albāb, as-Safarani menyebutkan bahwa al-Marwazi berkata: “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad ibn Hanbal tentang hukum mencium tangan. Beliau menjawab: “Hukum mencium tangan seseorang karena keberagamaannya adalah boleh. Sebab, Abu ‘Ubaidah pernah mencium tangan ‘Umar ibn Khaththab. Akan tetapi, jika itu karena unsur duniawi, maka tidak boleh.” (vol 1, hlm. 287).
Sebaik-baik ungkapan penyair seputar mencium tangan adalah syair berikut:
Seolah saat aku mencium telapak tangannya berturut-turut
Aku tak mampu berterima kasih kepadanya, hingga mulutku terkunci
Ciumlah tangan orang-orang terpilih dari ahli takwa
Dan jangan takut akan tuduhan musuh-musuh mereka
Wewangian Allah adalah ahli ibadah kepada-Nya
Dan harumnya dapat tercium dari tangan-tangan mereka.
Hukum berdiri untuk orang-orang yang memiliki keutamaan adalah boleh dan merupakan bagian dari etika Islam. Buku-buku fikih dari berbagai mazhab telah menerangkan hal itu.
Dalam Mughnī al-Muḥtāj, Muhammad asy-Syarbini mengatakan: “Hukum berdiri untuk orang yang memiliki keutamaan dari segi ilmu, kesalehan, kemuliaan, dan lainnya adalah sunnah, bukan ria.” (vol III, hlm. 135)
Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hukum berdiri untuk orang yang datang adalah boleh . Dia mendasarkan pendapatnya dengan banyak hadis Nabi. Di antaranya:
a. Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya bahwa pada suatu hari Nabi s.a.w. sedang duduk. Lalu datanglah ayah beliau dari penyusuan. Beliau membentangkan kain beliau untuknya, dan dia duduk di atasnya. Setelah itu, datanglah ibu beliau dari penyusuan. Beliau membentangkan bagian dari kain beliau, dan dia duduk di atasnya. Setelah itu, datanglah saudara beliau. Setelah itu. Beliau berdiri dan mempersilakannya duduk bersama beliau.”
b. Imam Malik menuturkan kisah ‘Ikrimah ibn Abu Jahal saat dia lari ke Yaman pada hari penaklukan Mekkah, lalu istrinya menyusulnya dan membawanya kembali ke Mekkah dalam keadaan Islam. “Tatkala Nabi s.a.w. melihatnya, beliau meloncat ke arahnya karena saking gembiranya, dan melemparkan sorban beliau kepadanya.”
c. Nabi s.a.w. berdiri saat menyambut kedatangan Ja‘far dari Habasyah (Etiopia), lalu beliau bersabda: “Aku tidak tahu, apakah aku bergembira karena kedatangan Ja‘far atau karena telah ditaklukkannya Khaibar.”
d. ‘A’isyah berkata: “Zaid ibn Haritsah tiba di Madinah, dan ketika itu Nabi sedang berada di rumahku. Lalu Zaid mengetuk pintu. Nabi berdiri menyambut kedatangannya, lalu memeluk dan menciumnya.”
e. Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: “Dulu Nabi berbicara di hadapan kami. Jika beliau berdiri, kami berdiri untuk beliau, sampai kami melihat beliau masuk ke dalam rumah.”
Ibnu ‘Abidin menyatakan: “Pemberian hormat adalah boleh. Bahkan hukum berdiri menyambut orang yang datang adalah sunnah. Begitu juga halnya berdiri untuk orang yang alim dan orang yang sedang belajar kepadanya.”
Ibnu ‘Abidin juga berkata: “Hukum berdirinya orang yang sedang duduk di dalam masjid dan orang yang sedang membaca al-Qur’an untuk orang yang datang kepadanya sebagai wujud rasa hormat bukanlah makruh, asalkan orang tersebut layak dihormati. Di dalam kitab Musykil al-Atsar disebutkan bahwa hukum berdiri untuk selain Nabi bukanlah makruh. Ibnu Wahban mengatakan: “Di masa kita sekarang ini, hukum berdiri untuk orang yang layak dihormati adalah mustahab atau sunnah. Sebab, hal itu dapat menghilangkan sifat dengki, marah, dan permusuhan. Apalagi di tempat yang hal itu sudah menjadi tradisi.” (Ḥāsyiyah Ibn ‘Ābidīn, vol. V, hlm. 254)
Abu Daud meriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri, dia berkata: “Ketika Bani Quraizhah memutuskan untuk tunduk kepada hukum Sa‘ad, Nabi s.a.w. mengirim utusan untuk memanggilnya. Sa‘ad datang dengan mengendarai keledai. Kemudian Nabi s.a.w. berkata kepada mereka: “Berdirilah untuk menyambut tuan kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.” Lalu Sa‘ad duduk di samping Rasulullah.”
Ketika menerangkan hadis ini, Abu Sulaiman al-Khuthabi asy-Syafi‘i menyatakan: “Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa ungkapan seseorang kepada sahabatnya: “Hai tuanku”, tidak dilarang. Apalagi jika sahabatnya itu lebih baik dan lebih utama darinya. Yang makruh adalah menuankan orang yang melakukan maksiat. Dari hadis ini juga dapat disimpulkan bahwa hukum berdirinya orang-orang yang dipimpin kepada pemimpin yang adil adalah boleh. Dan hukum berdirinya para pelajar kepada orang alim adalah sunnah, bukan makruh. Yang makruh adalah berdiri untuk orang yang tidak memiliki sifat-sifat yang demikian.”
Abu Daud meriwayatkan dari Mu‘awiyah bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa suka orang-orang berdiri untuknya, maka nerakalah tempatnya.”
Ketika menerangkan hadis ini, Abu Sulaiman al-Khuthabi asy-Syafi‘i, menyatakan: “Yang dimaksud dalam hadis ini adalah orang yang mengharuskan orang lain agar berdiri untuknya karena kesombongan dan keangkuhan.” (Ma‘ālim as-Sunan, vol IX, hlm. 155-156).